Sekitar pukul 04.20 WIB Saya dan teman-teman beralih menumpangi hardtop untuk dapat sampai ke penanjakan Bromo. Oleh bapak supir ditunjukkannya kepada kami desa Ngadas dan desa disampingnya yaitu Wonokerto yang hanya berbataskan bangunan Sekolah Dasar Wonokerto. Dan betapa terkejutnya saya ketika menyaksikan daerah kediaman warga suku Tengger yang jauh dari bayangan saya. Tidak ada rumah sederhana yang terbuat dari kayu dan beratapkan bambu serta beralaskan tanah misalnya, yang Nampak hanyalah rumah yang kokoh, dibangun dari bahan baku batu bata dan semen ditutup oleh aneka cat yang berwarna-warni dan terlihat sedikit buram oleh kegelapan langit ngadas pada saat itu. Untuk menahan bangunan dari kemiringan tanah, bagian bawah rumah diberi pondasi bebatuan yang besar dan sangat banyak sehingga barangkali pondasi dapat dijadikan satu rumah jika di dataran rendah seperti di daerah tempat tinggal saya. Bagian depan atau samping rumah terdapat bagasi yang dijadikan tempat menyimpan mobil pribadi dan hardtop milik warga. Pupil mata saya berhenti melebar setelah sampai di area parkiran penanjakan 1 gunung Bromo. Jaket angkatan yang menurut saya tebalpun tidak mampu menahan rasa dingin hingga serasa menusuk sampai ke tulang. Untunglah datang menghamiri orang-orang yang menawarkan jasa penyewaan jaket tebal sehingga saya pun menyewa satu.
Setelah menikmati keindahan matahari terbit dari penanjakan Bromo perjalanan berlanjut ke lautan pasir yang teramat luas. Di sana terdapat banyak stand yang menjual aneka makanan (warung) bagi pengunjung yang ingin beristirahat sejenak sambil menikmati sarapan pagi. Saya perhatikan penjual makanan semuanya adalah kaum ibu baik usia muda, paruhbaya maupun usia lanjut. Terdapat pula jasa penyewaan kuda bagi pengunjung yang tidak ingin lelah untuk sampai ke anak tangga menuju kawah bromo. Ketika hendak mengakhiri wisata di lautan pasir saya menyempatkan diri untuk membeli beberapa souvenir kaos untuk sanak saudara. Saya menghampiri seorang Bapak yang berusia kira-kira 30-40 tahun. Dari bapak penjual kaos, saya mendapat informasi bahwa beliau dan penjual kaos lainnya merupakan warga dari luar suku bangsa Tengger bahkan ada yang berasal dari luar Probolinggo. Dan menjual kaos bergambarkan gunung Bromo merupakan pekerjaan mereka sehari-hari. Mereka datang menggunakan sepeda motor dan membawa barang dagangan mereka di jok bagian belakang. Percakapan kami berlanjut ke bapak penyewa kuda, menurut penuturan beliau para penyewa kuda adalah warga Tengger asli yang sengaja memelihara kuda untuk disewakan. Namun, pekerjaan pokok mereka bukanlah sebagai penyewa kuda melainkan sebagai petani di desa mereka masing-masing. Untuk mengisi waktu luang, mereka pergi ke lautan pasir untuk memperoleh penghasilan tambahan. Rasa penasaran saya berlanjut ke penjual makanan atau warungan. Sama seperti dugaan saya, para Ibu yang menjual makanan dan minuman merupakan ibu-ibu asli warga suku bangsa Tengger. Dimana kaum laki-laki menyewakan kuda, kaum wanitanya tidak mau kehilangan kesempatan untuk memperoleh tambahan penghasilan dengan menjajakan aneka makanan dan minuman.
Sekitar pukul 09.30 WIB saya dan teman-teman diantarkan untuk bersitirahat di homestay masing-masing oleh supir hardtop yang sama. Menurut supir yang saya lupa namanya tersebut, warga suku bangsa Tengger terutama Ngadas kebanyakan dapat dikatakan makmur dilihat dari hasil pertanian yang melimpah. Mereka dikatakan merugi jika dihitung-hitung dalam sehari tidak memperoleh penghasilan sebanyak 200.000,00. Dalam penyelenggarakan pesta besar misalnya pesta perkawinan dan khitanan tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan yaitu berkisar ratusan juta rupiah. Dihitung total dari penyembelihan sapi dan yang membuat saya semakin kagum adalah dalam kurun waktu tertentu mereka biasanya mampu mengundang artis terkenal Ibukota dalam suatu perayaan untuk menghibur warga.
Siang menjelang, sebelum kegiatan observasi dilakukan, saya tidak mau kehilangan kesempatan untuk mewawancarai Ibu Homestay yang bernama Ibu Lili. Dari beliau saya mengetahui bahwa homestay yang saya diami bukanlah berada di wilayah Desa Ngadas melainkan di Desa Wonokerto yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Bu Lili sendiri beragama Islam juga. Beliau terlihat luwes, ramah dan sangat baik kepada saya dan teman-teman. Nampaknya beliau sudah terbiasa menangani mahasiswa yang sedang mengikuti studi lapangan seperti kami. Bu Lili mempunyai dua putra dan satu putri. Beliau merupakan isteri dari mantan kepala desa Wonokerto dan salah satu puteranya saat ini juga masih menjabat sebagai Kepala Desa Wonokerto. sebelum suaminya menjabat sebagai Kepala Desa Wonokerto peraturan pelaksanaan resepsi masih sesuai adat dan memakan banyak biaya. Namun, setelah suami Ibu Lili diangkat menjadi kepala Desa, peraturan sedikit diubah. Resepsi pernikahan tidak lagi harus besar-besaran dan memakan banyak biaya. Melainkan disesuaikan dengan kemampuan masing-masing penduduk dan sesuai syari’at Islam. Kini, di Desa Wonokerto pendidikan merupakan ukuran kemampuan ekonomi warga Desa. Orang tua sebisa mungkin memfasilitasi anak-anak mereka untuk dapat belajar sampai ke tingkat perguruan tinggi. Dan mereka diberi kebebasan untuk kembali bertani atau bekerja di luar desa. Program KB yang dicanangkan pemerintahpun mereka dukung. Mereka beranggapan jika mereka mengikuti program KB maka pengeluaran dan tanggungan sedikit berkurang terutama pada perayaan-perayaan yang dilaksanakan. Seperti pelaksanaan hajatan pernikahan yang kemeriahan sampai tiga hari berturut-turut. Sementara jika pada kelahiran bayi maka sepuluh hari sanak saudara dan tetangga akan berdatangan. Jika anak mereka sedikit maka akan memperingan tanggungan akan pelaksanaan perayaan besar. Sementara untuk keuangan keluarga semuanya ditanggung bersama. Kaum laki-laki jika memperoleh penghasilan dari hasil ladang maka semuanya diserahkan ke isteri dan akan dikelola sedemikian rupa. Dan jika membutuhkan untuk keperluan pertanian maupun keperluan lain maka suami akan meminta kembali sejumlah uang pada isteri. Meskipun Ibu Lili memaparkan kebanggaannya terhadap warga desanya namun tidak terlihat adanya sentimen terhadap desa sekitar yang beragama Hindu. Beliau memaparkan bahwa sejak dahulu hingga sekarang mereka selalu hidup rukun dan berdampingan dengan rasa toleransi yang tinggi.
Pukul 15.00 WIB saya dan teman-teman mulai melakukan observasi. Kami melakukan pembagian lagi. Sebagian dari kami meneliti wilayah Ngadas yang beragama Hindu sedangkan sebagian lagi termasuk saya meneliti di desa Wonokerto. dengan harapan agar dapat ditemukan perbedaan antara kedua desa yang memiliki agama yang berbeda. Meskipun sedikit kecewa namun saya menghargai keputusan ketua kelompok dan melaksanakannya dengan baik. Meskipun sedikit kesusahan memperoleh informan namun akhirnya pencarian kami berhenti pada suatu keluarga yang rumahnya berada di pinggir jalan utama desa Wonokerto. rumah mereka beralaskan keramik seperti rumah-rumah yang lain. Rumah mereka terlihat ramai oleh anak-anak namun, ternyata anak mereka hanya dua dan sisanya adalah anak dari sanak saudara yang sedang main bersama anak mereka. Saya besalaman dengan seorang Ibu yang saya kira berusia tiga puluh tahunan yang biasa dipanggil Ibu Sus serta suaminya yang bernama Pak Supri. Mereka bercerita panjang lebar dankurang lebih sama dengan Ibu Lili. Hanya saja ada suatu kenyataan yang membuat saya tertarik. Bahwa mereka dulu sebelum menikah mempunyai agama yang berbeda. Bu Sus yang merupakan warga asli Wonokerto beragama Islam sedangkan pak Supri beragama Hindu. Beliau bukan warga asli desa Wonokerto. pernikahan mereka dilaksanakan sesuai akad nikah Islam. Saya kemudian bertanya “Bagaimana bisa? pak Supri sendiri beragama Hindu.” Dengan sedikit menahan tawa bu Sus menyatakan bahwa jika ada pemuda maupun pemudi yang hendak menikahi warga desanya maka mau tidak mau harus mengikuti syari’at Islam. Namun, tetap harus sesuai dengan panggilan hati sendiri. Jika tidak ingin berpindah keyakinan maka harus memutuskan hubungan mereka. Karena Pak Supri memang berkeinginan untuk berpindah agama sehingga sekarang Pak Supri sudah menjadi mualaf sejak menikah dengan bu Sus. Ketika saya singgung mengenai pendidikan anak, mereka juga berpendapat sama dengan Bu Lili. Hanya saja, mereka menambahkan bahwa jika anak-anak mereka sudah menempuh pendidikan sampai ke perguruan tinggi dan tidak mau kembai ke desa untuk menggarap ladang milik keluarga maka pihak orang tua hanya tinggal mencari pekerja atau buruh dari luar desa untuk menggarap ladang mereka. Dan mereka tidak memprioritaskan untuk memilih pekerja laki-laki maupun wanita dengan pengaturan jumlah tertentu. Semuanya mereka anggap sama dan mempunyai kemampuan bekerja yang sama.
Pukul 19.48 WIB saya dan teman kelompok sedikit berjalan cepat menuju ruang perkumpulan untuk makan malam dan kemudian dilanjutkan ke balai desa untuk mempresentasikan hasil observasi. Ketika kami berjalan melewati jalan yang sedikit gelap melintas sebuah kendaraan hardtop dan dari balik kemudi terlihat seorang laki-laki yang menyapa kami. Saya tidak dapat melihat wajahnya karena cahaya yang nnampak sangat redup. Beliau berkata “ Ayo, kalian berliama naik! Cepat!”. Dengan rasa cemas kami lari sekencang mungkin karena kami mengira orang tersebut mempunyai maksud yang tidak baik. Dan setelah sampai di ruang perkumpulan, supir hardtop tadi menanyakan dengan sedikit bercanda tentang siapa yang lari ketika hendak ditolong agar cepat sampai ke lokasi. Saya dan teman-teman hanya diam karena sedikit malu. Saya merasa besalah telah berprasangka buruk terhadap warga sekitar yang pada kenyataannya mereka baik dan bertujuan menolong.
Pagi harinya, sekitar pukul 08.00 WIB saya melengkapi data yang belum lengkap. Saya juga masih merasa penasaran terhadap warga desa Ngadas yang belum sempat saya wawancarai. Tak lama saya mendapatkan seorang informan yang bernama Ibu Wiwin. Dari penuturannya saya mendapat perbedaan antara kedua desa tersebut. Di desa Ngadas pendidikan warganya masih tergolong rendah karena mereka masih beranggapan anak mereka nantinya juga akan mewarisi ladang orang tua mereka. Sehingga dirasa tidak terlalu perlu menyekolahkan anak meraka hingga jenjang tertinggi. Maka tak heran bila jumlah warga Desa Ngadas yang menjadi sarjana masih dapat dihitung jari. Jika ada warga desa yang sekolah jauh maka dia tetap kembali untuk mengelola ladang milik keluarga. Pembagian warisan baik di Desa Ngadas maupun di Wonokerto dibagi sama rata baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Mereka mempunyai hak yang sama antar satu sama lain. Setiap tahun mereka mengadakan acara untu Keselamatan Desa Ngadas atau yang biasa disebut Khasada. Dan setiap kepala keluarga terutama kaum Ibu mengantarkan berbagai macam makanan ke rumah pak Tinggi (kepala Desa). Tidak banyak organisasi yang Ibu Wiwin ikuti hanya kegiatan PKK karena memang tidak banyak organisasi yang di adakan untuk kaum wanita. Sedangkan untuk kaum laki-laki terdapat rapat tahunan Karo untuk membahas berbagai macam urusan adat maupun desa termasuk pembayaran iuran yang dibayarkan secara berkala.
Dan yang terpenting adalah adanya kegiatan gotong royong untuk memebersihkan lingkungan sekitar yang dilakukan lintas desa dan Lintas agama antar kedua desa tersebut yaitu Desa Ngadas dan Desa Wonokerto yang rutin dilaksanakan setiap bulan.
Place your comment