Viewers

website hit counter

SOSIOLOGI AGAMA: Menganalisis Adanya Politik yang Berkaitan dengan Agama pada Pilkada Menggunakan Dialektika Hegel (Pilkada kota Pekalongan tahun 2011)

Kota pekalongan merupakan salah satu kota dengan memiliki tingkat keberagaman yang sangat tinggi yaitu keberagaman berupa agama,ras dan etnis. Eberagaman tersebut memunculkan berbagai perbedaan dalam beraktitas walaupun dilihat dari segi agama Kota Pekalongan memiliki pemeluk Agama Islam yang besar dengan presentasi > 70% dilihat dari segi etnis Kota pealongan memiliki keberagaman yang tinggi yaitu Arab, jawa dan cina. Dengan adanya keberagman sepert ini maka kasus berbau SARA mudah tersulut karena seperti biasanya tidak semua orang bisa memaknai perbedaan untuk kebersamaan.

Pada tahun 2011 kota Pekalongan mengadakan agenda politik pilkada yang menjadikan Dr. Bsyir ahmada sebagai walikota dan H. Alf arslan Djunaid sebagai wakil walikota untuk periode 5 tahun kedepan, dalam hal ini pak basyir menjadi walikota 2 periode dengan 2 wakil yang berbeda. Pasangan ini mengalahkan 2 psangan lain yaitu antara H. Abu al mafachir dan masrof serta Supriadi dan Abdul Kholiq. Basyir-alex memperoleh 73.963 suara atau 53,08 %, almafachir-masrof 56.854 suara atau 40,80 % dan supriadi abdol 8,515 suara atau 6,11. Dengan demikian maka otomatis pasangan yang menjadi wali dan wakil walikota adalah basyir dan al arslan djunaid untuk periode 5 tahun kedepan.
Namun seperti pada umumnya selalu terjadinya pro dan ontra terhadap hasil politik yang pada khususnya terjadi pada perhelatan politik besar seperti pilkada, Kota pekalongan penduduknya sebagian memiliki rasa fanatisme terhadap agama yang sanat tinggi dimana rasa ini dilibatkan dalam segala akktivitas yang dijalani nya dalam berkehidupan sehari hari terlebih dalam hal politik sehingaa peta perpolitikan Kota Pekalongan didominasi oleh kaum-kaum santri pada jajaran elit partai politiknya. Di Kota Pekalongan memiliki struktur tingkatan mengenai status sosial diman kaum agamis berada di puncak hierarki. Sehingga dalam hal ini isu agama bisa digunakan dalam peta perpolitikan di kota Pekalongan banyak sebagian masyarakat lebih mendengarkan para kyai untuk berbicara daripada pemimpin daerah sehingga bisa juga digunakan untuk meredakan konfli yang terjadi. Namun, yang terjadi pada panggung politik justru berbalik dimana para pemuka agama memberikan ceramah atau khutbah yang didalmanya berisi mengenai dukunga polii yang didukungnya.
Jika hal ini terus terjadi maka buan tidak mungkin peran pemuka agama tidak berjalan dengan semestinya dimana justru konfik akan terus terjadi jika kondisi seperti ini terus dipelihara. Isu SARA sering menimpa dimana isu etnis kemudian perbedaan penggunaan dana yang beraitan dengan kegiatan keagamaan seperti dana untuk pembangunan masjid dan lain sebagaiya.
Dalam perpolitikan yang terjadi pada tahun 2011 seperti diatas maka dapat dikatakan bahwa yang terjadi pada panggung politik di Kota Pekalongan penuh dengan resiko karena permasalahan tidak hanya mengenai bagaimana menang pilkada akan tetapi resiko konflik yang terjadi pasca pilkada. Banyak nya isu SARA yang ada di Kota Pealongan sangat kompleks tidak hanya mengenai Agama akan tetapi etnis menjadi perbincangan hangat dalam peta perpolitikan d Kota Pekalongan.
Isu seperti ini mungkin tidak mempengaruhi skala secara nasional dimana hanya daerah tertentu saja yang mengalami nya. Hidup di Indonesia berarti kita seharusnya sudah sipa dengan kondisi dan situasi yang ada yaitu perbedaan atau multiulturalisme adalah salah satu hal yang harus di jalani secara bersama sebagai konsekuensi menjadi warga negara yang baik. Seperti yang kita ketahui isu SARA adalah isu yang sangat senssitif kkarena menyangut akan harga diri dan masing-masing kelompok jika salah satu ada yang merasa tersinggung maka bukan tidak mungkin akan terjadi peperangan atau konflik yang besar. Banyak masyarakat yang memiliki pemahaman yang minim mengenai SARA, bagi masyarakat yang sudah tahu mengenai tujuan agama yang dilakukkan untuk politik maka penghasutan melalui agama tidak akan bisa diterima akan tetapi sebagian besar masyarakat masih belum mengetahui secara menyeluruh dampak dari SARA yang nantinya jika politik dilakukan dengan membawa agama sebagai isunya maka cara tersebut akan menjadi sangat efektif untuk memenangkan pilkada.

Dalam menganalisis masalah ini teori yang akan digunakan adalah dialektika hegel yaitu mengenai tesis , antitesis sebagai pro dan kontra dan sintesis sebagai kesimpulannya. Dalam kasus tersebut dikemukakan mengenai bagaimana politik bisa berkaitan dengan agama dalam arti yang lebih negatif maksudnya ada cara tertentu untuk memenangi pilkada yaitu dengan cara memberikan hasutan terhadap masyarakat melalui Agama sebagai isu utamanya. Memang agama dan politik memiliki sejarah yang panjang dalam keterlibatanya. Namun ada batasan-batasan tertentu mengenai etrrlibatan agama dalam dunia politik.
(Y2) Tesis dalam kajian ini adalah pihak manapun boleh menggunakan agama sebagai alat dalam berpolitik namun ada batasan-batasan tertentu karena dalam hal ini aturan mengenai bagaimana keterlibatan agama dalam politik tidak diatur secata menyeluruh oleh negara. Tesis ini di perkuat dengan adanya penggunaan isu agama dalam pilkada di Kota Pekalongan dimana kedua calon bakal wali dan walikota menggunakan pemuka agama sebagai penyaring suara untuk memenagkan pilkada. (Y3) Antitesis dari permaslahan di atas yang akan di kaji adalah bahwa tidak semua membenarkan kebenaran akan keterlibatan politik dan agama dimana agama memiliki sisi khusus yang tidak boleh diganggu gugat yang artinya bahwa agama itu suci tidak bisa dijadikan alat untuk mendapatkasn sesuatu yang diinginkan.
(Y3) Sintesis dalam kasus ini adalah bahwa ada macam bisa jadi sintesis menjadi tesis dan sintesis menjadi antitesis atau justru keduanya. Sintesis yang harus dibuat adalah bagaimana merumuskan kesimpulan mengenai dialektika yang terjadi permasalahan di atas dikaitkan dengan kondisi negara Indonesia. Seperti yang kita ketahui bahwa negara Indonesia memiliki keberagaman yang sangat kompleks dimana negara ini berasaakan pancasila dimana ayat satu berbunyi ketuhanan yang maha esa yang artinya bahwa keberagaman adalah salah satu konsekuensi ang harus diterima dan dijalani sebagai warga negara Indonesia. Berkaitan dengan masalah diatas tidak menjadi masalah jika berpolitik menggunakan agama namun sesuai kapasitas namun dalam hal ini ada perbedaan bahwa agama memilliki kemurnian dan tidak ada kecurigaan sedangan politik selalu ada, dintesis dalam hal ini adalah antitesis karena masih banyak politius di Indonesia ang masih menggunakan isu agama sebagai senjata utama dalam melakukan perpolitikan dengan cara kampanye terselubung melalui majelis – majelis.

Leave a Reply

You can use these HTML tags

<a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

  

  

  

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: