Viewers

website hit counter

ANTROPOLOGI INDONESIA: KONFLIK SUKU DAYAK DAN SUKU MADURA

Hubungan Antar-Etnik
Berbicara tentang kelompok etnik (ethnic group) maka yang dimaksud-kan adalah suatu kelompok manusia yang dengan sadar menganut suatu kebudayaan mandiri dengan adat-istiadat dan bahasa sendiri, berbeda dari kebudayaan kelompok lain. Kelompok etnik itu di Indonesia dapat berwarga seribu orang (suku-suku di tengah-tengah hutan) dan dapat juga berwarga seratus juta orang (suku Jawa). Suatu kelompok etnik yang di dalam baha-sa Indonesia disebut suku dapat bertempat tinggal terisolasi dengan hubungan jarang-jarang saja de-ngan suku lain. Sebaliknya suku besar dapat menyebar di daerah yang luas sekali, bahkan sering membaur dengan suku-suku lain (Soemardjan, 2001).

Kelompok etnik dikenal sebagai populasi yang: (1) secara biologis mampu berkembang biak dan ber-tahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya; (3) membentuk ja-ringan komunikasi dan interaksi sendiri; dan menentukan ciri kelom-poknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain (Barth, 1988).
Dalam kenyataan, hubungan antar etnik tidak selalu berjalan mulus dan tidak selalu terjadi kerjasama yang baik. Ada kalanya mereka berbenturan (konflik) karena berbagai sebab, baik bersifat sepele maupun yang serius. Menurut Soemardjan (2001), di mana ada dua atau beberapa suku hidup sebagai tetangga dekat maka karena kebudayaannya yang berbeda selama hubungan antara mereka itu tidak dapat dihindarkan tumbuhnya bibit-bibit konflik sosial atau konflik budaya.
Konflik Horizontal
Konflik horizontal yang terjadi pada beberapa wilayah di Indonesia, seperti konflik Dayak dan Madura dihubungkan dengan teori Simon Fisher, dapat dikatakan bahwa sebagian besar masyarakat di daerah konflik cenderung memilih jalan kekerasan sebagai alternative penyelesaian masalah yang muncul di antara mereka. Mereka menganggap cara ini lebih membuat pihak lawan memenuhi keinginan mereka.
Identitas yang terancam sebagai suatu suku asli Kalimantan yang terusik oleh kedatangan pendatang membuat suku Dayak mengambil sikap keras. Ditambah lagi dengan tidak adanya perubahan sikap dari masyarakat pendatang. Hal ini jelas terlihat pada dampak yang terjadi pasca konflik horizontal Dayak dan Madura. Mereka tidak melihat dampak dari kekerasan bagi masyarakat mereka sendiri yaitu korban jiwa dan harta benda, tetapi yang terpenting adalah keluarnya orang Madura dari wilayah mereka.
Menyimak lebih jauh tentang konflik horizontal yang juga disebut sebagai konflik etnis yang bersifat laten (tersembunyi) yang harus diangkat ke permukaan agar dapat ditangani secara efektif. Disebut sebagai konflik yang bersifat laten karena di antara kedua etnis yang bertikai (Dayak dengan Madura) sudah lama terjadi ketidakharmonisan dalam interaksi sosialnya. Suku Dayak sebagai suku asli Kalimantan merasa terusik kehidupannya dengan semakin meningkatnya populasi suku Madura yang juga mendominasi hampir seluruh aspek kehidupannya.
awal Mula Terjadinya Konflik
Luas wilayah Kota Sampit, ibukota Kabupaten Kotawaringin Timur, adalah 50.700 Km2. Didiami oleh 485.200 jiwa, diperkirakan terdapat etnis Madura sebesar 75.000 jiwa, di luar itu, suku asli yakni Dayak menjadi mayoritas, dan selebihnya adalah suku Banjar, Cina dan sedikit berasal dari suku Jawa dan pendatang lainnya. Dari segi agama, Islam menjadi mayoritas sekitar 80% dan yang lain terdiri dari Kristen, Khatolik, Kaharingan, dan lainnya.
Kerusuhan etnis Madura dan Dayak marak pada tanggal 17 Februari 2001 di Sampit, ibukota Kabupaten Kotawaringin Timur, ketika sebuah rumah milik penduduk asli Dayak dibakar habis. Menurut laporan orang-orang setempat, ada komplotan orang Madura yang baru saja tiba berkeliling Sampit sambil memekik ‘Matilah Orang Dayak.’ Ratusan orang Dayak mengungsi keluar dari kota atau berlindung di gereja-gereja. Setelah berita itu menyebar orang Dayak dalam jumlah besar kemudian kembali ke Sampit untuk membalas dendam. Enam orang tewas. Kerusuhan menyebar dengan cepat ke kota maupun kampung sekitar dan mencapai ibukota propinsi Palangkaraya, 220 kilimeter ke sebelah Timur. Kecurigaan membuncah terhadap etnis lain terhadap penguasaan sumber daya ekonomi dengan tidak adanya kontrol sosial negara yang kuat untuk menekan konflik maka konflik itu terjadi. Kesalingcurigaan dalam konteks Sampit terjadi antar etnis dimana yang menyebabkan konflik berkepanjang dan konflik kemnusiaan yang mengenaskan karena terjadi pembunuhan yang cukup tidak manusia dan aparatur negara yang dulunya berkuasa tidak lagi dapat mengontrolnya.
Akar permasalahan dari permasalahan konflik Sampit ini adalah adanya akumulasi kekecewaan karena perasaan ketidakadilan akan permasalahan ekonomi dan politik dibarengi dengan adanya perbedaan identitas yang terjadi antara etnis Dayak dan Madura. Hal ini terakumulasi karena adanya kebijakan pemerintahan Orde Baru dimana potensi konflik diredam dengan hukum yang bukanya meredakan masalah justru memperbesar konflik tersebut. Beberapa aktor yang terlibat dalam konflik Sampit ini yaitu Institusi pemerintahan Orde Baru dengan kebijakan-kebijakannya. Lalu kedua aktor bertikai yaitu etnis Dayak dan Madura, serta Media massa yang membuat suasana menjadi lebih panas dengan pemnberitaan yang faktanya belum jelas.
Ketegangan yang terjadi antara etnis pendatang, Madura dan etnis asli yaitu Dayak. Berawal dari sumber daya alam di Kalimantan Tengah kota Sampit yang dialih fungsikan. Ekonomi dari warga setempat tergantung pada kayu dan perkebunan. Tiga puluh tahun yang lalu, 5 juta hektar tanah disana merupakan wilayah hutan. Namun kini, hanya sekitar 2,7 juta hektar yang dirancang sebagai “tanah hutan” dan hanya 0,5 juta hektar yang menjadi hutan lindung. Satu juta hektar merupakan tanah yang yang rencananya akan di ubah menjadi wilayah industri dan sisanya digunakan untuk lahan pemukiman para pendatang yang bermigrasi. Yang menjadi permasalahan lagi adalah orang setempat dilarang oleh hukum untuk menjadikan hutan tersebut sebagai sumber penghidupan. Karena kebijakan pembangunan dan imigrasi yang ditetapkan oleh era Orde Baru, mulai banyak permasalahan timbul. Dan kemudian warga pendatang, etnis Madura pada kenyataan berhasil menguasai sumber ekonomi dan kelompok etnis ini bersifat eksklusif. Kedudukan penduduk asli, etnis Jawa yang semakin tersudut, membuat gesekan-gesekan kecil yang terjadi menjadi sebuah konflik yang berkepanjangan.
Penyebab Terjadinya Konflik
Konflik yang dipicu oleh persoalan yang sederhana, menjadi kerusuhan dan di identifikasi pemicu pecahnya konflik adalah : adanya benturan budaya etnis lokal dengan etnis pendatang, lemahnya supremasi hukum, adanya tindak kekerasan. Benturan budaya ini sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh kesombongan dan ketidakpedulian etnis Madura terhadap hukum adat dan budaya lokal yang sangat dihormati masyarakat setempat seperti hak atas kepemilikan tanah.
Kebudayaan yang berbeda
Kebudayaan yang berbeda seringkali dijadikan dasar penyebab timbulnya suatu konflik pada masyarakat yang berbeda sosial budaya. Demikian juga yang terjadi pada konflik Dayak dan Madura yang terjadi pada akhir tahun 1996 yaitu terjadinya kasus Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang (sebelum pertengahan tahun 1999 termasuk Kabupaten Sambas), di Kalimantan Barat. Konflik sosial sepertinya agak sulit terpisahkan dari dinamika kehidupan masyarakat Kalimantan. Setelah itu, pertikaian antar-etnis terjadi lagi di Sambas, lalu disusul di Kota Pontianak, dan terakhir di Sampit serta menyebar ke semua wilayah di Kalimantan Tengah.
Orang Dayak yang ramah dan lembut merasa tidak nyaman dengan karakter orang Madura yang tidak menghormati atau menghargai orang Dayak sebagai penduduk lokal yang menghargai hukum adatnya. Hukum adat memegang peranan penting bagi orang Dayak. Tanah yang mereka miliki adalah warisan leluhur yang harus mereka pertahankan. Seringkali mereka terkena tipudaya masyarakat pendatang yang akhirnya berhasil menguasai atau bahkan menyerobot tanah mereka. Perilaku dan tindakan masyarakat pendatang khususnya orang Madura menimbulkan sentimen sendiri bagi orang Dayak yang menganggap mereka sebagai penjarah tanah mereka. Ditambah lagi dengan keberhasilan dan kerja keras orang Madura mengelola tanah dan menjadikan mereka sukses dalam bisnis pertanian.
Jarak keyakinan, corak kebudayaan, dan karakteristik masing-masing yang sangat jauh itu ditambah dengan stereotipe dan label negatif dari masing-masing etnik terhadap yang lain menjadi penopang semangat dan keberanian yang luar biasa kedua belah pihak ketika terjadi peristiwa-peristiwa tertentu yang dinilai mengusik sentimentalisme etnisitas mereka. Kenyataan itulah yang sesungguhnya menjadi akar masalah dalam kerusuhan demi keru-suhan dan konflik demi konflik antara etnik Dayak dengan etnis Sampit.
Ketidakcocokan di antara karakter mereka menjadikan hubungan kedua etnis ini mudah menjadi suatu konflik. Ditambah lagi dengan tidak adanya pemahaman dari kedua etnis terhadap latar belakang sosial budaya masing-masing etnis. Kecurigaan dan kebencian membuat hubungan keduanya menjadi tegang dan tidak harmonis. Ketidakharmonisan dalam interaksi sosial antara kedua etnis ini tidak cepat mendapat penanganan dari tokoh masyarakat setempat maupun oleh aparatur pemerintah agar dapat ditangani. Pada pertikaian yang terjadi terlihat adanya keberpihakan dari aparat kepada salah satu etnis menurut pendapat etnis lain. Kondisi ini terus berlanjut, yang pada akhirnya menjadi konflik terbuka berakar dan diiringi dengan kekerasan.
Ketidakadilan
Ketidakadilan juga dirasakan oleh masyarakat Dayak terhadap aparat keamanan yang tidak berlaku adil terhadap orang Madura yang melakukan pelanggaran hukum. Permintaan mereka untuk menghukum orang Madura yang melakukan pelanggaran hukum tidak diperhatikan oleh aparat penegak hukum. Hal ini pada akhirnya orang Dayak melakukan kekerasan langsung terhadap orang Madura, yaitu dengan penghancuran dan pembakaran pemukiman orang Madura.
Masuknya perusahaan kayu besar yang menggunduli kayu-kayu yang bernilai, sangatlah mendesak keberadaannya dalam bidang perekonomian. Perkebunan kelapa sawit yang menggantikannya lebih memilih orang pendatang sebagai pekerja daripada orang Dayak. Dikarenakan orang Madura seperti pendatang pada umumnya, yang memiliki sifat pekerja keras dan ulet. Mereka bekerja sebagai buruh atau petani, tugasnya membuka hutan, ladang, kebun, menggali parit, hingga memecah batu. Selain rajin, orang Madura dianggap taat pada majikan bila bekerja. Tak heran, permintaan tenaga kerja Orang Madura, terus meningkat Hal yang demikian menyebabkan masyarakat adat merasa terpinggirkan atau tertinggalkan dalam kegiatan perekonomian penting di daerahnya mereka sendiri. Perilaku orang Madura terhadap orang Dayak dan keserakahan mereka yang telah menguras dan merusak alamnya menjadi salah satu dasar pemicu timbulnya konflik di antara mereka.
Teori Konflik
Perspektif Struktural Fungsional
Konflik antar unsur masyarakat di Kalimantan Barat menimbulkan adanya ketidakteraturan dalam masyarakat dimana masing-masing unsur tersebut tidak dalap bersatu bersama membentuk struktur sosial dalam masyarakat dan menyebabkan adanay keonaran dalam masyarakat.
Interaksionisme Simbolik
Konflik yang terjadi di Kalimantan Barat tersebut juga disebabkan tidak adanya interaksi yang baik antara penduduk asli dengan penduduk pendatang. Dikarenakan adanya perbedaan budaya dan bahasa yang menyebabkan sulitnya terjalin interaksi yang baik antar keduanya.
Resolusi Konflik
Menurut Galtung, resolusi konfllik merupakan proses yang harus melibatkan seperangkat perubahan dinamis yang melibatkan penurunan perilaku konflik, perubahan sikap, dan mentransfortasikan hubungan atau kepentingan yang berbenturan yang berada dalam inti struktur politik. Dalam hal ini penyelesaian konflik mengandung makna tercapainya kesepakatan pihak-pihak yang bertikai yang memungkinkan mereka mengahiri sebuah permusuhan, rasa dendam dengan saling memaafkan satu sama lainnya untuk merajut kembali rasa persaudaraan, senasib dan sepenanggungan dalam hidup bermasyarakat. Untuk mewujudkan kondisi tersebut, ada beberapa cara atau kebijakan publik untuk resolusi konflik antar etnis di Sampit, yaitu:
Penyelesaiannya diserahkan untuk ditangani oleh lembaga independen yang beranggo-takan tokoh-tokoh dari kedua etnik serta kalangan intelektual dan tokoh-tokoh kredibel dari pemerintahan, yang difasilitasi sepenuhnya oleh negara. Lembaga ini diberi kewenangan untuk menemukan ke-sepakatan-kesepakatan dari pihak-pihak yang bertikai dan kemudian mengantarkan para pihak ke titik rekonsiliasi yang memungkinkan menata mereka kembali keharmonisan sosial dalam ketenangan dan rasa aman yang terjamin.
Siapa pun yang diindi-kasikan kuat sebagai aktor-aktor intelektual di balik kerusuhan di Kalteng, baik dari kalangan etnis Dayak maupun Madura, harus ditangkap dan dibawa ke pengadilan. Supremasi hukum harus dite-gakkan atas mereka.
Negara mesti membantu warga etnis Madura untuk mendapatkan kembali hak milik mereka berupa aset ekonomi terutama yang berupa tanah serta rumah tempat tinggal. Juga memberikan kompensasi terhadap etnik Dayak untuk menjadi tuan di tanah nenek moyangnya sendiri. Mereka harus diberdayakan dari berbagai aspek kehidupan.
Negara bekerjasama sama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) melakukan sosialisasi dan kampanye terus-menerus dalam berbagai bentuk tentang kenyataan Indonesia sebagai bangsa majemuk berikut pentingnya hidup berdampingan secara damai serta keutamaan menyelesaikan konflik tanpa kekerasan di dalam masyarakat. Dan, yang tak kalah pentingnya adalah berupaya menghapus kesan negatif atau steoretip antara etnis Dayak dan Madura yang ada selama ini.
Hal itu semua dimaksudkan sebagai upaya untuk melakukan rekonstruksi dalam hubungan antar etnis, yang diharapkan di mana semua pihak dapat belajar dari pengalaman sekaligus mampu merakit hubungan sosial secara damai kendati dalam seribu satu macam perbedaan.
Lemahnya supremasi hukum terlihat dari perlakuan yang ringan diberikan pada masyarakat Madura. Dalam hal ini untuk menghindari keadaan yang lebih tidak terkendali lagi seperti terjadinya tindakan kekerasan, pembunuhan, pembakaran dan pengusiran yang berkepanjangan, maka untuk sementara waktu orang Dayak menyatakan sikap yaitu :
Untuk etnis Madura yang masih berada di wilayah Kalimantan Barat agar secepatnya dikeluarkan atau diungsikan demi keselamatan dan keamanan mereka karena tidak ada jaminan untuk itu. Terlebih dengan tidak cukupnya aparat keamanan menjangkau wilayah rawan konflik.
Menolak pengembalian pengungsi etnis Madura untuk batas waktu yang tidak ditentukan karena tidak adanya suatu jaminan perubahan sikap dari etnis Madura dan juga dikhawatirkan adanya tindakan balas dendam secara langsung maupun tidak langsung.
Sikap ini ditanggapi positif oleh aparat penegak hukum maupun masyarakat karena adanya keterbatasan aparat yang tidak dapat menjangkau seluruh wilayah Propinsi Kalimantan, maka demi keamanan kedua belah pihak untuk sementara suku Madura harus dilokalisir pada daerah yang lebih aman. Selain itu dalam upaya penanganan konflik yang terjadi ini juga terdapat resolusi konflik lainnya, yaitu :
Untuk sementara waktu yang tidak dapat ditentukan batasnya, etnis Dayak dan Melayu sepakat tidak menerima kembali etnis Madura di bumi Kalimantan terutama di daerah konflik . Hal ini dilakukan agar tidak terjadi bentrokan di antara mereka karena sangat rentan tersulut oleh isu yang akan membakar kemarahan kedua belah pihak;
Rehabilitasi bangunan yang rusak akibat pengrusakan dan pembakaran terhadap infrastruktur masyarakat umum juga dilakukan agar dapat berjalannya kegiatan masyarakat sebagaimana mestinya. Moral dan mental masyarakat juga perlu mendapat perhatian dan pembinaan agar terwujud suatu rekonsiliasi yang damai dan melibatkan kembali seluruh tokoh masyarakat;
Re-evakuasi dilakukan bagi korban konflik ke daerah yang lebih aman. Untuk itu perhatian terhadap keamanan mereka di daerah pengungsian harus didukung oleh pihak keamanan sampai mereka mendapat tempat yang layak;
Dialog antar etnis yang berkesinambungan dengan memanfaatkan lembaga adat masyarakat perlu dilakukan dalam proses pembentukan kerjasama mengakhiri konflik yang berkepanjangan;
Demikian juga dengan penegakkan hukum terhadap pelaku pelanggaran hukum perlu dilakukan secara konsisten dan adil tanpa berpihak pada etnis tertentu selain itu kemampuan personil petugas keamanan perlu ditingkatkan.
Nurul hidayat. https://sejarah.kompasiana.com/2011/04/13/menyelami-konflik-etnis-di-indonesia/
Selo Soemardjan. 2001. Konflik Antar Suku di Indonesia. Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial.

Leave a Reply

You can use these HTML tags

<a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>

  

  

  

* Kode Akses Komentar:

* Tuliskan kode akses komentar diatas: