Archive for ◊ April, 2021 ◊

• Friday, April 30th, 2021

“Berliterasi” di Bulan Ramadhan
Oleh Agung Kuswantoro

Ramadhan 1442 Hijriah ini, bagi saya adalah sebuah “tantangan” dalam berliterasi. Saya selalu “menjagani” agar tidak terlalu banyak aktivitas rutin pekerjaan dan aktivitas yang bersifat fisik.

Mengapa saya “jagani” agar tidak terlalu sibuk dan aktivitas fisik? Agar saya bisa fokus beribadah dan berliterasi. Saya menyamakan antara berliterasi sama dengan beribadah. Dengan membaca dan menulis itu, beribadah. Semakin banyak membaca, maka pengetahuan saya bisa bertambah. Syukur, saya bisa menuliskan dari apa yang saya baca.

Sumber bacaan saya yang utama adalah al-Qur’an, kitab, dan buku. Tidak semua kitab dan buku menjadi rujukan saya dalam “berliterasi”. Sehingga, saya mencari informasi terkait buku/kitab. Biasanya, saya membuka kitab-kitab dan buku-buku yang saya miliki.

Selain itu, saya juga rutin membaca koran di koran Suara Merdeka yang berisi informasi kitab. Adapun kitab yang sudah saya dapatkan yaitu: kitab Tuhfatul al-Lubab, Maqasid Ash-Shaum, kitab tafsir Al-Bayan Fii Ma’rifati Ma’ani al Qur’an, kitab ar – Rozan, kitab al – Awail wal fadhoil, dan kitab-kitab yang lain.

Dengan membaca ulasan dari kitab-kitab tersebut, saya mencoba membeli kitab tersebut dan membacanya. Tujuannya, untuk diri/saya saja agar menjadi tahu. Saya jadi “melek” dengan ilmu.

Selain mencari referensi, saya juga aktif membuka internet dengan mengaji online. Biasanya saya menyimak kajian dari teras Salafiah Kauman Pemalang – Kitab ‘Qomiut Thugyan’ – yang diampu oleh KH. Romadon SZ, kajian kitab Burdah yang diampu oleh Kiai Mustofa Bisri, kitab Ihya Ulumuddin dan kitab Misykatul Anwar yang diampu oleh Kiai Ulil Absor Abdullah.

Saya suka kajian online tersebut, karena “kental” dengan ilmu. Cara membacanya, sangat jeli. Mulai dari nahwu, shorof, dan tafsirnya. Jadi, menyeluruh dalam membahasnya.

Diri saya memang banyak kekurangan, harapannya dengan berliterasi saya dapat beribadah. Yuk, perbanyak berliterasi agar kita “melek” ilmu Allah. []

Semarang, 30 April 2021
Ditulis di Rumah jam 05.45 – 06.05 WIB.

• Thursday, April 08th, 2021

Puasa Itu Wajib, Bagi Siapa?

Oleh Agung Kuswantoro

 

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (Q.S. alBaqarah: 183).

 

Dalam kitab Fathul Muin bab tentang puasa, disebutkan bahwa puasa itu wajib bagi mukallaf. Mukallaf dalam hal ini, dimaknai yaitu baligh dan berakal. Mukallaf secara hukum dan kenyataan. Secara hukum artinya, sudah sah sesuai dengan aturan. Secara kenyataan, artinya sudah memenuhi kriteria yang telah ditentukan.

 

Berbeda kasus mukallaf dalam hal ini, yaitu anak kecil dan orang gila. Anak kecil yang mampu berpuasa dari imsak hingga futur/magrib, maka secara hukum, tetap belum memenuhi. Karena, masih kecil. Orang berpuasa harus baligh. Orang berpuasa harus dewasa.

 

Demikian juga, (maaf) orang dewasa yang gila, ia sudah berumur, namun syarat mukallaf—dalam hal ini, yaitu berakal—itu tidak memenuhi. Jadi, walaupun ada orang dewasa yang gila itu, beribadah puasa. Maka, secara syarat/hukum itu, tidak memenuhi. Orang yang berpuasa itu, harus berakal.

 

Syarat mukallaf menjadi gugur/batal/tidak berlaku, ketika seorang wanita dewasa sedang haid, nifas, atau wiladah. Mengapa wanita yang haid, nifas, atau wiladah menjadi gugur secara hukum, walaupun yang bersangkutan itu mampu melakukan ibadah puasa? Para ulama mengatakan, bahwa puasa harus dilakukan dalam keadaan suci bagi seorang wanita. Bukan, dilakukan oleh wanita yang dalam keadaan “kotor”.

 

  1. H. Sukiman Rusli, SpPD – seorang dokter dan anggota Komisi Fatwa MUI DKI – dalam bukunya, “Berpuasa Di Saat Sakit dan Sehat”, mengatakan seorang pasien/orang yang sakit dapat memutuskan berpuasa atau batal harus menggunakan beberapa petunjuk yaitu (1) Berkonsultasi dengan dokter muslim yang mahir dan terpercaya, (2) Apabila dokter belum bisa membuat keputusan “apakah berpuasa atau batal”, maka pasien/orang tersebut, dapat membuat keputusan berdasarkan pengalaman pribadi pasien, saat pelaksanaan puasa sebelumnya. Sebaiknya pasien tersebut—dalam membuat keputusan—didukung oleh informasi/ilmu dari buku, majalah, atau pengajian, (3) Bila dokter tidak ada yang mahir dan pengalaman belum ada, maka pasien tersebut melaksanakan ibadah puasa saja. Pastinya, selama berpuasa mengamati organ tubuh dan gejala penyakit yang dirasakan. Nah, disinilah pasien dapat membuat keputusan untuk tetap melanjutkan berpuasa atau batal puasa (Rusli, 2018:139-140).

 

Dari penjelasan di atas, sungguh “terbalik” saat ada orang yang sehat berjenis kelamin laki-laki dan sudah memenuhi hukum untuk melaksanakan ibadah puasa (mukallaf), namun ia tidak berpuasa. Dan, laki-laki tersebut ada, di lingkungan kita. Ia merasa dirinya, tidak wajib berpuasa dengan alasan yang menurut dia, itu benar. Misal, dengan alasan yaitu:pekerjaan yang susah, berat, cuaca panas, dan fisik tidak mampu, dimana ia memutuskan tidak berpuasa. Namun, ia tetap sholat.

 

Bagaimana, para pakar menghadapi kasus di atas? Para ahli mengatakan, bahwa kebanyakan orang tidak melakukan puasa—walaupun sudah mukallaf/baligh/berakal—dikarenakan ia memiliki banyak dosa. Dosa yang banyak, itulah menutupi hatinya.

 

Ia melakukan perbuatan dosa dimulai dari pekerjaan yang tidak dirasa—berpotensi menjadi sebuah dosa—seperti:berbohong, berkata ah kepada orang tua, menyalahgunakan jabatan, menggosip (ghibah), mengadu domba/memprovokasi perbuatan buruk kepada orang lain, berprasangka buruk, mempercayai ramalan, dan dosa kecil lainnya.

 

Dosa-dosa kecil bisa menjadikan hati seseorang bisa sakit (qolbun marid), yaitu hati yang tidak bisa membedakan hak/benar dan batil/salah, sehingga ia tidak sadar telah melakukan dosa—baik dosa kecil—yang “bertumpuk” menjadi dosa besar.

 

Oleh karenanya, sebagai orang muslim harus melakukan ibadah puasa. Muslim adalah syarat orang diperbolehkan untuk melakukan ibadah puasa. Secara fiqih itu, cukup syarat berpuasa yaitu muslim saja. Akan tetapi, tidak cukup secara al-Qur’an, bahwa syarat berpuasa itu muslim. Syarat berpuasa secara al-Qur’an itu, harus beriman.

 

Secara tauhid ada istilah islam, iman, dan ihsan. Ketiga istilah tersebut, harus selalu beriringan. Ada orang islam, namun belum beriman akan keberadaan alam akhirat. Ada orang islam, namun untuk berbuat sedekah (baca: ihsan), ia masih eman-eman. Sehingga, kita harus belajar tingkatan islam, iman, dan ihsan. Kita ada pada level mana? Hanya, Anda sendirilah yang lebih yang bisa menjawabnya.

 

Dengan demikian, mengapa ada orang sehat, berakal, mampu, dan tidak ada masalah penyakit dalam dirinya itu—tidak melakukan puasa—dengan alasan yang menurut dia benar yaitu pekerjaan susah, banyak, cuaca panas, dan tidak kuat lapar adalah kurang tepat. Seharusnya, pendekatan hati yang digunakan. Bukan, pendekatan fisik. Karena pendekatan fisik secara kesehatan itu, tidak masalah. Namun, pendekatan hati orang tersebut, bermasalah. Bermasalahnya karena apa? Karena, dosa yang menutupi hatinya, sehingga akal mencari alasan, agar tidak berpuasa. Jelas hal ini tidak tepat. Oleh karenanya, kembalilah ke al-Qur’an, agar kita beriman. Berimanlah yang dipanggil oleh Allah untuk melakukan ibadah puasa (ya ayyulah aldzina amanu). Bukan, ya ayyuhal muslimun (wahai orang-orang islam). Karena, orang islam, belum tentu melakukan ibadah puasa. Baru setelah beriman yang berpuasa, akan naik kelas menjadi tattaqun orang bertakwa (QS. al-Baqoroh 183).

 

Demikian, tulisan singkat ini. Ada beberapa simpulan, yaitu:

  1. Syarat berpuasa, fiqih menyebutkan dengan istilah mukallaf. Mukallaf artinya berakal dan baligh.

 

  1. Ada orang yang sakit bisa berpuasa atas anjuran dokter yang sangat mahir dan beragama muslim, serta atas keyakinan dan keteguhan diri orang yang akan melakukan puasa. Dasarnya, konsultasi ke dokter dan keyakinan pasien.

 

  1. Ada orang islam dan mukallaf (baligh dan berakal), tetapi tidak berpuasa, dengan alasan pembenaran atas dirinya. Dalam konteks ini, itu tidak dibenarkan. Karena ia membenarkan dirinya.

 

  1. Bisa jadi, dosa yang banyak menghambat orang sehat, dewasa, dan berakal (mukallaf) untuk tidak melakukan ibadah puasa. Orang yang tertutup hatinya, menjadikan penghalang dan malas untuk melakukan ibadah puasa. Agar terbuka hatinya, bertobatlah segera bagi orang yang telah sakit hatinya (qolbun marid).

 

Semoga bermanfaat tulisan ini. Amin. []

 

Semarang, 6 April 2021

Ditulis Di Rumah jam 03.00 – 03.30 WIB, kemudian dilanjutkan di Madrasah Aqidatul Awwam  jam 05.00 – 05.15 WIB.