Manusia dan Kebudayaan

images (3)

Koentjaraningrat

Review By Frieda Nur Hapsari

2.1 Keanekaragaman Makhluk Manusia dan Kebudayaan

Ada beberapa dasar pandangan di kalangan orang Eropa dalam melihat masyarakat dan kebudayaan makhluk manusia. Pertama, ada yang berpendapat bahwa pada dasarnya manusia memang diciptakan bermacam-macam (polygenesis), dan menganggap orang-orang Eropa berkulit putih merupakan makhluk manusia yang paling baik, sehingga kebudayaan yang dimilikinya juga paling sempurna dan paling tinggi. Kedua, meyakini bahwa sebenarnya manusia itu pernah diciptakan sekali saja (monogenesis), yaitu dari satu makhluk induk, dan bahwa semua manusia di bumi merupakan keturunan Nabi Adam.

Selanjutnya, pemikiran penting yang muncul adalah pandangan Secondat, Montesquieu yang mengatakan bahwa keanekaragaman masyarakat manusia disamping lebih disebabkan sejarah mereka masing-masing, juga akibat dari pengaruh lingkungan alam dan struktur internnya. Oleh karenanya sesuatu unsur atau adat dalam suatu kebudayaan, tidak dapat dinilai dari pandangan kebudayaan lain, melainkan harus dari system nilai yang ada dalam kebudayaan itu sendiri (relativisme kebudayaan).

Manusia dan kebudayaan merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan, sekalipun manusia akan mati namun kebudayaan yang dimilikinya akan diwariskan pada keturunannya, demikian seterusnya. Pewarisan kebudayaan tidak hanya terjadi secara vertical kepada anak-cucu mereka, melainkan dapat terjadi secara horizontal yaitu manusia satu dapat belajar kebudayaan dari manusia lainnya.

2.2 Konsep Kebudayaan

E.B Tylor mendefinisikan kata kebudayaan sebagai “keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat, dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”. Dalam salah satu tulisannya, R. Linton membagi kebudayaan meliputi bagian yang tampak (overt culture) yaitu yang dapat dilihat dengan panca indera dan bagian yang tidak tampak (covert culture) seperti ide/ gagasan.

Kata “kebudayaan” dan “budaya” sering ditemukan kerancuan pemakaian, karena kesalahan dalam menterjemahkan. Istilah culture seolah-olah sama artinya dengan kebudayan, dan cultural diterjemahkan dengan budaya. Sebaliknya ada pula yang menterjemahkan kata culture sebagai budaya dan cultural sebagai kebudayaan. Leslie White mengatakan bahwa pangkal dari semua tingkahlaku manusia tercermin dari symbol-simbol yang tertuang dalam seni, religi, kekuasaan dan semua aspek simbolik tadi tampak dalam bahasa.

Kebudayaan sebagai suatu system yang melingkupi kehidupan manusia pendukungnya, dan merupakan suatu factor yang menjadi dasar tingkah laku manusia, baik dalam kaitannya dengan lingkungan fisik maupun sosial budaya. Karenanya, mutu lingkungan fisik atau sosial itu pada dasarnya adalah pencerminan kualitas kehidupan social masyarakat para pendukung kebudayaan itu.

2.3 Ekologi dan Homeostatis

            Agar tetap mempertahankan hidup, manusia harus selalu menjaga hubungan adaptasi dengan ekosistemnya. Kebudayaan sebagai sistem budaya merupakan seperangkat gagasan-gagasan yang membentuk tingkah laku seseorang atau kelompok dalam suatu ekosistem. Dengan kata lain, manusia sebagai bentuk organisme melalui sistem gagasannya mampu menyesuaikan diri sebagai bagian dari ekosistem. Ini berarti suatu adaptasi dalam konteks budaya juga dapat dipandang sebagai suatu hasil proses evolusionistik.

  1. Vayda dan Roy A. Rappaport melakukan studi ekologi melalui pendekatan fungsionalisme. Ia beranggapan bahwa upacara penyembelihan babi di Tsembaga bertujuan menjaga keseimbangan antara manusia, tanaman ubi, dan fauna. Selain itu, pendekatan ekologis berupaya menemukan spesifikasi lebih tepat mengenai hubungan antara kegiatan manusia dan proses alam tertentu dalam suatu kerangka analisis ekosistem, atau menekankan saling ketergantungan sebagai suatu komunitas alam. Terpelihara keseimbangan sistem (homeostatis) merupakan kekuatan pengatur ‘perimbangan alam’ atau the balance of nature.

2.4 Ekologi Budaya

Ekologi adalah ilmu yang mempelajari saling keterkaitan antara organisme dengan lingkungannya, termasuk lingkungan fisik dan berbagai bentuk hidup organisme. Sementara itu banyak kalangan ahli antropologi menyadari bahwa selalu alam sekitar mempengaruhi kebudayaan suatu masyarakat. Steward menekankan hubungan kebudayaan dengan alam lingkungan dengan memberikan gambaran akan adanya perbedaan kebudayaan suatu kelompok.

Terdapatnya keanekaragamaan kebudayaan tersebut dinilai lebih sebagai akibat perbedaan lingkungan sekitar mereka. Akan tetapi perbedaan alam sekitar bukan merupakan satu-satunya yang menyebabkan timbulnya perbedaan kebudayaan, oleh karenanya, ia menyarankan agar dalam suatu penelitian misalnya, tidak dibuat hipotesis bahwa alam sekitar sebagai faktor yang mempengaruhi kebudayaan.

Para ahli antropologi menyadari bahwa alam sekitar mempengaruhi kebudayaan, sekalipun tidak selalu bersifat negative. Contoh kasusnya adalah kehidupan orang Maring di Tsembaga. Sehari-hari orang Tsembaga jarang memakan babi karena binatang tersebut memiliki fungsi tertentu misalnya karena babi dapat membantu menggemburkan tanah dan kotorannya dapat menjadi pupuk. Namun apabila populasi babi melebihi batas kewajaran, hal tersebut juga akan menimbulkan berbagai masalah. Maka dari itu untuk menyelesaikan masalah tersebut, orang Tsembaga mengenal suatu upacara keagamaan Kaiko atau pesta babi yang diadakan setahun sekali.

Dalam upacara tersebut banyak babi dipotong dan dagingnya dibagi-bagikan kepada orang-orang dan sebagian lainnya dipersembahkan kepada roh nenek moyang mereka. Mereka yakin bahwa roh nenek moyang akan selalu melindunginya dan memberi kekuatan kepada keturunannya yang masih hidup. Oleh karena itu upacara tersebut dapat dianggap sebagai upaya untuk selalu melakukan keseimbangan dengan alam sekitar sekaligus untuk mengurangi konflik yang ada karena orang Tsembaga dalam kesehariannya silih berganti antara perang dan damai. Dengan demikian dapat dilihat bagaimana alam sekitar juga dapat mempengaruhi kebudayaan manusia.

2.5 Determinisme Lingkungan dan Posibilisme

Studi tentang kebudayaan selalu ditekankan akan adanya keterkaitan perilaku manusia dengan lingkungannya atau environmental determinism (ethnographic environmentalism) lebih mendasarkan bahwa kondisi suatu lingkungan sangat berperan dalam membentuk kebudayaan suatu suku bangsa, seperti pendapat dari Elsworth H. yang percaya bahwa ada keterkaitan kondisi iklim dengan kebudayaan. Meskipun variasi kebudayaan manusia tidak terlepas dari factor geografis, ada banyak faktor yang membentuk kebudayaan suatu kelompok manusia, misalnya ras.

Perkembangan di kalangan antropologi Amerika, muncul pemikiran yang berlawanan. Kaum posibilism berpendapat bahwa perilaku dalam suatu kebudayaan dipilih secara selektif, atau jika tidak secara tak terduga merupakan hasil adaptasi dengan lingkungannya. Mereka beranggapan bahwa pada dasarnya factor geografis tak mungkin dapat membentuk suatu kebudayaan manusia dan pembentukan satu kebudayaan lebih merupakan suatu gejala yang sepenuhnya bersifat historis bahkan superorganis. Dengan kata lain bahwa keadaan alam lingkungan tidak sepenuhnya merangsang timbulnya suatu pola kebudayaan tertentu.

2 thoughts on “Manusia dan Kebudayaan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: