Tulisan ini merupakan hasil dari pengamatan saya mengenai budaya anak kos. kepada para pembaca, semoga bermanfaat ya…
Rumah kos atau sering disebut dengan kos-kossan sudah seperti rumah kedua bagi kami, khususnya mahasiswa yang berasal dari luar Kota Semarang, karena disinilah merupakan tempat tinggal satu-satunya kami setelah keluar dari rumah tercinta yang tentunya berada di daerah asal. Saya saat ini tinggal di kos yang bernama kos Ceria. Alamat kos ini ada di jalan Taman Siswa, Rt 01, Rw 05 Banaran, bisa dibilang letaknya strategis karena tidak jauh dari jalan raya, dan warung-warung makanan tentunya. Akan tetapi kos saya ini berada agak jauh dari kampus, sehingga ketika harus berangkat kos-kampus atau sebaliknya, membutuhkan tenaga dan waktu yang lumayan (sekitar 15 menit) untuk jalan kaki.
Tempat kos ini nampak dari luar seperti rumah biasa, yang terdiri dari dua area yaitu ruang rumah itu sendiri, dan juga garasi, namun uniknya kedua lokasi ini terdiri dari petak-petak kamar berukuran 3×3 meter yang berjejeran. Cukup sesak memeng jika ditempati dua orang untk setiap kamar. Dari seluruh penghuni kamar-kamar ini, semua berasal dari daerah yang brerfariasi, ada yang dari Japara, Pekalongan, Purwokerto, Demak, Kudus, Balikpapan, dan juga dari Kendal. Meskipun berasal dari daerah yang berbeda-beda, kami disini dapat hidup berrsama secara rukun, penuh rasa kekeluargaan, dan keakraban. Mungkin karena kami merasa memiliki nasib yang sama yaitu sebagai perantauan, jauh dari orang tua dan keluarga, untuk berjuang mencari ilmu, sehingga disini kami seperti keluarga baru. Walupun kami bisa tinggal bersama, berinteraksi, dan bersosialisasi bersama, tak jarang ada benturan-benturan kecil yang menjadi warna tersendiri. Misalnya saja perbedaan daerah asal tentunya yang berdampak pada perbedaan bahasa juga, terutama untuk daerah luar jawa. Terkadang ketika kami berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa dengan aksen masing-masing dearah akan muncul ketidak pahaman salah satu dari kami, khususnya bahasa Jawa dengan aksen “ngapak”.
Apalagi untuk mbak kos yang berasal dari luar Jawa, yaitu dari Balikpapan. Setiap berkomunikasi mau tidak mau harus menggunakan bahas formal, Bahasa Indonesia, karena jika tidak seperti itu mbak ini tidak paham. Selain masalah bahasa, ada juga kendala lain yaitu sifat. Mbak kos yang satu ini karena bersal dari luar jawa sifatnya sedikit bebeda dengan kami yang dari Jawa. Dari cara bicara dan bersikap, ia lebih keras dan tegas dibandingkan kami yang berasal dari Jawa yang mungkin telah memiliki label berkepribadian halus.
Ketika awal-awal kami berinteraksi, ada rasa tidak nyaman, namun setelah beberapa waktu berjalan kami dapat saling memahami satu sama lain dengan perbedaan-perbedaan yang ada, terutama sifat dan sikap. Saat ini kami hidup bersama, bercanda dan berinteraksi dengan penuh keakraban, bahkan tidak jarang kami iuran untuk masak bersama, kemudian dimakan bersama-sama sambil menonton TV. Selain itu kami juga disini dilatih untuk bekerja sama dan saling membantu misalnya dalam mengerjakan tugas piket kos.
mbaa, blog temannya ditambah lagi yaa,
oke budhe….
di tunggu postingan selanjutnya nuufid
Saran, untuk menampilkan lokasi pada judul agar lebih akurat dan menarik
terimakasih
semangat menulis yah 🙂