Asslamu’alaikum…

Kali ini saya akan berbagi hasil observasi ketika kuliah tentang kesetaraan gender dalam pendidikan. Artikel ini merupakan hasil tugas pada mata kuliah sosiologi terapan. Ternyata dalam sosiologi bukan hanya berbicara tentang teori tapi praktek pun ada. So, selamat membaca… Jangan lupa sent argumen kamu mengenai artikel ini ke email [email protected] agar kita bisa bertukar pikiran. Terima kasih…

Dunia pendidikan mempunyai peran andil membentuk karakter siswa terhadap peranannya dalam kehidupan sehari-hari. Gender merupakan peranan laki-laki dan perempuan dalam aktivitas kehidupan. Peranan tersebut terkadang membuat kesenjangan peranan dalam kehidupan. Wanita tersubmarginalkan tidak dipandang sebagai seseorang yang mempunyai andil dalam menentukan kehidupanya sendiri. Ditambah lagi dengan kostruksi masyarakat yang telah tertanam kuat mengenai peran laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini pendidikan mampu memberikan cara preventif untuk mengurangi kesenjangan gender untuk kehidupan sehari-hari. Perlu digaris bawahi bahwa kesetaraan tidak harus sama. Ada hal yang tidak bisa dimiliki atau dilakukan laki-laki maupun perempuan, yaitu kodrat. Pemberian dari Tuhan yang tidak dapat diubah lagi.

Dengan era globalisasi seperti sekarang ini dimana batas-batas menjadi bias apakah kesenjangan peran masih terjadi. Seperti dalam dunia pendidikan yang sudah tertanam kuat bahwa laki-laki harus berani dan menjadi seorang pemimpin kelas. Seperti yang dikatakan oleh Ranienci Istiqomah dalam penelitianya bahwa terdapat beberapa factor dalam kesenjangan gender, yaitu aspek kebijakan, sosial-ekonomi, dan budaya. Kebijakan pemerintah terkadang berpihak kepada laki-laki, seperti ruang public bagi perempuan. Banyak syarat yang harus dipenuhi. Kemudian sosial-ekonomi, dalam pendidikan biasanya pertemanan terjadi sesame peremuan atau sesame laki-laki sehingga jaringan modal sosial kuarng berkembang. Kemudian dari segi budaya banyak kepercayaan atau keyakinan yang tertanam kuat bahwa laki-laki dan pererpuan mempunyai peranan yang berbeda, seperti laki-laki lebih diutamakan untuk mengenyam pendidikan sedangkan perempuan membantu ibunya untuk mengurus rumah. Pandangan semacam itu memberikan jarak bagi perempuan untuk berkembang.Yang menjadi sorotan utama dalam kesetaraan gender adalah kepandaian dari guru untuk membenarkan pengertian mengenai gender yang selama ini telah keliru. Sehingga siswa memahami secara benar dan mampu mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pemahaman yang baik mengenai gender maka hal ini akan berdampak sikap dalam bergaul dan masa depan anak. Laporan ini akan menceritakan bagaiman kosntruksi siswa SMA AL USWAH mengenai geder.

A. Gender di dalam kelas

Pengaplikasian gender dari hasil observasi kelompok kami di SMA Al-Uswah yang terdapat pada aktivitas di dalam kelas yang kami ambil contoh dari kelas sebelas dengan menyebar angket pada murid-murid dikelas. Hasil yang didapatkan cukup beragam tetapi sebagian ada yang sepemikiran. Murid-murid dikelas itu sudah mengerti apa yang dimaksud dengan gender sehingga dari kelompok kami dengan mudah memberi pertanyaan seputar masalah gender di lingkungan sekolah.

Sekolah Menengah Atas Al-Uswah sendiri merupakan sekolah swasta yang berbasis Islam pesantren. Di sekolah ini memiliki aturan dalam penggunaan seragam yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, untuk anak laki-laki menggunakan celana dan tidak boleh dibentuk pensil, serta menggunakan peci hitam, sedangkan yang perempuan menggunakan seragam yang menutup aurat seperti bawahan rok dan kerudung mahat, dll. Selain seragam juga ada peraturan yang mengatur tentang tata kelakuan dari siswa-siswi yang memisahkan antara lakai-laki dan perempuan, seperti siswa laki-laki dan perempuan tidak diperbolehkan duduk sebangku berdua, dan juga tidak boleh pacaran.

Aktivtas yang terjadi di dalam kelas antara murid laki-laki dan murid perempuan tidak adanya pembedaan. Karena menurut murid-murid, mereka sama-sama memiliki status pelajar dan bertujuan agar belajar bersama lebih menyenangkan, dan untuk mempermudah pergaulan dan sosialisasi antara murid laki-laki dan perempuan. Bahkan menurut salah satu murid yang kami tanyai, misalkan sedang mengangkat meja itu juga murid perempuan yang mengangkat sendiri tidak meminta bantuan laki-laki. Dan menurut mereka antara laki-laki dan perempuan memiliki tanggung jawab yang sama saja.

Struktur organisasi di kelas tidak berdasarkan pada laki-laki yang harus sebagai pemimpin (prioritas). Tetapi dari orang yang memang dianggap memiliki kemampuan / keahlian baik itu laki-laki maupun perempuan melalui sistem musyawarah untuk mencapai kesepakatan bersama. Diperkuat pula dengan pandangan bahwa perempuan juga bisa memimpin dalam struktur organisasi karena adanya emansipasi wanita, contohnya di sekolah tersebut ketua OSIS-nya adalah perempuan. Disisi lain ada murid yang masih berpikiran bahwa laki-laki adalah seorang imam, maka laki-laki seharusnya berada pada posisi ketua tetapi tetap dengan keputusan bersama.
Fasilitas yang ada di kelas juga sama-sama digunakan murid-murid laki-laki dan perempuan tetapi dalam penggunaannya bergiliran atau bergantian, misal seperti spidol, sapu, kemoceng, dll. Fasilitas lainnya di sekolah salah satunya yaitu toilet, dimana toilet antara laki-laki dan perempuan sudah dibedakan sendiri-sendiri, dan di sekolah tersebut keseluruhan terdapat 5 toilet.

Perlakuan guru kepada murid-muridnya pada umumnya sama antara murid laki-laki dan murid perempuan, tetapi mungkin dalam penegasannya yang sedikit berbeda. Karena biasanya murid perempuan akan lebih mudah diatur dan diarahkan daripada murid laki-laki, sehingga dibutuhkan ketegasan yang lebih kepada murid laki-laki. Tetapi untuk keseluruhan dalam pembelajaran dan perhatian untuk murid semua sama. Karena menurut murid-murid yang kami tanyai, guru lebih tau apa yang harus mereka lakukan dan bagaimana mereka harus menyikapi murid-muridnya.

B. Pengetahuan Gender dari Siswa dan Guru

Di Al-Uswah ini, para siswa sudah diajarkan mengenai pengetahuan gender oleh guru mereka. Walaupun SMA ini berbasis pesantren, tetapi kesetaraan gender sudah cukup terlaksana dengan baik. Contohnya saja dalam pemilihan pemimpin seperti ketua kelas, ketua OSIS dll, mereka tidak mengutamakan seorang laki-laki untuk menjadi pemimpin mereka mengingat biasanya seseorang akan memilih laki-laki karna dianggap lebih mampu menjadi pemimpin. Di SMA yang berbasis pesantren ini, pemilihan pemimpin ditentukan oleh kemampuan dan minat siswanya, pada tahun ajaran 2016/2017 sekarang ini ketua OSIS di SMA ini merupakan seorang perempuan siswi dari kelas XI. Contoh lainya pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan seperti menghapus papan tulis, memindahkan meja, menyapu lantai dll dilakukan tidak memprioritaskan baik itu laki-laki atau perempuan. Seperti kegiatan yang memindah meja, menghapus papan tulis, yang masih ada yang menganggap mungkin itu pekerjaan yang pantas dilakukan oleh laki-laki, di SMA ini pekerjaan itu tidak memprioritaskan itu laki-laki ataupun perepuan. Para peserta didiknyapun sudah mengetahui apa itu gender dan kesetaraan gender karena hal itu sudah ada didalam materi pembelajaran mereka sudah ada yang membahas tentang gender.

Kesetaraan gender di SMA ini memang sudah terlaksana dengan baik, tetapi hal lain juga menunjukan kesenjangan gender masih ada di SMA ini dan mungkin sulit dihilangkan, seperti buku ajar yang diajarkan, bukan hanya di SMA ini saja, tetapi di sekolah-sekolah lainya masih terdapat kesenjangan gender. Contohnya adalah gambaran pekerjaan-pekerjaan tertentu yang mencirikhaskan itu pekerjaan laki-laki atau perempuan, misalnya pekerjaan pilot, polisi, masinis,petani, dan melakukan pekerjaan kasar, hal itu identik dengan pekerjaan laki-laki. Hal lainya seperti pekerjaan dokter, pekerjaan seperti menyapu, memasak, hal itu identik dengan pekerjaan peren perempuan.

Pendidikan sebagai organ vital dari basis pengajaran dan pengenalan praktik pendidikan pembelajaran tidak luput juga dari kasus bias gender. Ketimpangan gender ini sejak dini sudah diperkenalkan kepada anak-anak didik, sehingga terma-terma dikotomis, dan komponen semantik yang saling beroposisi membenamkan pengertian yang dipandang kurang baginya.

Simaklah kutipan yang ditemukan dalam satu mata pelajaran IPS seperti dibawah ini:

“Ayah mempunyai kedudukan sebagai kepala keluarga. Ayah adaah suami dari ibu. Kesejahteraan dan keselamatan keluarga merupakan tanggung jawab ayah. Ayah bertugas mencari nafkah untuk menghidupi anak dan istrinya. Ayah juga memiliki hal untuk dihormati, kita harus menghormati beliau. Ayah juga berhak membuat peraturan di rumah, karena ayah merupakan pemimpin keuarga. Ayah berhak menasihati dan memberikan hubkuman pada anaknya yang nakal.”

Di dalam kalimat diatas, terlihat bagaimana diferensiasi hirarkis dan ketimpangan gender ini beroperasi didalam keluarga. Ayah yang direpresentasikan dalam figur tersebut, memiliki otoritas kedudukan yang lebih. Ayah adalah sosok yang mewadahi unsur-unsur kesempurnaan, satu-satunya pengendali dan sumber penentu keharmonisan sebuah keluarga. Andaikalapun ayah sudah meninggal, kemudian ibu yang mengendalikan kualitas kehidupan serta pemimpin anak-anaknya, peran ayah tidak tergantikan. Sebab sosok ayah ditemukan atau hidup dalam diri sang ibu. Kurikulum dan materi pembelajaran yang belum mengacu pada prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan gender akan menyebabkan perempuan tetap tidak mempunyai mentalitas sebagai warga masyarakat yang produktif.

Budaya yang demikian merupakan sebuah bentuk ketidakadilan yang seringkali tidak disadari oleh masyarakat, khususnya kaum perempuan. Setiap aliran feminisme memiliki perspektif yang berdeda mengenai ketidakadilan serta strategi untuk mengatasi ketidakadilan tersebut. Berikut ini akan dikemukakan beberapa pandangan umum feminisme terhadap struktur sosial yang patriarkal di masyarakat:

1.

Konteks sosial yang patriarkal pada individu-individu. Prinsip ini didasari oleh asumsi bahwa masalah-masalah yang terjadi di masyarakat bersumber dari ketidakadilan gender yang seringkali tidak disadari. Khususnya untuk perempuan, masalah tersebut seringkali berasal dari seringkali berasal dari konteks marginalisasi, oprasi, subordinasi dan stereotipisasi.

2.

Komitmen pada perubahan sosial, karena permasalahan utama terletak pada struktur, maka feminisme tidak hanya berusaha melakukan perubahan secara individual, namun juga perubahan sosial. Aksi nyata untuk melakukan sosial merupakan opsi utama yang akan dilakukan oleh para feminis.

3.

Suara, pemahaman, dan pengalaman wanita diberi tempat yang sejajar dengan pria. Selama ini, banyak hal di masyarakat yang dilakukan dengan tinjauan norma-norma androcenic, yaitu menggunakan laki-laki sebagai ukuran. Dengan begitu, pandangan wanita seringkali terabaikan dan ia seringkali menjadi korban. Bagi feminisme, wanita harus diberi tempat yang sejajar dengan pria dalam hal berpendapat dan bersuara.

Pendidikan sebagai alat untuk mentransfer norma-norma masyarakat, pengetahuan dan kemampuan mereka akan tidak berdaya jika norma gender tidak terwujud dalam pendidikan. Sebab, persoalan gender tidak hanya terjadi di dalam ruang-ruang perebutan sosial, regulasi pemerintah atau dari hasil beragam persilangan tafsir terhadap nilai-nilai budaya, politik, dan orientasi agama.

Kesimpulanya, Gender adalah perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang merupakan konstruksi sosial. Pengaplikasian gender melalui pembelajaran merupakan upaya menyetarakan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam menyongsong era globalisasi dewasa ini. Direalisasikan atau tidaknya pegintegrasian gender dalam pembelajaran, banyak ditentukan oleh guru dan bagaimana cara guru mengintegrasikannya. Karena guru merupakan pendidik sekaligus orang tua kedua bagi siswa di sekolah.

Di SMA Al-Uswah sendiri, bias gender dalam kegiatan belajar mengajar sudah nampak berkurang. Hal ini bisa dilihat dari contoh kecil dengan adanya kepemimpinan yang tak lagi hanya mengandalkan laki-laki namun juga perempuan. Contohnya saja adanya ketua OSIS yang berjenis kelamin perempuan. Tak hanya itu, menurut pengakuan sejumlah siswa guru juga sudah tidak lagi membedakan antara peran laki-laki dan perempuan.

REFERENSI BACAAN

Istiqomah, Ranienci.2015.Kesenjangan Gender dalam Bidang Pendidikan.IPB