Di sebuah desa terpencil yang sangat jauh dari perkotaan, terdapat sebuah kampung yang mayoritas penduduknya berpenghasilan menengah ke bawah. Kebanyakan dari mereka hidup serba kekurangan, masyarakat di kampung tersebut lebih mengandalkan alam untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka karena kampung mereka tergolong kampung yang subur. Kampung tersebut dapat ditempuh dengan sepeda motor sekitar 5 Km dari daerah perkotaan dengan kondisi jalan yang belum bisa dikatakan mulus untuk dilalui. Tepat di tengah-tengah kampung tersebut, ada sebuah gubuk yang mungkin bagi sebagian orang menganggap gubuk tersebut sangat tidak layak huni. Bu inem namanya, sang pemilik gubuk. Ia tinggal bersama satu anak laki-laki sulungnya, dan dua anak perempuannya.
Di tengah panasnya terik matahari, bu inem masih semangat mengumpulkan ranting-ranting pohon yang berserakan. Satu demi persatu ia kumpulkan, ia tak peduli seberapa panasnya terik matahari yang menyengat tubuhnya, ia juga tak peduli berapa peluh yang telah berjatuhan saat memunguti ranting-ranting pohon. Sejak beberapa tahun silam setelah kepergian suaminya, bu inem sangat berjuang keras untuk membesarkan ketiga anaknya. Bu inem bekerja sebagai penjual kayu bakar yang ia kumpulkan sendiri dari hutan tak jauh dari gubuknya, ia menjualnya kepada tetangga-tetangganya, kalaupun kayu bakarnya belum laku dan tenaganya masih tersisa, maka ia akan berjalan menuju kota dan menjualnya.
Tak terasa beberapa ikat ranting yang ia letakkan di bawah pohon sudah mulai menggunung. Sejenak bu inem duduk di bawah pohon yang cukup rindang sambil melepas lelah. Iapun meneguk air mineral yang dibawanya dengan penuh nikmatnya. Setelah rasa haus sudah mulai beranjak, Ia memutuskan istirahat terlebih dahulu sebelum ia mulai untuk menjul kayu bakarnya. Sambil duduk ia pun mengambil topi di atas kepalanya dan digunakannya sebagai kipas. Sambil istirahat, tatapan bu inem menerawang jauh ke depan. Pandangannya mengarah pada pemandangan perbukitan indah yang ada di depannya. Inilah yang menjadikannya hiburan di tengah lelahnya bekerja, menyaksikan indahnya lukisan sang Ilahi yang tak ada tandingannya. Bukit-bukit yang berjajar, tanaman-tanaman yang hijau, semuanya benar-benar memanjakan mata.
Di tengah lamunannya, terbesit sebuah pertanyaan, bagaimana agar ia bisa terus menyekolahkan ketiga putranya hingga mereka bisa meraih apa yang mereka cita-citakan, sementara kini usianya sudah mulai senja. Anak sulungnya sudah kelas tiga SMA, anak keduanya masih duduk di bangku SMP, begitu pula dengan anak bungsunya yang masih SD. Ia tak ingin ketiga putranya memiliki nasib yang sama dengannya. Biarlah ia hidup serba susah dari kecil, asalkan anak-anaknya bisa hidup makmur di kemudian hari, itulah salah satu harapan bu inem kepada ketiga putranya. Ia tak bisa berbuat banyak, yang bisa ia lakukan hanyalah berdo’a kepada Allah S.W.T akan kesuksesan anak-anaknya dan terus menyemangati ketiga putranya agar tak putus sekolah walau hidup serba pas-pasan. Bu inem pun terbangun dari lamunannya dan segera beranjak untuk menjual kayu bakarnya.
Sementara itu sulungnya yang bernama fakhri turut membantu perekonomian keluarganya. Setiap pulang sekolah, ia selalu menyempatkan waktu untuk pergi ke rumah pak juno. Pak juno adalah satu-satunya pejual batu bata di kampung tersebut. Dari sekian warga di kampung tersebut, hanya pak juno lah yang bisa dibilang kehidupannya cukup makmur. Tepat disamping rumahnya, terdapat suatu tempat yang memang disediakan pak juno untuk proses pembuatan batu merah. Disitulah fakhri bersama warga lainnya bekerja sebagai pembuat batu bata. Semua itu ia lakukan semata-mata karena ia tidak mau melihat ibunya berjuang sendirian menghidupi dirinya dan kedua adiknya. Walau uang yang dihasilkannya tak seberapa, namun dengan ikhlas ia teteap melakoni pekerjaan tersebut.
Setelah pekerjaan selesai, pak juno memberikan upah kepada para pekerjanya. Fakhri pandai dalam mengatur uang dari hasil bekerjanya. Sebagian ia berikan kepada ibunya, sebagian lagi ia tabung untuk keperluan sekolah dirinya dan kedua adiknya. Setelah ia membereskan semua peralatan pekerjaannya, ia pun segera berpamitan kepada pak juno untuk pulang. “hei, fakhri kemarilah. Kita ngobrol dulu sebentar.” Tiba-tiba dari arah belakang adit memanggilnya. Ia adalah putra pak juno yang juga teman sekelas fakhri. “ ada apa dit ?” fakhri pun menghampirinya. “ setelah selesai SMA nanti, kau akan lanjut kuliah tidak ?” adit pun memulai pembicaraannya.
“ saya tak tahu dit, apalagi kalau mikir masalah uang untuk kuliah. Saya hanya bisa pasrah dit, tapi hasrat saya untuk bisa lanjut kuliah sangat besar. Kamu sendiri bagaimana ?” jawabnya dengan mengalihkan tatapannya ke atas langit. “aku disuruh ayah untuk melanjutkan ke STAN.” Jawab adit. “wah bagus itu, apalagi disana sudah dijamin kerja. Saya do’akan semoga kamu bisa masuk.” Fakhri pun menjawab dengan penuh senyuman. “ Terimakasih ri, saya do’akan juga semoga cita-citamu bisa terwujud.” Jawab adit.
“ya terimakasih banyak dit, yasudah saya pulang dulu, kasihan emak sudah nunggu di rumah.” Fakhri pun pamit dan segera beranjak pulang. Sepanjang perjalanan menuju rumah, fakhri terus teringat pembicaraannya dengan adit. Ia hanya bisa berpasrah kepada Allah S.W.T atas segala takdir yang telah menantinya kelak. Ia tak bisa berbuat banyak, yang bisa ia lakukan saat ini adalah terus berjuang belajar dengan sungguh-sungguh dan tak lupa selalu diiringi dengan do’a. Ia sangat percaya bahwa bukan uang sebagai penentu kesuksesan, namun Allah lah yang menentukan segalanya, Dia lah yang Maha Melihat, Dia lah yang Maha Mendengar, Dan Dialah yang Maha Mengetahui. Fakhri teringat akan salah satu Firman Allah yaitu dimana ada kesulitan, pasti ada kemudahan.
“Ya Allah… aku tak akan pernah berhenti bermimpi selama Engkau selalu mengiringi perjalanan hidupku. Ku serahkan segalanya hanya kepadaMu Ya Allah…” sambil terus berjalan, ia berbisik dan tak terasa perlahan ia menitihkan air matanya. Suasana langit saat itu terlihat gelap, semua dahan-dahan pohon bergoyang diterpa angin dingin, hingga fakhri harus melipatkan kedua tangannya di depan dada agar terasa lebih hangat. Ia pun menghapus air matanya yang sedari tadi mengalir di pipinya. Ia segera mempercepat langkahnya dan berlari agar bisa cepat sampai ke rumah tanpa kehujanan.
Malam pun tiba, ini adalah waktu dimana ia harus belajar dan juga membimbing adik-adiknya. Mereka belajar dengan penerangan seadanya, yaitu hanya menggunakan lampu minyak. Malam itu hujan turun cukup deras, air hujan turun bersama dengan angin yang cukup besar. Tetesan air yang jatuh dari calah-celah genteng yang sudah bocor pun tak dapat dihindari. Belum lagi angin dingin yang masuk menyelinap diantara celah-celah dinding rumah yang terbuat dari papan-papan kayu. Tak bisa dipungkiri malam itu memang lebih dingin dari pada malam-malam sebelumnya.
“nduk, kalau kamu sudah ngantuk mbok yo jangan dipaksa, pergilah tidur.” Tiba-tiba dari dapur, bu inem datang sambil membawakannya segelas teh hangat.
“tidak bu, saya belum mengantuk, saya ingin belajar bersungguh-sungguh bu.” Jawab fakhri dengan penuh kelembutan. “ibu do’akan semoga cita-cita mu bisa terwujud ya nduk… kamu yo mesti yakin, Allah suka kepada orang-orang yang mau berusaha, dan Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu merubah dirinya sendiri.” Bu inem menyemangati putra sulungnya dengan penuh senyuman dan semangat.
“nggih bu” jawab fakhri sambil terus tertunduk. Tiba-tiba bu inem mendekatinya dan memeluknya dengan penuh kasih sayang. Sambil terus memeluk putranya, ia membisikkan sesuatu “ibu ridlo sama kamu nak…”. Fakhri tak kuasa mendengar kalimat yang disampaikan sang ibu tercinta. Ia tak kuat mendengarnya, hingga tangisnya pun seketika pecah bak hujan yang turun malam itu.
“fakhri berjanji akan terus berjuang bu demi masa depan yang lebih baik.” Ucapnya sambil terus memeluk bu inem. Suasana malam itu sangat mengharukan. Fakhri merasa mendapat dukungan yang sangat kuat dari orang-orang yang dicintainya. Ia pun sangat yakin dan bertekad untuk melanjutkan studinya di bangku kuliah. Fakhri memang tergolong anak yang pandai. Sejak SD ia selalu menjadi juara kelas. Ia juga beberapa kali mendapat juara lomba antar pelajar di bidang akademis dari tingkat kabupaten hingga tingkat nasional.
Keesokan harinya, seperti biasa fakhri, ani dan dina berpamitan kepada ibunya untuk pergi sekolah. Hari yang cukup cerah, namun jalanan dan pepohonan masih terlihat basah setelah diguyur hujan semalaman. Sebuah pelangi melintas diantara deretan bukit hijau nan anggun. Dari balik pegunungan sang fajar sudah mulai menampakan dirinya, menyebarkan semangat cahaya-cahaya hangat bagi seluruh penduduk bumi. Awan putih pun seolah tak mau kalah dengan penduduk langit lainnya, mereka membentuk kawanan awan yang berhembus dengan pelan seakan ingin menyapa semua orang. Dari atas sana tampak kawanan burung yang sedang membentangkan sayapnya lebar-lebar dengan asyik bercengkrama dan berterbangan kesana kemari, kicauannya semakin menambah hangatnya suasana pagi saat itu. Pagi itupun semakin menambah semangat fakhri dalam menuntut ilmu. Seakan semua dunia kini menyambutnya dengan penuh keramahan. Mereka bertiga menyusuri jalan dengan penuh semangat karena mereka yakin asa sedang menanti di depan sana.
Fakhri pun melanjutkan perjalananya. Sekolahnya memang lebih jauh dari kedua adiknya. “kriiing…kring…kring…” bel pun berbunyi. Fakhri mempercepat langkahnya dan segera masuk kelas. Tiga jam pelajaran sudah dilalui, tiba-tiba wali kelas fakhri memberikan pengumuman kepada murid-muridnya.
“anak-anakku semua, sebentar lagi kalian akan meninggalkan bangku SMA, bapak harap kalian bisa menentukan jalan yang terbaik yang akan kalian pilih setelah lulus SMA nanti. Bagi yang akan melanjutkan kuliah, kami akan bimbing kalian untuk menentukan sekolah dan jurusan apa yang bisa kalian pilih. Bagi yang ingin bekerja, kalian bisa menambah keahlian melalui kursus yang sesuai dengan pekerjaan kalian nanti, karena selain dapat menambah kemampuan kalian, juga biasanya menjadi syarat dalam pakaerjaan tersebut. Nah bagi yang ingin kuliah namun kondisi ekonominya kurang mendukung, bapak punya info nih, kalian bisa tetap kuliah tanpa dibebani biaya kuliah dengan mengikuti program bidik misi yang telah disediakan oleh pemerintah. Nanti pihak sekolah akan bantu kalian sepenuhnya untuk bisa mengikuti program tersebut, jadi bagi kalian yang kurang mampu jangan berkecil hati, songsonglah masa depan kalian dengan penuh semangat dan optimis. Mengeti semua ?” jelas pak agus dengan penuh senyuman. “mengerti pak…” siswa-siswi pun menjawab dengan serempak.
Setelah penjelasan dari wali kelas, fakhri semakin yakin akan keputusannya, ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Ia pun semakin meningkatkan kualiatas belajarnya. Baginya, tak ada hari tanpa belajar sekalipun itu hari libur. Namun demikian, fakhri tidak melupakan kewajibannya untuk membantu perekonomian keluarganya. Setiap pulang sekolah ia tetap pergi ke rumah pak juno untuk membuat batu bata. Agar waktu belajarnya bisa bertambah, setiap pukul dua malam ia selalu bangun malam. Setelah sholat tahajud, ia melanjutkan untuk belajar hingga waktu subuh tiba. Ia tak pernah mengeluh karena lelah atau ngantuk saat waktu belajarnya ditingkatkan, karena menurutnya segala sesuatu butuh perjuangan dan pengorbanan, ia juga yakin bahwa jika ingin menggapai sesuatu yang manis maka harus siap menerima dan menjalankan segala resiko yang sudah menanti di depan mata.
Waktu pun terus berlalu hingga akhirnya fakhri dan teman-temannya lulus SMA dan fakhri dapat diterima di salah satu perguruan tinggi negeri, ia juga salah satu penerima program bidik misi. Kini saatnya fakhri berpamitan kepada ibunda tercinta dan kedua adiknya untuk merantau ke kota demi menimba ilmu yang bermanfaat. Fakhri menatap wajah sang ibu dengan penuh haru. “terimakasih ya bu atas do’a dan ridlo ibu selama ini” mata fakhri mulai berkaca-kaca. “ iya nduk. Selamat ya… akhirnya kamu bisa kuliah…” air mata bu inem tak dapat dibendung lagi, begitu pula dengan fakhri. Seketika bu inem memeluk putranya sambil membisikkan “ ibu bangga sama kamu nduk… belajarlah yang rajin, gapailah semua yang kau cita-citakan. Insya Allah, Allah akan selalu membantumu nduk… ibu disini akan selalu mendo’akanmu. Ridlo ibu akan selalu mengiringi perjalananmu nduk. Kalau sudah sukses nanti jadilah orang yang bermanfa’at bagi masyarakat, dan jangan lupa bimbinglah adik-adikmu juga.”
“baik bu, terimakasih bu…” tak banyak yang bisa fakhri ucapkan, karena ia masih tak tahan menahan tangis. “ dina, ani kalian yang rajin ya belajarnya. Kalian juga harus nurut sama ibu, jangan pernah buat ibu nangis. Do’akan kakak ya sayang…” fakhri pun memeluk kedua adiknya. “ iya kak… kita bakal nurut sama ibu. Dina juga akan menjaga ani dan membantunya mengerjakan PR. “ kakak sering-sering pulang…” pinta ani dengan manja.
“ haha… iya sayang. Nanti kalau ada waktu kakak pasti pulang pingin ketemu sama adik-adik kakak yang lucu-lucu ini…” fakhri mencubit pipi kedua adiknya dengan manja “hahaha…” mereka semua tertawa gembira di tengah kebahagiaan yang sedang menyelimuti mereka. Canda dan tawa bersama keluarga akan menjadi hal yang paling dirindukan bagi fakhri. Menjaili adik-adiknya, mengajarkan sesuatu kepada adik-adiknya, dan satu hal yang paling indah baginya adalah saat melihat sang ibu bisa tersenyum bahagia. Ia sadar bahwa sebagai anak, tak akan mampu membalas semua jasa kedua orang tuanya terutama sang ibu. Karena itu, ia hanya bisa berusaha agar bisa menerbitkan sebuah senyuman manis dari sang ibu tercinta yang baginya tak akan pernah ternilai harganya.
Fakhri mulai melangkahkan kaki meninggalkan rumah. Ia pun menengok ke belakang, di sana masih terlihat ibu dan kedua adiknya melambaikan tangan, fakhri juga membalas lambaian tangannya dengan senyuman penuh haru. Lalu ia melanjutkan perjalanannya menuju ke kota. Setelah sampai di perbatasan kampung, sekali lagi ia menoleh ke belakang, dalam hatinya ia bergumam “ semuanya, tunggu aku, aku akan segera kembali untukmu.” Kini pandangannya ia alihkan ke depan sambil berkata “ aku akan berjuang meyongsong masa depanku, aku harus konsisten dengan keputusan yang sudah aku pilh dan aku siap menghadapi segala rintangan yang sudah menanti di depan mata. Semangat fakhri, semangat…” ia pun mngepalkan kedua tangannya dengan penuh semangat. Kini ia dapat membuktikan bahwa kondisi ekonomi bukan menjadi penghalang seseorang untuk menggapai cita cita yang diinginkan.
Kini fakhri kuliah sambil bekerja. Ia bekerja sebagai guru privat untuk menambah uang bulanannya. Dengan demikian ia bisa mencukupi kebutuhannya sendiri tanpa harus membebani ibunya. Tak lupa pula penghasilannya ia bagi untuk dikirimkan ke kampung, sehingga selain bisa memenuhi kebutuhannya sendiri ia juga masih bisa membantu ibunya untuk menghidupi kedua adiknya. Ia sangat bersyukur, Allah telah mengabulkan do’anya selama ini. Ia juga merasa bahagia karena Allah selalu memberikan kemudahan bagi hambaNya dari jalan yang tak disangka-sangka.
Komentar Terbaru