Archive for ◊ July, 2018 ◊

• Friday, July 13th, 2018

Cara Mendefinisikan Konsep

Oleh Agung Kuswantoro

 

Konseptualisasi adalah proses pemberian definisi teoritis atau definisi konseptual pada sebuah konsep (Prasetyo dan Jannah; 2016:90)

 

Dalam mendefinisikan sebuah konsep, langkah yang termudah adalah membuat tabel yang isinya kolom-kolom. Tujuannya untuk menyederhanakan sebuah konsep. Sehingga dibutuhkan item-itemnya.

 

 

Lalu, apa saja itemnya?

 

Berikut item-itemnya, yaitu konsep, variabel, dan indikator. Misal, ada konsep pemanfaatan. Maka, variabelnya pemanfaatan kartu sehat. Sedangkan, indikatornya adalah pernah memanfaatkan kartu sehat dan frekuensi kartu sehat.

 

Contoh lagi, konsepnya pengetahuan responden. Maka, variabelnya tingkat pengetahuan responden tentang kartu sehat. Sedangkan indikatornya, yaitu pengetahuan tentang biaya untuk memperoleh kartu sehat, pengetahuan tentang jenis layanan untuk memperoleh kartu sehat, pengetahuan tentang pihak yang memperoleh kartu sehat, dan sebagainya.

 

Penjelasan di atas, saya sarikan dari Prasetyo dan Jannah (2016:91). Di dalam buku tersebut digambarkan dengan tabel-tabel yang lebih rinci, sehingga konsepnya mampu teridentifikasikan. Konsepnya mencair, kurang lebih seperti itu.

 

 

Sumber: Prasetyo, B dan Jannah , M.L. 2016. Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rajawali Press.

 

 

 

 

 

 

 

 

• Friday, July 06th, 2018

Menjaga Jarak Cinta

Oleh Agung Kuswantoro

 

“Perpisahan bisa terjadi adalah hal yang sangat perlu untuk dijalani, agar kamu memiliki hari esok yang lebih baik daripada bertahan pada ketidakbahagiaan yang sedang nyata kamu peluk selama ini”. (Falafu, 2016, 68)

 

Ungkapan diatas salah satu ciri khas Falafu dalam menuliskan karyanya. Buku “Memberi Jarak Pada Cinta”, bukti Fa – panggilan Falafu – mampu melukiskan ketegasan seseorang untuk bertahan saat susah. Susah/sedih ditinggal “sesuatu”. Sesuatu bisa berwujud barang atau orang.

 

Saya sangat suka gaya yang disampaikan oleh Fa. Ia tidak menggurui dalam tulisan-tulisannya. Nampak, pengalaman dan buku sebagai rujukan utamanya dalam menulis atau menuangkan ide-idenya.

 

Mari kita lihat. Ungkapan Fa berikutnya, “Kalau kamu merasa pasanganmu kurang lengkap, maka lengkapi dia. Kalau kamu merasa pasanganmu belum tepat, maka lepaskan dia. Berani bahagia”. (Falafu, 2016, 61)

 

Logika yang dibangun oleh Fa, menurut saya benar. Bersedih boleh, tetapi jangan terlalu bersedih. Secukupnya saja. Demikian juga bahagia. Bahagia boleh, tetapi sewajarnya saja.

 

Bangga dengan pasangan itu sangat boleh. Tetapi, sangat membanggakan pasangan, hati-hatilah saat ditinggalkannya. Ditinggalkan, bisa karena sakit atau mati. Disinilah, letak “perasaan” yang kuat dibangun oleh Fa.

 

Fa yang notabene pekerja/pegawai kantor sangat piawai dalam menuliskan mengenai ungkapan hati. Hati sebagai rujukan utamanya.

 

Kebebasan hati untuk menentukan sesuatu sangat diutamakan. Ikuti kata hati, kurang lebih itu ungkapannya.

 

Ungkapan-ungkapan Fa dalam buku itu sangat logis. Logis menurut logika hati. Logika hati mengatakan “benci tapi rindu”. Nah, Fa itu sangat tepat sekali dalam mengeksekusi logika hati.

 

Seperti, “karena luka adalah bagian dari hidup yang perlu ada untuk kita jalani” (Falafu, 2016, 9). Logika akal mengatakan “luka itu harus ditinggalkan buka dijalani. Cari yang tidak terluka”.

 

Orang yang terluka itu sakit, maka harus dihindari. Itu contoh logika akal. Tetapi, Fa mengatakan “luka itu harus dijalani”, karena luka adalah bagian hidup”. Justru dengan luka kita akan menghargai suatu kebaikan – kebaikan yang ada dalam suatu perbuatan.

 

Awal membaca buku ini bingung. Karena, saya terbiasa membaca buku yang bertema agama dan motivasi hidup.

 

Namun, lama-kelamaan membaca buku ini menjadi paham apa yang dipikirkan oleh Fa.

Buku ini sangat bagus, khususnya bagi orang sedang memberi jarak pada cinta.

 

Ayo bangkit dari rasa sedih. Bangun untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Ingat, “luka” dalam kehidupan itu akan mengantarkan kepada suatu kebaikan.

 

Semarang, 4 Juli 2018

• Wednesday, July 04th, 2018

SEM dan SPSS

Oleh Agung Kuswantoro

 

Akhir-akhir ini, saya bingung dengan analisis. Bahwa, ada orang saat penelitian yang berjudul “moderasi” atau “intervening” analisisnya menggunakan SPPS.

 

Saya membacanya, ternyata saat menganalisis satu per satu. Misal X secara langsung ke Y. lalu X melalui Y secara tidak langsung. Dimana, gambarnya ada variabel intervening.

 

Dalam hati bertanya kepada diri sendiri “apakah tidak ada analisis yang sekali ‘klik’, bisa keluar semua? Jadi, tidak ada satu persatu-satu. Namun, belum selesai membaca. Banyak pertanyan yang muncul. Kebanyakan, SEM itu banyak model yang saling memanah. Atau, istilahnya analisis jalur. Dan, hasilnya berbeda saat diuji SPSS dan SEM.

 

Ketika diuji SPSS mengatakan valid/normal. Tetapi, saat diuji SEM, hasilnya tidak valid/normal. Lalu, saya bertanya kepada diri sendiri. Berarti ada syarat dan ketentuan untuk diuji SPSS atau SEM. Tidak semua data dianalisis dengan SPSS dan SEM. Logikanya, jika itu bisa, maka keluar hasil yang sama, berupa valid/normal.

 

Tidak ada pembeda hasil atara SPSS dan SEM. Jika itu ada perbedaan pada hasil SPSS dan SEM, maka ada syarat dan ketentuan waktu pengujian SPSS dan SEM.

 

Semarang, 4 Juli 2018