Jumlah Pengunjung

Materi Antropologi SMA/MA Kelas XI Peminatan Bahasa Materi 3 : Persamaan dan Perbedaan Budaya, Bahasa, Dialek, Tradisi Lisan yang Ada di Masyarakat Setempat

       wayang

        Ada dua ciri bahasa yang saling bertentangan, yakni ciri universal dan ciri lokal (unik). Ciri universal bahasa, diantaranya terletak pada fonologi, morfologi, dan sematik yang ditemukan pada hampir semua bahasa yang terletak pada adjektiva mengikuti nomina, seperti rumah besar, jalan besar dan orang pandai yang juga ditemui di berbagai bahasa di dunia. Sifat universal bahasa dapat juga ditemui di persamaan kata pada beberapa bahasa di dunia. Fakta ini memperkuat dugaan para ahli bahwa pada asal mulanya bahasa manusia itu adalah satu dan sama. Sifat lokal (unik) bahasa dapat ditemui pada setiap daerah dan waktu serta individu. Lingua franca Indonesia adalah bahasa Indonesia, tetapi cara setiap orang Indonesia menggunakan bahasa Indonesia dapat kita tentukan asal-usul daerah. Cara orang Ambon berbeda dengan orang Betawi dalam mengungkapkan sesuatu dalam Bahasa Indonesia. Begitu juga halnya dengan orang Minahasa, Madura, Batak, Jawa, dan sebagainya. Keunikan itu pada akhirnya membentuk aksen, logat atau dialek yang disebut juga dengan idiolek-idiolek.

        Setiap dialek memiliki perbedaan, dialek suatu daerah berbeda dengan dialek daerah lainnya. Meskipun rumpun bahasa yang digunakan adalah sama. Dialek bahasa Jawa Surakarta berbeda dengan Bahasa Jawa yang ada di Jawa Timur dan daerah Purwokerto, dan sebagainya. Menurut Pusat pembinaan dan Pengembangan Bahasa (1983), perbedaan dialek pada garis besarnya dapat dibagi menjadi lima macam. Kelima macam pembedaan itu ialah sebagai berikut.

Perbedaan fonetik

        Perbedaan ini berada di bidang fonologi. Biasanya si pemakai dialek atau bahasa yang bersangkutan tidak menyadari adanya perbedaan tersebut. Sebagai contoh dapat dikemukakan carema dengan cereme yaitu buah atau pohon cerme, gudang dengan kudang, jendela, gandela atau janela. Mandadaki dengan manakaki (nama sejenis pardu). Dari contoh-contoh itu tampak bahwa perbedaan fonetik itu dapat terjadi pada vokal maupun konsonan (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1983).

Perbedaan semantik

          Perbedaan semantik merujuk kepada terciptanya kata-kata baru, berdasarkan perubahan fonologi dan geseran bentuk. Peristiwa tersebut biasanya terjadi geseran makna kata. Geseran tersebut bertalian dengan dua corak makna, yaitu:

           Pemberian nama yang berbeda untuk lambang yang sama di beberapa tempat yang berbeda, seperti turi dan turuy ‘turi ’, balimbing dan calingcing buat belimbing. Pemberian nama sama untuk hal yang berbeda di beberapa tempat yang berbeda. Misalnya calingcing untuk calincing dan belimbing, meri untuk itik dan anak itik.

Perbedaan onomasiologis

        Perbedaan onomasiologis merujuk pada nama yang berbeda berdasarkan satu konsep, yang diberikan di beberapa tempat yang berbeda. Menghadiri kenduri misalnya, di beberapa daerah Bahasa Sunda tertentu biasanya disebut ondangan, kondangan atau kaondangan. Ini jelas disebabkan oleh adanya tanggapan atau tafsiran yang berbeda mengenai kehadiran di tempat kenduri itu. Kondangan, ondangan dan kaondangan didasarkan kepada tanggapan bahwa kehadiran di situ karena diundang, sedangkan nyambungan didasarkan kepada tafsiran bahwa kehadiran di situ disebabkan oleh keinginan menyumbang barang sedikit kepada yang punya kenduri.

Perbedaan semasiologis

        Perbedaan semasiologis merujuk kepada pemberian nama yang sama untuk beberapa konsep yang berbeda. Frase-frase seperti rambutan Aceh, pencak cikalong dan orang yang berhaluan kiri, tidak jarang diucapkan hanya Aceh, cikalong dan kiri saja. Ucapan ini sudah dalam kaitan tertentu. Dengan demikian kata Aceh, misalnya, mengandung sedikitnya lima makna, yaitu:

  1. nama suku bangsa,
  2. nama daerah,
  3. nama kebudayaan,
  4. nama bahasa, dan
  5. nama sejenis rambutan.

Perbedaan morfologis

        Perbedaan morfologis merujuk pada sistem tata bahasa yang bersangkutan. Hal tersebut disebabkan oleh frekuensi morfem-morfem yang berbeda, oleh kegunaannya yang berkerabat, oleh wujud fonetisnya, oleh daya rasanya dan oleh sejumlah faktor lainnya lagi.

Tradisi Lisan

        Ada dua wujud bahasa, yaitu bahasa lisan dan tulis. Bahasa lisan telah digunakan sejak awal peradaban manusia. Beberapa lama kemudian manusia menemukan dan mengenal bahasa tulis. Penggunaan bahasa lisan dan tulis dari dahulu hingga sekarang melahirkan tradisi lisan dan tulis. Di antara banyak bahasa dan dialek di Indonesia, hanya delapan yang memiliki tradisi sastra tulis, diantaranya adalah tradisi tulis Melayu, tradisi tulis Aceh, tradisi tulis Bali, tradisi tulis Sunda, tradisi tulis Sumatera Selatan, tradisi tulis Batak, dan tradisi tulis Sulawesi Selatan.

        Sebagian besar masyarakat Indonesia masih sangat mengandalkan tradisi lisan dalam hal pemeliharaan dan pewarisan budaya masyarakat dari generasi ke generasi. Seperti pemeliharaan dan penyampaian ilmu pengetahuan, adat istiadat, sejarah, filsafat moral, agama, kedudukan sosial, dan norma-norma masyarakat. Tradisi lisan menjelma dalam kisah-kisah lisan di berbagai daerah di Indonesia dengan berbagai nama.

        Kisah lisan memiliki beberapa ciri yang lazim. Biasanya banyak sekali –panjang lebar dan berlebihan dalam bahasa – menggunakan pola dan susunan baku untuk membantu pencerita memproses ucapan dan mengingat teksnya. Cerita tersusun dari serangkaian peristiwa yang benar-benar terjadi, dongeng khayalan atau teks keagamaan. Pencerita mengikuti kerangka kerja dasar, tetapi tak ada dua pencerita yang menceritakan satu kisah dengan cara yang sama. Mereka akan menambahkan gaya dan sikapnya sendiri, memperbesar peran tokoh-tokoh tertentu yang mereka sukai (atau memperkecil yang tidak mereka sukai) atau menambah kelucuannya, tergantung pada khalayak pendengarnya.

        Peran sang pencerita (penutur) dan kedudukannya di masyarakat tergantung pada setiap masyarakat. Pada beberapa masyarakat, para pencerita diperlakukan sebagai dukun atau saman yang berhubungan langsung dengan dewa.

Sumber:

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta

https://perpustakaancyber.blogspot.co.id/2013/02/bahasa-dialek-perbedaan-mitos-legenda-dongeng-lisan-pengertian.html (diunduh pada Rabu, 16 Desember 2015 pukul 15.35)

Leave a Reply

You can use these HTML tags

<a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

  

  

  

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: