Dalam jurnal Pak Nugroho Trisnu Brata ini memaparkan tentang budaya kekerasan, nilai-nilai, dan etika, masyarakat jawa ini merupakan tugas review untuk mata kuliah sosiologi politik untuk semester 5.
Kebudayaan Jawa identik dengan Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta. Keraton sering menjadi gambaran masyarakat jawa yaitu halus dan penuh tatakrama. Masyarakat jawa sebenarnya adalah etnis yang keras dan menjadi bangsa penakluk. Namun Kerajaan Mataram berhasil menaklukkan seluruh pulau jawa kecuali Banten dan Batavia. Hal tersebut mengakibatkan pergeseran kebudayaan yang mengakibatkan masyarakat jawa yang halus. Nilai-nilai dan etika Jawa berperan dalam memahami budaya kekerasan. Nilai dan etika jawa terdapat tiga prinsip yaitu hormat, rukun, dan isin. Tiga prinsip tersebut merupakan kondisi nyata masyarakat jawa sehari-hari.
Adanya kekeuatan kapitalisme asing VOC kedalam kekuasaan Mataram pada masa peralihan Sunan Amangkurat I ke II dengan membantu mengusir pemberontakan pasukan Tronojoyo. Perjanjian Giyanti yang membelah Kerajaan Mataram menjadi 2 yaitu Yogyakarta dan Surakarta tahun 1755 M. Peran Belanda semakin kuat dan melakukan pembagian di jawa dengan menggulingkan Pakubuwono II dan III serta memaksa Pakubuwono III untuk menyerahkan secara resmi setengah dari kerajaannya kepada Pangeran Mangkubumi yang memberontak. Namun Pakubuwono III keberatan dengan konsekuensi membagi dua uang tanah pesisir sebesar 20.000 real. Setelah adanya perjanjian giyanti tanah jawa kembali terjadi kekerasan dan peperangan yaitu perang Diponegoro tahun 1825 M. Perang tersebut berlangsung pada tahun 1825-1830 M, berhentinya perang tersebut berkat bantuan Belanda. Sehingga sebagai imbalannya Belanda mendirikan negara baru yaitu colonial state.
Dulu secara politis Sultan adalah raja dan kepala negara yang memiliki otoritas untuk mengatur kerajaannya walau masih dibawah kekuasaan Belanda. Namun sejak pembacaan maklumat 5 September 1945, Sutan Hamengkubuwono IX masih menjadi raja tapi bukan lagi menjadi kepala negara. Dalam gerakan massa mewujudkan reformasi tahun 1998, Sultan HB X tidak terdengar menyuarakan reformasi, karena pada saat itu Sultan sedang nglakoni atau sedang menjalani laku prihatin. Sultan HB X sedang mempunyai keinginan untuk mendukung gerakan reformasi agar berjalan damai. Beliau juga bergabung dengan massa dijalanan agar dapat mencegah kekerasan dan amok massa di Yogyakarta. Adanya gerakan massa pisowanan ageng merupakan bentuk mewujudkan reformasi di Yogyakarta. Pada pisowanan ageng 20 Mei massa berbondong-bondong datang ke Sultan bukan sebagai tanda baktinya tapi untuk mendukung gerakan reformasi dengan menjatuhkan Soeharto.
Budaya alus dan budaya kasar di Jawa diibaratkan dengan buto cakil dan Arjuna. Penulis baru sadar bahwa tari bambangan cakil merupakan simbol kekerasan yang berujung pertarungan. Buto cakil yang identik dengan kasar yang dicirikan dengan penampilan fisik seperti raksasa dna menyukai kekerasan. Sedangkan Arjuna memiliki sifat halus dan penuh pengendalian diri. Watak halus merupakan kondisi ideal masyarakat jawa untuk mencapainya perlu laku, tapa brata, dan usaha. Watak halus derajadnya lebih tingga dan identik dengan ksatria, jika watak kasar identik dengan wong cilik, wong sabrang, dan anak muda.
Analogi jawa dupak bujang, semu mantri, edem bupati. Dupak bujang berati “tendangan kaki” yang digunakan untuk berkomunikasi wong cilik menggunakan kekerasan. Yang lebih tinggi sedikit semu mantri, dalam berkomunikasi ia harus menyindir orang lain. Yang paling tinggi esem bupati, priyayi tinggi yang posisinya dibawah raja, jika berkomunikasi ia cukup dengan mesem atau senyum. Proses gerakan massa mewujudkan reformasi di lingkungan Keraton 20 Mei 1998 tidka iwarnai oleh peristiwa kekerasan, kebrutalan, dan anarki.
Para gerakan massa untuk mewujudkan reformasi tersebut berjalan damai dan tanpa senjata. Massa berjalan melewati jalan raya Yogyakarta untuk medatangi pisowanan ageng di Keraton Yogyakarta. Mereka dengan rasa lapar jika tidak dapat dikontrol maka dapat merusak sekitar jalan yang dilewatinya. Untuk mengantisipasinya Sultan memberikan hadiah berupa gunungan grebeg untuk dimakan bersama-sama dengan sultan. Makanan grebeg tersebut tidak berupa gunungan melainkan makanan dan minuman yang diletakkan dipinggir-pinggir jalan yang dilewati massa yang menuju Keraton.
Perilaku kekerasan atau budaya kekerasan sering dianggap sesuatu yang tidak baik, negatif, dan harus dihindari. Kekerasan sering dianggap bertentangan dengan nilai-nilai dan etika masyarakat jawa. Budaya kekerasan diwariskan secara tradisi dari generasi ke generasi dalam ranah budaya. Wayang kulit dan wayang wong menjadi media untuk mensosialisasikan budaya kekerasan.