Pulau Jawa merupakan kepulauan yang berpenduduk terbanyak se Indonesia. Sehingga orang jawa tersebar diseluruh Indonesia, tak hanya itu bahkan orang Jawa ada yang tinggal di Suriname. Pulau jawa yang memiliki panjang lebih dari 1.200 km dan lebarnya 500 km, bila diukur dari ujung- ujungnya yang terjauh. Pulau jawa merupakan daerah gunung berapi yang memiliki sejumlah gunung api baik yang masih aktif maupun yang tidak, dengan ketinggian antara 1.500 m hingga 3.500 m diatas permukaan laut. Hal itu di sebabkan karena daerah jawa merupakan daerah yang subur. Suatu masyarakat dianggap sebagai masyarakat Jawa apabila tinggal dan menetap di Pulau Jawa, menggunakan bahasa jawa, dan melestarikan budaya Jawa. Jika ada salah satu ciri tersebut yang tidak ada maka tidak bisa disebut masyarakat Jawa.
Masyarakat jawa merupakan salah satu masyarakat yang hidup dan berkembang mulai zaman dahulu hingga sekarang yang secara turun temurun menggunakan bahasa jawa dalam berbagai ragam dialeknya dan mendiami sebagian besar pulau jawa (Herusatoto, 1987:10). Masyarakat jawa tak hanya mendiami pulau jawa saja tetapi mereka menyebar diseluruh Indonesia. Mereka membawa kebudayaan yang dianggapnya baik dan melestarikannya di daerah yang mereka tempati. Sehingga budaya jawa dapat dikenal oleh masyarakat luas dan banyak masyarakat yang ingin mempelajari budaya jawa tersebut. Bahkan orang-orang dari luar Indonesia berbondong bondong pergi ke Indonesia hanya untuk mempelajari budaya jawa.
Masyarakat Jawa memiliki kebudayaan yang unik dan beraneka ragam. Walaupun antar daerah di Jawa memiliki kebudayaan yang berbeda namun mereka tidak saling mengejek budaya mereka melainkan saling menghargai agar terjalin harmonisasi dan keselarasan. Dimana yang sudah diketahui banyak orang, bahwa masyarakat Jawa menjunjung tinggi kerukunan antar masyarakat. Hal tersebut karena orang jawa ingin selalu hidup damai dan tanpa gangguan. Etika yang paling dijunjung orang Jawa adalah suatu keyakinan bahwa jika hidup dilakukan dengan selaras tanpa mengganggu satu sama lain, maka hidup akan menjadi tentram dan damai. Bagi orang jawa ada dua tanda keselarasan yang pertama hidup dalam anggota masyarakat dan hidup damai dengan batinnya. Prinsip tersebut yang selalu di pegang teguh oleh orang jawa.
Kerukunan tersebut juga masih ada di desa saya yaitu di desa Tegaljoho, Mojotengah, Kedu, Temanggung. Disana masih terdapat gotong royong, kerjabakti, karang taruna, Pkk untuk ibu-ibu, dan lain sebagainya. Dalam kegiatan gotong royong, saat itu ada pembangunan musola di Rt 05 karena musola tersebut sudah bangunan lama, sehingga perlu diperbaiki. Adanya pembangunan tersebut ketua rw Tegaljoho memanfaatkannya untuk gotong royong membangun musola tersebut. Setiap rumah harus mewakilinya kecuali bagi yang tidak ada laki-lakinya. Dengan adanya gotong royong tersebut dapat mempererat tali persaudaraan dan terhindar dari konflik. Ada juga saat ada tetangga yang memiliki anak bapak-bapak biasanya berkunjung kerumah tetangga tersebut sampai larut malam. Dan jika ada warga yang akan membangun rumah warga desa itu ikut membantu walau hanya satu atau dua hari saja, hal tersebut dilakukan untuk menjaga keselarasan yang sudah terbentuk.
Kerukunan di Tegaljoho juga dapat dilihat dari para ibu-ibunya, yaitu dengan menggelar PKK setiap tanggal 12 . Acara tersebut diikuti kurang lebih oleh 70 ibu-ibu, dilakukan dengan cara bergilir dari satu anggota sampai selesai. Acara tersebut bermanfaat bagi para ibu karena dapat menyalurkan aspirasinya untuk memajukan desa, dan dapat menghindari gosip sebab ibu-ibu desa tegaljoho berada disitu, sehingga tidak akan membicarakan orang.
Orang Jawa selalu dipandang penurut, sabar, lemah lembut, halus, sopan dalam berperilaku dan ber tutur, menerima. Namun dalam orang Jawa itu ada istilah ethok-ethok atau yang artinya pura-pura atau perasaan yang disembunyikan. Ethok-ethok sering digunakan oleh orang jawa untuk menghindari konflik yang berkepanjangan. Seperti yang dilakukan ibu saya pada tetangga sebelah, tetangga saya memasang pembuangan asap dari pawon nya menghadap ke jendala kamar saya. Apabila jendela tersebut dibuka dan saat itu tetangga saya sedang masak maka yang terjadi asapnya masuk kerumah saya dan menyebabkan bau serta tembok kamar menjadi hitam. Melihat hal tersebut orang tua saya menjadi agak naik pitam, namun hal tersebut mampu di padamkan sehingga menjadi tidak begitu marah. Apabila bertemu dengan orang tersebut orang tua saya masih bersikap baik padanya, agar tidak menimbulkan konflik baru dan mengganggu kerukunan dalam bertetangga. Sehingga benar jika ada yang bilang orang jawa itu selalu berpura-pura, hal tersebut untuk tetap dalam kondisi selaras dan tentram.
Tidak hanya dalam persoalan kerukunan, namun dalam persoalan menghormati orang jawa juga sangat menjunjung tinggi. Bagimana tidak dalam budaya jawa terdapat tiga bahasa yang digunakan yaitu bahasa krama inggil, krama, dan ngoko. Ketiga bahasa tersebut digunakan untuk berbicara dengan orang yang berbeda-beda. Krama inggil digunakan untuk berbicara kepada orang yang lebih tua atau sudah tua misalnya orang tua, kakek-kakek, nenek-nenek, dan lainnya. Krama atau krama madya itu digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua sedikit diatas kita, misalnya kakak, atau tetangga yang lebihbtua sedikit. Sedangkan ngoko digunakan untuk berbicara dengan teman sebaya karena bahasanya tergolong kasar.
Hal tersebut masih terdapat di desa saya, dimana setiap anak kecil maupun yang dewasa apabila sedang berbicara dengan orang yang lebih tua itu selalu menggunakan bahasa krama inggil, yang berarti anak itu menghargai dan menghormati orang yang lebih tua, sebagai contoh jika menanyakan sesuatu ‘sampun dhahar dereng mbah’. Namun jika berkata pada orang yang lebih tua sedikit itu ‘ sampun nedha mbak’. Apabila berkata pada teman sebaya itu ‘ wis mangan durung’. Dari bahasa dan penuturannya jauh berbeda dan memiliki tingkatan yang jauh. Sehingga jika kita menggunakan bahasa yang krama pada orang yang lebih tua akan terlihat lebih menghormatinya dan respon yang diberikan akan baik.
Kefasihan dalam mempergunakan sikap-sikap hormat yang tepat dikembangkan pada orang jawa sejak kecil melalui pendidikan dalam keluarga. Seperti yang diuraikan oleh Hildred Geertz pendidikan ittu tercapai melalui tiga perasaan yang dipelajari oleh anak jawa dalam situasi yang menuntut sikap hormat, yaitu wedi, isin, dan sungkan. Wedi atau yang berati takut, wedi terhadap orang yang lebih tua sehingga bersikap hormat padanya. Seperti yang ditanamkan oleh keluarga saya, apabila tidak wedi dengan orang yang lebih tua maka akan terjadi bahaya yang akan menimpa, sehingga saya wedi atau takut dan dapat menghormati orang yang lebih tua.
Setelah ditanamkan perasaan wedi selanjutnya isin aatu berati malu. Belajar merasa malu merupakan langkah pertama ke arah kepribadian jawa yang matang. Apabila orang jawa tidak bersikap isin atau tidak tau isin itu tidak dapat menunjukkan sikap menghormati. Dalam keuarga saya juga menerapkan perasaan isin, perasaan itu selalu ditanamkan oleh orang tua agar tidak isin atau ngisin-ngisini (memalukan), dari kecil saya sudah dididik seperti itu sehingga sekarang dapat menguasai dan menyesuaikan kelakuan sesuai aturan yang ada. Ada lagi perasaan sungkan, perasaan sungkan hampir sama dengan rasa isin, namun perbedaannya yaitu sungkan adalah malu dalam arti yang positif. Rasa sungkan menggambarkan rasa hormat yang sopan kepada sesama maupun orang lain yang belum dikenalnya. Apabila sering diberi oleh orang kita akan merasa sungkan untuk terus menerimanya. Adanya Rasa wedi, isin, dan sungkan merupakan kesinambungan perasaan yang mempunyai fungsi sosial untuk memberikan dukungan psikologis terhadap tuntutan-tuntutan prinsip hormat.
Referensi
Koentjaraningrat. 1994 . Kebudayaan Jawa. Jakarta:Balai Pustaka
Suseno, Franz Magnis. 2003. Etika Jawa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
saya jadi tahu dimanapun kita berada sebagai orang jawa harus dan wajib menjunjung tinggi kerukunan dan sikap hormat kepada siapapun di dalam masyarakat