Sosiologi Politik: Pengaruh Politik Patriarki Terhadap Persoalan Gender

Yup, Kali ini saya akan membagikan kembali Tugas Mata Kuliah saya. kali ini yang akan saya bagikan adalah tugas sosiologi Politik. Semoga Bermanfaat.

Nama : Nurul Maulidah

Nim : 3401415021

Romb : 01

Sosiologi Politik

Pengaruh Politik Patriarki Terhadap Persoalan Gender

Latar belakang

Sosiologi merupakan salah satu cabang Ilmu yang mempelajari mangenai kehidupan dan perilaku dalam sebuah masyarakat. Tidak hanya dalam.satu aspek saja, tetapi menyeluruh dalam kehidupan manusia. Seperti yang kita tahu, sosiologi mempelajari segala problematika kehidupan di masyarakat yang tentunya berupa realitas sosial, atau nyata ada dalam suatu masyarakat. Sosiologi mempunyai ilmu-ilmu penerapannya, diantaranya ialah sosiologi politik. Politik merupakan segala sesuatu mengenai bagaimana suatu perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik. Dalam hal ini sosiologi politik merupakan suatu upaya untuk memahami hubungan perubahan sosial dengan politik. Sosiologi politik bukan merupakan disiplin ilmu, tetapi hanyalah objek formal, alat untuk mengkaji fenomena politik dari perspektif sosiologi. Politik bukan hanya dari kebijakan pemerintah, tapi juga merupakan kebijakan dari suatu masyarakat yang kemudian mempengaruhi suatu tatanan masyarakat tersebut.

Persoalan gender menjadi sorotan utama di dunia, terutama di Indonesia. Kita dapat melihat bahwa terdapat pembagian kerja atau posisi sesorang untuk laki-laki dan perempuan sangat ditentukan oleh kebijakan masyarakat. Perempuan dalam hal ini menjadi tolok ukur bahwa persoalan gender saat ini yaitu mengenai ketidakadilan terhadap perempuan, terutama pada masyarakat dengan sistem patriarki, yang kebanyakan kebijakan tersebut berada di Indonesia.

Kebijakan yang seringa dianggap sebagai suatu jalan untuk menyelesaikan permasalahan masyarakan justru terjadi ketimpangan kebijakan, dimana kebijaka tersebut hanya berpihak kepada laki-laki daripada perempuan. Perempuan yang dianggap kurang mumpuni dalam menghimpun suatu lembaga ataupun menyusun kebijakan seakan menjadi konstruksi selamanya bagi seorang perempuan. Wanita hanya ditugaskan untuk urusan domestik, bukan untuk urusan publik. Apalagi dalam budaya patriarki mengharuskan perempuan untuk urusan domestik dan laki-lakiyang bekerja dan membuat keputusan utama dalam keluarga. Dalam sistem patriarki, seorang ayah lah yang menjadi pemimpin dan pembuat segala kebijakan serta pemutus keputusan utama. Sedangkan seorang perempuan hanya ikut dengan keputusan seorang laki-laki.

Dalam makalah ini akan syaa sampaikan beberapa persoalan gender yang sisebabkan karena adanya kebijakan-kebijakan suatu masyarakat.

 

 

Pembahasan

  1. Budaya Patriarki dalam Pengambulan Keputusan di Keluarga

Rueda mengatakan bahwa patriarki adalah penyebab penindasan terhadap perempuan (2007: 120). Masyarakat yang menganut sistem patriarki meletakkan laki-laki pada posisi dan kekuasaan yang dominan dibandingkan perempuan.

“Patriarchy (from Greek: Patria meaning father and arche’ meaning rule) is the

anthropological term used to define the sociological condition where male

members of a society tend to predominate in position of power; with the more

powerful the position, the more likely it is that a male will hold that position.”

(https://en.wikipedia.org/wiki/patriarchy).

Budaya patriarki membuat perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan terjadinya pembagian kerja sosial dalam masyarakat. Menurut Durkheim dalam Abbas, pembagian kerja diawali oleh adanya perubahan dalam diri individu melalui proses sosialisasi dan diinternalisasikan orang-orang di lingkungan tempat manusia itu dibesarkan. Internaliasasi sedemikian rupa menurut Djajanegara melahirkan pelabelan atau streotipe bahwa laki-laki adalah sosok yang mendiri, agresif, bersaing, memimpin, berorientasi ke luar, penegasan diri, inovasi, disiplin dan tenang. Sedangkan perempuan adalah sosok yang tergantung, pasif, lembut, non agresif, tidak berdaya saing dan mengandalkan naluri (Abbas, 2006).

Pengambilan keputusan publik tetap didominasi oleh laki-laki karena mereka merasa mempunyai tugas sebagai kepala keluarga dan bertanggung jawab memberi nafkah pada kelurga sehingga sesuatu hal yang berkaitan dengan penggunaan pendapatan tetap diputuskan oleh laki-laki misalnya kepemilikan rumah (Wiludjeng dkk, 2005).

Menurut Sunaryo dan Zuriah (2004) pengambilan keputusan dalam rumah tangga itu meliputi urusan domestik dan publik. Jadi aspek-aspek keterlibatan istri pada pengambilan keputusan publik dalam rumah tangga yaitu : (1) kewenangan istri untuk mengemukakan pendapat dan ide-ide dalam urusan publik. (2) tanggung jawab istri pada pendapat yang dikemukakan hasil keputusan bersama dalam urusan publik.

Dalam urusan rumah tangga, perempuan dianggap.sebagai makmum atau pengikut saja. Segala keputusan ditentukan oleh seorang laki-laki yang dianggap sebagai kepala keluarga. Kurang lazim rasanya dalam masyarakat jika perempuan lah yang harus mengambil keputusan karena akan menimbulkan tanggapan miring dalam masyarakat, misal suaminya tidak tegas, suami nya takut sama istrinya, dan lain-lain. Kecuali dalam hal ini seorang laki-laki sudah tidak sempurna lagi menjalankan tugasnya sebagai pencari nafkah, dalam hal ini sepeti sakit,.maka hal.itu akan dimaklumi oleh masyarakat. Namun, jika seorang laki-laki masih sempurna menjalankan tugasnya, maka laki-laki lah yang mengambil peran membuat kebijakan dan pengambil keputusan dalam keluarga.

  1. Budaya Patriarki dalam Pembuatan Kebijakan di Negara

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, aspek politik begitu kompleks dan dinamis. Politik juga mempengaruhi posisi yang strategis. Dalam ranah gender, kita sering melihat bahwa posisi-posisi strategis selalu diisi oleh para laki-laki, sedangkan perempuan hanya bertugas membantu laki-laki saja.  Misal kita melihat posisi perempuan yang selalu dibawah lqki-laki, terutama dalam sistem kemasyarakatan patriarki. Kekuatan patriarkal yang meminggirkan perempuan dalam sejarah semakin menguat ketika pada era orde baru. Pada masa itu perempuan sangat dibatasi ruang gerakannya dalam menyampaikan pendapat mereka. Perempuan dicitrakan sebagai konco wingking yang dilegalkan juga dalam berbagai institusi mulai dari legalitas UU Perkawinan tahun 1974, yang mendikotomioan antara sektor publik laki-laki dan sektor perempuan. Sektor publik diperuntukan untuk laki-laki, sedangkan perempuan diarahkan untuk menuju ke sektor domestik.

Melalui kontrol negara, kegiatan-kegiatan organisasi perempuan seperti dharma wanita, PKK yang terlihat perempuan memiliki kesempatan untuk berinteraksi dan berpendapat. Namun, jika dimaknai secara mendalam, sebeblnarnya mereka sedang dilumpuhkan potensi publiknya. Mereka diarahkan pada hal-hal domestik, speerti memasak, tata busana, merangkai bunga, dan pengetahuan bagaimana melayani seorang suami denngan baik. (JJ Rizal: 2007)

Pada sisilain sejarah patriarki yang menempatkan perempuan pada posisi yang lemah. Perempuan dalam birokrasi menemukan bahwa peluang perempuan untuk menduduki jabatan tinggi dalam birokrasi sering gagal karena lemahnya perempuan dalam memperluas jaringannya (Partini, 1999;2011). Hal ini disebabkan karena konstruksi bahwa mereka bukanlah seharusnya di ruang publik. Jika seoraang laki-laki lebih bebas membangun relasi dengan siapapun dan kapanpu, disini perempuan lebih dibatasi, sehingga perempuan kesulitan untuk memperluas dan memperkuat jaringannya.

Kultur yang mensosialisasikan perannya sebagai perempuan menjadi suatu hambatan tersendiri bagi perempuan, karena sebelumnnya mereka hanya dididik untuk menempati posisi domestik . kondisi ini menurut Gayatri Spivak (2004) disebut dengan “politik identitas”.

Ranah perpolitikan di Indonesia masih perlu untuk diperbaiki dan dipikirkan agar perempuan mempunyai kesempatan dalam merumuskan kebijakan publik yang didiominasi orlh para laki-laki yang dirasa timpang dan lebih berpihak dan menguntungkan laki-laki daripada perempuan. Isu-isu mengenao perempuan pun seakan diabaikan. Politik di Indonesia masih lemah untuk melakukan politik adil gender.

Perpolitikan di Indonesia masih menganut konsep patriarki, dimana laki-laki lah yang memimpin. Dia yang berhak membuat kebijakan serta membuat sebuah keputusan mengenai suatu kebijakan. Perempuan masih dianggap lemah dalan urusan pembuatan kebijakan dan mengambil keputusan dikarenakan perempuan yang terlalu menggunakan perasaan dalam membuat keputusan. Perempuan yang sifatnya penuh dengan kasih sayang dirasa kurang cocok untuk membuat kebijakan dan mengambil keputusan dengan tegas dan berani.

Kesimpulan

Dalam budaya Patriarki, segala macam urusan penentuan kebijakan dan pengambil keputusan adalah laki-laki, perempuan hanya sebagai pengikut atau kanca wingking. Kevualibjika memang sudah tidak laki-laki yang tidak bisa membuat kebijakan, barulah perempuan di ikutsertakan. Termasuk dalam hal urusan negara yang rupanya masih mengikuti budaya patriarki yang mendarah daging di Indonesia. Perempuan hamya berperan sebagai pengikut dan penganut kebijakan. Hal ini pun sudah didukung oleh beberapa peraturan UU di Indonesia. Termasuk UU mengenai perkawinan.

Dalam negara seharusnya harus menyertakan perempuan dalam pembuat kebijakan dikarenakan beberapa peraturan kebijakan yang telah dibuat oleh pembuat kebijakan yang didominasi oleh para laki-laki, sehingga kebijakan yang dibuat cenderung lebih berpihak dan menguntungkan laki-laki, dan isu-isu perempuan seakan terabaikan.

Daftar Pustaka

Abbas. 2006. Idealisme perempuan indonesia dan amerika. Makassar: Eramedia

Partini, 2004. Potrer Keterlibatan Perempuan dlaam Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah. Jurnal Ilmi Sosial dan Ilmu Politik. Vol,7,No 3, Marer 2004,.hal 3015-334

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: