Archive for ◊ April, 2023 ◊

• Sunday, April 16th, 2023

Tadarus di Masjid Istiqlal

Oleh Agung Kuswantoro

Beberapa hari ini saya menyimak kegiatan-kegiatan di Masjid Istiqlal, Jakarta melalui kanal Youtube-nya. Ada yang saya cermati kegiatan Istiqlal yang menurut saya berbeda dengan kegiatan lainnya yaitu tata cara tadarus.

Tadarus yang dilakukan di Masjid Istiqlal itu dilakukan secara bersama-sama. Lebih dari sepuluhan orang hadir menyimak dan mendengarkan. Lalu, ada ustad/kiai yang membenarkan, jika orang yang membaca keliru/salah. Jadi ada unsur “pembenaran”. Kemudian, orang yang membaca/bertadarus cukup dengan dua hingga tiga ayat yang dibaca. Artinya, bergiliran orang yang membaca.

Gaya seperti itu, menurut saya adalah tadarus, yang sesuai dengan arti dari tadarus yaitu saling mempelajari, meneliti, menelaah, mengkaji, dan mengambil pelajaran. Tadarus secara bahasa berasal dari kata darusa yadrusu darsan. Mengikuti wazan fa’ala yaf’ulu fa’lan. Lafal darusa, ada tambahan huruf ta sehingga menjadi tadarosa yatadarusu, mengikuti wazan tafa’ala yatafa’lu. Maknanya yaitu lil mu syarokati baina itsnaini fa aksaro, artinya persekutuan timbal balik antara dua orang atau lebih. Sehingga, tadarus bermakna saling belajar, saling meneliti, saling menelaah, dan saling mengkaji. Berarti pula, minimal dilakukan oleh dua orang/subjek. Berarti tidak ada target khatam dalam bertadarus. Yang penting benar, paham, dan dimengerti. Jika saya mencontohkan tadarus yang sesuai arti dari tadarus adalah gaya tadarus yang dilakukan oleh masjid Istiqlal.

Saya membayangkan bisa jadi, tadarus pertama yang dilakukan oleh manusia yaitu tadarusnya Nabi Muhammad SAW bersama Malaikat Jibril sewaktu di Gua Hiro dengan surat Al-‘Alaq ayat 1 hingga 5. Bayangkan, membaca ayat 1 hingga 5 saja, memiliki kesan yang begitu mendalam hingga mengena di hati Nabi Muhammad Saw. Malaikat Jibril sebagai guru/kiai dari Nabi Muhammad Saw. Oleh karenanya, dalam bertadarus perlu dipersiapkan mentalnya terlebih dahulu.

Adapun syarat bertadarus adalah (minimal) bisa membaca Al-Qur’an. Tidak mungkin bertadarus, tanpa bisa membaca Al-Qur’an. Oleh karenanya, carilah guru/ustad/kiai yang bersedia mengantarkan belajar membaca, memahami, dan melakukan ajaran-ajaran isi Al-Qur’an, sebagaimana Malaikat Jibril sebagai guru/kiai dari Nabi Muhammad Saw selaku muridnya.

Semarang, 15 April 2023

Ditulis di Rumah jam 14.15 – 14.30 Wib.

• Sunday, April 16th, 2023

“Kartini” sebagai Simbol Perjuangan

Oleh Agung Kuswantoro

Adalah Kartini sebuah sosok wanita pejuang. Bicara Kartini, maka bicara perjuangan. Kartini dikenal karena perjuangannya. Orang tidak akan membahas Kartini, karena perjuangan. Perjuangan Kartini yang sangat melekat oleh masyarakat adalah perjuangan hak-hak wanita dalam kehidupan.

Bagi saya, semua perjuangan adalah Kartini. Orang akan mengenal sosok/seseorang, biasanya karena perjuangannya. Sosok/seseorang, itulah yang menggerakkan sebuah perjuangan. Sosok/seseorang adalah subjeknya. Perjuangan adalah usaha yang memiliki pesan mendalam.

Seseorang yang sedang memperjuangkan sesuatu yang mendalam bisa dikatakan Kartini. Siapakah itu? Bisa jadi adalah Anda Kartininya.

Ketika Anda sedang memperjuangkan anak sekolah untuk belajar/ngaji, maka Anda adalah Kartini dibidang pendidikan. Ketika Anda sedang berjuang mencari uang untuk mencari nafkah keluarga, maka Anda adalah Kartini keluarga. Ketika Anda sedang merantau di negeri orang, untuk mondok/kuliah/mencari ilmu, maka Anda adalah Kartini ilmu.

Dengan contoh-contoh tersebut, kita semua adalah Kartini. Perjuangkan terus “pesan-pesan” Anda yang mendalam, karena Insya Allah akan terwujud, jika Anda sudah meninggal dunia/wafat. Lalu, semisal perjuangan Anda belum terwujud, maka akan muncul “Kartini-Kartini” selanjutnya yang akan meneruskan perjuangan “pesan” yang mendalam itu.

“Kartini” yang seperti itu, pasti tidak mengharapkan terkenal di masyarakat. Apalagi, dihormati dan diperingati pada hari-hari tertentu. “Kartini” tersebut, pasti ikhlas dalam memperjuangkan “pesan” yang mendalam. Masyarakatlah yang akan memahami, menikmati dan merasakan hasil pesan yang mendalam tersebut. Semoga, “Kartini” yang seperti itu adalah Anda. Amin.

Semarang, 15 April 2023

Ditulis di Rumah jam 14.00 – 14.15 Wib.

Agung Kuswantoro, dosen pendidikan ekonomi Administrasi Perkantoran Fakultas Ekonomi UNNES dan penulis buku bertema sosial dan pendidikan.

Email: [email protected]

HP/WA: 081 79599 354

• Wednesday, April 05th, 2023

Kajian Arbain Nawawi (56): Malu Adalah Cabang Keimanan
Oleh Agung Kuswantoro

Mari kita lanjutkan kajian hadis ke-20 dari kitab Arbain Nawawi. Ini adalah kajian terakhir, karena persiapan Idul Fitri, insya Allah kita lanjutkan usai lebaran. Sebelumnya, saya mohon maaf jika selama kajian ini ada kesalahan yang saya lakukan. Berikut kajiannya:

Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al-Anshari Al-Badri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya di antara perkataan kenabian terdahulu yang diketahui manusia ialah jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu!” (HR. Bukhari)

Hadits ini pendek dan singkat, tetapi memiliki beberapa pelajaran yang bisa kita petik, antara lain sebagai berikut:

Pertama, ad-da’wah bil lisan (seruan dengan perkataan) adalah salah satu bentuk ajakan para nabi sejak dahulu. Bahkan, secara khusus, dakwah “model” ini mendapatkan pujian dari Allah Swt sebagai ahsanu qaulan (perkatan paling baik) sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan seraya berkata, “Sungguh, aku termasuk orang-orang Muslim (yang berserah diri)?” (Fushishilat: 33)

Kedua, ketersambungan risalah para nabi. Hadits ini bukan satu-satunya pemberitaan dari Rasulullah Saw tentang perilaku dan perkataan para nabi terdahulu. Banyak penceritaan dari Rasulullah Saw tentang para nabi terdahulu baik secara global maupun secara rinci, yang rasulullah Saw sebutkan dalam hadits lainnya. Ini menunjukkan bahwa rantaian risalah kenabian sesama para nabi tidaklah terputus.

Ketiga, mengutip dan menyampaikan kalimat-kalimat yang berisi hikmah dan nasihat orang bijak terdahulu adalah perbuatan yang sangat baik, asalkan memiliki keaslian sumbernya. Dalam hadits ini, rasulullah Saw mengutip dari ucapan kenabian pada masa lalu. Padahal, jika Rasulullah Saw mau, bisa saja nasihat-nasihat yang semisal ini cukup datang dirinya saja karena ucapannya telah terjaga dari kesalahan.

Ini menjadi pelajaran bagi para khuthaba agar tidak segan-segan mengutip kalimat-kalimat mengandung hikmah – baik syair, pepatah, maupun semisalnya – dari orang lain. Lebih bagus lagi, jika kalimat-kalimat tersebut disandarkan kepada orang-orang yang mengucapkannya atau disebutkan sumbernya.

Keempat, hadits ini membimbing kita untuk tidak sembarangan dalam mengeluarkan kata-kata tidak perlu/gegabah dalam berperilaku. Letak kemuliaan dan kehormatan seseorang bisa terlihat dari apa yang dikatakan dan dilakukannya. Orang-orang besar dan mulia akan mengeluarkan kata-kata dan perbuatan yang mulia pula sebagaimana orang-orang kerdil akan mengucapkan perkataan yang tidak bermanfaat dan memalukan, serta perbuatan yang sia-sia pula.

Hendaklah rasa malu yang dimiliki seseorang menghalangi dirinya untuk berbuat yang merusak kemuliaan dan kehormatan diri, kecuali jika orang itu tidak ada lagi rasa malu, terserahlah apa mau yang dilakukannya, dia bebas. Perbuatan baik atau buruk sama saja di sisi orang yang tidak memiliki rasa malu.

Orang beriman senantiasa menjadikan rasa malu, seseorang tidak mau menampakkan auratnya. Karena rasa malu, seseorang mengurungkan niatnya untuk berkata-kata tidak sopan dan kotor. Karena rasa malu, seseorang tidak mau berkhalwat/menyendiri dengan bukan mahramnya. Karena rasa malu, seseorang tidak mau mengambil harta yang bukan haknya. Karena rasa malu, seseorang tidak mau bermaksiat. Kalaupun sudah tidak malu lagi kepada Allah Swt, malulah kepada malaikat (sang pencatat). Kalaupun tidak malu lagi kepada malaikat, malulah kepada manusia. Kalaupun tidak malu kepada manusia, malulah kepada keluarga di rumah. Kalaupun tidak malu lagi kepada keluarga, malulah kepada diri sendiri dan hendaklah jujur bahwa apa yang dilakukannya adalah kesalahan minimal meragukannya. Fitrah keimanan akan menolaknya, kecuali jika memang kita sudah tidak memiliki rasa malu lagi.

Catatan: Materi pernah disampaikan dalam kajian usai solat subuh di Masjid Ulul Albab UNNES.

Sumber rujukan:
Hasan, F.N. 2020. Syarah Hadist Arba’in An-Nawawi. Depok: Gema Insani.
Hassan, Q. 1982. Ilmu Musthalah Hadist. Bandung: Penerbit Diponegoro.
Kitab Azwadul Musthofawiyah karangan KH Bisri Mustofa, Rembang.
Kitab Majalis Saniah, Karangan Syeikh Ahmad Bin Syeikh Al-Fasyaini.
Suparta, M. 2016. Ilmu Hadist. Depok: PT Rajagrafindo Persada.
Tohhan, M. 1977. Taisir Mustholah al-Hadist. Riyad: Universitas Madinah.

Semarang, 5 April 2023 ditulis di Rumah, jam 04.00-04.15 Wib.

• Sunday, April 02nd, 2023

Pentingnya, Belajar Ilmu Usul Fikih

Oleh Agung Kuswantoro

“Al-aslu fil uqudi wal mu’amalati ash-shikhatu khatta yaqumu dalilu‘alal butlani waththahrim”. Artinya, kurang lebih: setiap urusan, kalau tidak ada larangan, maka boleh (dilakukan), kecuali sampai timbul yang dilarang.

Dalil di atas adalah sebuah kaidah usul fikih mengenai sebuah kewenangan. Adalah Pak Mahfd MD yang menyampaikan dalil tersebut saat rapat dengan Komisi III DPR RI (Rabu, 29 Maret 2023).

Sebagai orang awam yang sedang belajar ilmu alat (baca: fikih) itu, sangat penting. Ilmu fikih merupakan ilmu dasar yang harus memiliki landasan kuat dengan dukungan dengan ilmu lain. Adalah usul fikih sebagai dasar ilmu fikih. Saya adalah orang awam dan ingin menjadi orang yang selalu belajar.  Menjadi ingat betapa penting ilmu usul fikih.

Saya pernah belajar ilmu ini, saat Madrasah Diniyah Ulya kelas satu hingga tiga di Ponpes Salafiyah Kauman Pemalang (tahun 1999-2001). Adalah Kiai Dimyati sebagai pengampunya. Selain Kiai Dimyati saya juga, dikenalkan dalil-dalil usul fikih oleh Kiai Romadlon, ketika menerangkan suatu kasus.

Tahapannya belajar lmu fikih dulu, baru belajar usul fikih. Contoh ilmu usul fikih dalam bab amru/perintah. Ada kaidah al aslu fil amri lil wujub (artinya: pada asalnya (setiap) perintah itu, menunjukkan hukum wajib).

Untuk memahami dalil ini, perlu belajar: ilmu bahasa Arab dan Nahwu agar memahami “kata perintah”. Ada ayat “diwajibkan atas kamu berpuasa” kutiba alai kumus shiyam. Kalimat tersebut menunjukkan perintah, maka perintah (berpuasa) menjadi wajib, karena menggunakan kalimat kutiba/diwajibkan.

Lagi, aqimussolah (dirikanlah solat), jelas kalimat perintah. Maka, mendirikan solat adalah wajib. Itulah gambaran-gambaran mengebai pentingnya belajar usul fikih. Mari buka kitab/buku fikih dan usul fikih (lagi), agar kita bisa memahami suatu hukum. Salut buat Prof. Kiai Mahfud MD, yang masih mengingatkan pentingnya, belajar ilmu usul fikih. []

Semarang, 1 April 2023

Ditulis di Rumah jam 13.45 – 14.01 Wib.