Archive for ◊ January, 2022 ◊

• Saturday, January 29th, 2022

Nikah (2): Siap dan Tidak/Belum Siap Menikah

 

Orang dalam menghadapi masalah nikah ada dua macam, yaitu: orang yang memerlukan nikah dan orang yang tidak memerlukan nikah.

 

Orang yang memerlukan nikah dibagi dua, yaitu: orang yang sudah siap (bekal) nikah dan orang yang belum siap (bekal) untuk nikah.

 

Orang yang sudah siap (bekal) untuk nikah disunatkan untuk melakukannya. Sabda Nabi Saw: “Yaa Ma’syarasy Syabaab Manistathaa’a Minkumul Baa-ah Fal Yatazawwaj – Fainnahu Aghadl Dlu Lilbashari Wa Ahshanu Lilfarji Wamal Lam Yastathi’ Fa’alaihi Bisshaumi Fainnahu Lahu Wi Jaa.”

 

Artinya: “Wahai sekalian pemuda, apabila kamu sudah mempunyai bekal maka kawinlah : sesungguhnya (kawin) bisa memejamkan mata, dan memelihara kemaluan, siapa yang belum sanggup (mempunyai bekal) maka puasalah, sebagai benteng (perisai)”.

(HR. Jama’ah)

 

Kata “Baa-ah” artinya: bekal, dan yang dimaksud ialah rumah (tempat tinggal). Sedang orang yang belum sanggup, belum mempunyai bekal, disarankan agar berpuasa, dengan puasa, bisa menjaga diri terhindar dari kejahatan mata dan kemaluan.

 

Menurut Imam Syafi’i, perintah nikah tersebut berarti sunat. Menurut Imam Ahmad, nikah tersebut menjadi wajib untuk orang yang merasa tidak dapat menahan diri dari berbuat jahat (zina).

 

 

Bersambung.

 

Pemalang, 30 Januari 2022

Sumber: Kitab Kifayatul Akhyar Bab Nikah.

• Thursday, January 27th, 2022

Menata Diri (9)/Edisi Terakhir: Merasa Di-CCTV Oleh Allah Swt

Oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA.

 

Sikap mawas diri atau pengawasan melekat (muraqabah) merupakan salah satu ciri kalbu yang sehat. Ketika kita merasa selalu diawasi Allah Swt. dan malaikatnya yang ditempatkan didalam diri kita, saat itu kita sadar untuk mengontrol diri dengan mengawasi diri kita agar tidak melakukan sesuatu yang tidak wajar. Kesadaran yang tumbuh didalam kalbu karena merasa diawasi oleh Allah Swt. perlu dipertahankan, guna tujuan dan perjalanan hidup kita tercapai. Betapa tidak, CCTV Tuhan pasti jauh lebih canggih daripada ciptaan manusia.

 

Pemandangan pada hari kiamat: ketika orang ditanya tentang dosa dan kejahatannya di dunia, mereka berusaha menyangkal. Namun, penyangkalan tidak ada manfaatnya karena anggota badan yang pernah terlibat melakukan perbuatan itu berteriak memberikan kesaksian dan pengakuan: “Akulah yang melakukannya”, Misalnya, kaki mengatakan, “Aku yang melangkahkan kaki ke tempat maksiat itu”. Tangan mengungkapkan, “Aku yang memegang atau menandatanganinya,” Tenggorokan mengatakan, “Aku yang menelannya,” Perut berteriak, “Aku yang menampungnya,” dan seterusnya.

 

Ini semua menggambarkan kepada kita bahwa tidak ada kemungkinan kita bisa menyembunyikan kesalahan di hari Kiamat. Ada ulama yang menggambarkan bahwa darah yang mengalir dalam tubuh kita, tidak lain adalah tinta yang mencatat semua perbuatan kita, begitu seseorang meninggal maka darah tubuhnya lenyap entah kemana.

 

Hal tersebut membuktikan bahwa Allah Swt.  selalu mengintai dan mengawasi secara aktif seluruh perbuatan hamba-Nya. Ini sesuai dengan hadist Nabi Saw. ketika suatu saat ia ditanya Jibril tentang pengertian ihsan. Nabi Saw. Menjawab: “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Kalau engkau tidak melihat-Nya, yakinlah bahwa engkau dilihat oleh-Nya (HR. al-Bukhari dan Muslim).

 

Dalam hadist lain disebutkan, “Kalau engkau tidak melihat Allah, yakinlah engkau dilihat oleh-Nya.” Ini menunjukkan tentang muraqabah. Dalam sebuah ayat Allah swt. Berfirman:“Sesungguhnya Allah selalu mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa’[4]: 1)

 

Jika seorang hamba sudah tahaqquq dengan ayat ini maka ia telah merasakan maqam muraqabah. Ia merupakan maqam yang mulia, di mana pondasinya adalah ilmu dan hal. Dengan ilmu artinya hamba mengetahui bahwa Allah Swt. selalu mengawasi dirinya terhadap semua perbuatan yang dilakukannya, mendengar semua yang diucapkannya, bahkan apapun yang terbetik di dalam benaknya. Adapun hal adalah menetapnya pengetahuan ini dalam kesadaran hamba di dalam kalbunya. Sehingga kesadaran inilah yang dominan dan menguasai dirinya tanpa pernah lali.

 

Jika keduanya sudah membaur dalam diri maka buahnya adalah malu (al-haya) kepada Allah Swt. sehingga memastikan dengan sifat ini, hamba jauh dari segala bentuk kemaksiatan dan semangat dalam ibadah. Adapun mereka para murraqabin buah yang didapat dari keduanya adalah musyahadah. Dalam musyahadah ini buah yang didapat pertama adalah an ta’budallaha ka’annaka tarahu (menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya) kedua, buah yang didapat selanjutnya fa in lam takun tarahu (jika engkau telah tiada (fana) maka engkau akan melihat-Nya).

 

Menurut bahasa, muraqabah berarti murashadah, yaitu mengintai, hampir sama maknanya dengan pengawasan. Menurut istilah para ahli hakikat, muraqabah ialah seorang hamba yang senantiasa menyadari bahwa segala gerak-geriknya berada dalam pengawasan Allah Swt. Muraqabah juga sering diartikan dengan memelihara rahasia (hati) untuk selalu merasa diawasi oleh al-Haqq (Tuhan) dalam setiap gerak-geriknya. Pada hakikatnya muraqabah adalah  bentuk simpati Allah swt. kepada kita, tentang apa kekurangan dan kelebihan kita, benar tidak perbuatan kita, apakah sudah sesuai dengan ajaran yang telah dituntunkannya atau belum.

 

Muraqabah merupakan sumber segala kebaikan. Seseorang tidak akan sampai pada derajat muraqabah kecuali setelah mengadakan muhasabah (evaluasi) terhadap dirinya mengenai apa yang telah dilakukan pada masa lalu dan bagaimana memperbaiki ke depannya. Perbedaannya, muhasabah adalah introspeksi ke dalam, dari diri kita sendiri, menyaksikan diri kita sendiri melakukan apa. Sedangkan muraqabah lebih bersifat eksternal faktornya, penilaian dari luar diri kita, CCTV-nya Tuhan yang menyaksikan kita. Sehinga dalam muraqabah ini ketika melakukan sesuatu, seorang hamba sadar bahwa dirinya direkam.

 

Maka dampaknya kemudian hamba melakukan perbaikan dan koreksi atas perbuatannya dengan tobat jika ia melakukan dosa dan kesalahan. Jika yang dilakukan adalah kebajikan dan ketaatan maka muraqabah menjadi semangat baru untuk berbuat yang lebih baik.

 

Di kalangan ulama tasawuf mengartikan  muraqabah kepada Allah dalam segala lintasan pikirannya, Allah akan memeliharanya dalam segala tingkah lakunya. Ibn “Atha’illah mengatakan bahwa ketaatan yang paling utama adalah muraqabah kepada yang Haqq (Tuhan) sepanjang masa. Abu Hafsh (al-Haddad) pernah mewasiatkan kepada murid dan sahabatnya, Kalau engkau duduk bersama orang lain, jadilah penasihat terhadap diri dan hatimu, serta janganlah kamu sampai tertipu oleh perkumpulan mereka sebab mereka hanya bisa mengawasi lahiriahmu, sedang Allah mengawasi batinmu.”

 

Sebagian ahli hikmah berkata, “Merasa malulah kepada Allah sesui kedekatan dan pengetahuanmu kepada-Nya, persiapkanlah dirimu untuk dunia sesuai dengan kebutuhan tinggalmu di sana, taatilah Allah sesuai kebutuhanmu kepada-Nya, dan berterimakasihlah kepada-Nya sesuai nikmat yang dianugerahkan kepadamu.”Bukankah seluruh perbuatan-perbuatan kita direkam oleh Allah Swt.? sebagaimana firman-Nya:“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun niscaya Dia akan melihat. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarah pun niscaya Dia akan melihat.” (QS. Al-zalzalah [99]: 7-8).

 

Orang yang selalu sadar bahwa dirinya selalu dipantau oleh Allah Swt. maka orang ini tergolong muraqib (orang yang bermuraqabah) yang akan menempuh shirath al-mustaqim. Muraqib adalah orang ang sempurna takwanya, dosa sekecil zarahpun akan dihindari. Bahkan, sebagian yang ia anggap halal ia jauhi khawatir ternyata haram sehingga menjadi hijab. Abdullah ibn Mas’ud pernah berkata, “Orang mukmin melihat dosanya bagaikan gunung yang besar, sehingga takut menjatuhi dirinya. Sedangkan orang kafir melihat dosanya bagaikan lalat di hidung yang dapat terbang dengan usiran tangan.

 

Selain dengan muhasabah, agar kita senatiasa muraqabah yaitu dengan muhadharah artinya kita menghadirkan jiwa, menghadirkan perasaan, eling menghadirkan spiritual mood kita, sehingga suasana batin kita selalu hadir dihadapan Allah Swt. batinnya selalu basah dengan kedekatan (taqarub) pada Allah swt. dalam keadaan apapun dan di mana pun. Sehingga kita dengan sendirinya memiliki proteksi diri yang kuat, tidak mudah tergoda oleh siapapun dan keadaan yang bagaimanapun.

 

Orang yang senantiasa muraqabah akan selalu respons dengan pemberian Allah Swt., apabila diberi nikmat dia mengucap, “alhamdulillah,” apabila ditimpa musibah ia mengucap,”Inna lillah,” apabila melihat keajaiban ia mengucap, “Subhanallah,” semuanya ia kembalikan  kepada Allah Swt. orang yang senantiasa muraqabah setiap langkahnya teratur, terukur, setiap ucapannya berakhlak. Sedangkan, yang tidak mengindahkan tatakrama muraqabah akan sembrono, ceplas-ceplos, bahkan berpotensi menjadi racun di masyarakat.

 

Dengan demikian, sikap mawas diri yang biasa kita lakukan selain akan memberikan keuntungan duniawi, sudah pasti juga akan menjanjikan tempat yang istimewa di mata Allah Swt di akhirat kelak. Mawas diri tidak pernah mendatangkan penyesalan, sebaliknya kesemberonoan hiduplah yang paling banyak mendatangkan penyesalan.

 

Semarang, 28 Januari 2022

 

Dikutip dari buku: Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. 2021. Menjalani Hidup Salikin. Jakarta: Grasindo PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

 

• Thursday, January 27th, 2022
Semoga Mas Agung (gambar tersebut) yang berusia 8 tahun selalu sehat selalu. Semoga kelak Mas Agung menjadi orang yang sukses.
Salam buat nenek yang sedang sakit, sehingga mas Agung berangkat memulung sendiri. Salam buat kedua orang tua Mas Agung yang sudah meninggal dunia.
Selamat berjuang di “permainan” kehidupan ini. Kata orang: susah tak selamanya susah. Senang tak selamanya senang.
Hari ini atau saat ini, Mas Agung tidak sekolah/putus sekolah itu tidak apa-apa. Karena, Mas Agung sudah “bersekolah” di kehidupan dunia yang penuh dengan ribuan kompetensi.
Di saat teman yang seumuran pergi sekolah, Mas Agung sudah praktik mencari uang dengan memulung untuk beli obat buat neneknya.
Andaikan kita dekat, aku ingin mengajakmu makan di warteg dan bawakan beban yang di pundakmu itu. Rasanya, tak pantas beban yang melekat di pundakmu. Mungkin, seharusnya tas sekolah yang ada di pundakmu. Terlebih, itu jam sekolah.
Punya labolatorium yang berisi komputer dan tablet yang canggih sebagai media, rasanya terlalu “jauh”. Cukup komunikasi yang baik secara langsung itu sudah sangat baik sekali. Medianya, sederhana saja yaitu “perhatian” saja.
Guru Mas Agung adalah orang yang mau memperhatikan saja. Tak kepikiran guru harus memiliki laboratorium. Laboratoriumnya adalah alam raya ini.
Pakai masker dan jaga jarak, hilang dalam “kamus” kehidupanmu. Yang penting bisa hidup saja. Makanan sehat dan bergizi, bisa jadi “lenyap” dalam pikiranmu. Asal, makan tiga kali dalam sehari saja, sudah Alhamdulillah.
Lalu, kapan jam bermainmu? mungkin sudah tidak ada. Karena, Mas Agung sudah sibuk dalam memulung.
Mari, doakan Mas Agung dan Mas Agung-Mas Agung yang lain–senasib–dengannya. Anak yatim piatu ada di sekitar kita. Bisa jadi, yatim kasih sayang. Yatim, tak harus kehilangan orang tua.
Semoga Allah mendengar bisikan hati dari doamu, Mas Agung. Amin.
Semarang, 27 Januari 2022
Keterangan gambar: kompas edisi, 25 Januari 2022 halaman 1
Mungkin gambar 3 orang, orang berdiri, luar ruangan dan teks yang menyatakan 'SELASA 25 JANUARI 2022 Memulung untuk Bertahan Hidup www.kompas.id FAmO Kepa Jadv Akh Pemungutan Februari 2024 Juni mendatar JAKARTA, KOMPAS setelah kati Kepastian jadwal penundaan Agung (8) menyusuri kawasan Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan untuk memulung kardus botol minum kemasan Senin /2022). Sejak ditinggal pergi dan ayahnya yang meninggal Agung yang bersekolah ingga bersama neneknya Untuk bertahan hidup. neneknya bekerja sebagai pemulung Karena hari tu neneknya sakit, ia berangkat seorang diri oulan DM psansi emilu,'
• Sunday, January 23rd, 2022

Nikah (1)

 

Definisi

Nikah menurut bahasa artinya: mengumpulkan. Menurut syara’ artinya: akad yang memenuhi rukun-rukun serta syarat (yang telah tertentu) untuk berkumpul.

 

Firman Alah: “Fangkihuu Maa Thaaba Lakum Minannisaa”.

Artinya: “Maka nikahilah wnaita-wanita yang kamu senangi” (An-Nisa’: 3)

 

Sabda Nabi saw: “Ingkihuul Waluud”. Artinya: “Nikahlah dengan perempuan yang banyak anak (keturunan banyak anak)”.

 

Hukum Nikah

Hukum nikah sangat erat hubungannya dengan mukalaf (pelakunya). Kalau ia (mukalaf) sudah memerlukan, maka hukumnya wajib. Kalau ia (mukalaf) tidak mampu, maka hukumnya makruh. Kalau ia berniat menyakiti isteri, maka hukumnya haram. Sedang hukum asal dari nikah adalah mubah. Nikah, hukumnya sunat bagi orang yang memerlukannya. Syariat nikah berasal dari Al-qur’an, hadist serta ijma’umat.

 

Firman Allah: “Wa-Ankihul Ayaamaa Mingkum Washshaalihiina Min’ibaadikum Wa Imaaikum”. Arttinya: “Dan kawinlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hambamu yang lelaki dan hamba-hambamu yang perempuan”.

 

Sabda Nabi Saw: “Tanaakahu U Taktsuruu Fainnii Ubaahi Bikumul Umam”. Artinya: “Saling menikahlah kamu semua dan banyakkan keturunan sesungguhnya denganmu aku berlomba umat (besok hari kiamat)”.

Bersambung.

 

Semarang, 23 Januari 2022

Sumber: Kitab Kifayatul Akhyar Bab Nikah

• Friday, January 21st, 2022

Menata Diri (8): Menjaga Rasa Malu
Oleh KH. Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA

Mohon maaf, saya belum menuliskan lanjutan tema menata hidup, sehingga saya menyajikan tulisan dari KH. Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA selaku guru dan sumber rujukan utama dalam tema tersebut. Berikut tulisannya:

Mungkin ada benarnya anggapan orang yang mengatakan, manusia modern lebih cenderung menyingkirkan rasa malu. Padahal, semodern apapun dan sebesar apapun perubahan yang ada di sekitar kita, mestinya rasa malu itu sebagai harga diri utama kita paling permanen menyertai sepanjang perjalanan hidup kita. Rasa malu boleh pergi seiring dengan roh meninggalkan jasad kita. Hal itu Karena malu diterjemahkan dari bahasa Arab istahya’ yang diambil dari al-hayath yang artinya hidup. Orang yang memiliki rasa malu (istahya) itu lantaran kuatnya dimensi hayath di dalam dirinya, sehingga dapat merasakan hal-hal yang sensitive. Jadi, malu lahir karena kuat dan lembutnya perasaan seseorang. Makanya hidup tanpa rasa malu adalah mayat berjalan, demikian sebuah syair Arab melukiskannya.

Ilustrasi kisah Nabi Yusuf dengan perempuan istana dapat dijadikan pelajaran. Dikisahkan dalam Al-qur’an: Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tiada melihat tanda (dari) Tuhannya. (QS. Yusuf [12]: 24).

Sesungguhnya, tanda (burhan) yang dilihat, ialah bahwa wanita itu melemparkan pakaian ke sebuah patung yang ada di dalam rumahnya lalu menutupi wajah patung itu. Yusuf as. bertanya padanya, “Apa maksudmu berbuat begini?” Jawabnya, “Sesungguhnya aku merasa malu pada Tuhanku ini, jika dia melihatku, “Kata Yusuf, “Sesungguhnya aku lebih malu lagi kepada Allah”.

Selanjutnya, ditegaskan pula dalam firman Allah dalam al-Qur’an: “Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dalam keadaan malu-malu.” (QS. Al-Qashash [28]: 25)

Sesungguhnya, dia merasa malu, sebab ada seorang yang menawarkan kepadanya jamuan, maka ia malu untuk tidak memenuhinya. Rasa malu termasuk salah satu sifat bagi tuan rumah sebagai penjamu. Ini menunjukkan kesempurnaan iman. Riwayat lain mengatakan bahwa kedua putri Syuaib as. pulang lebih awal dari biasanya. Maka Nabi Syuaib bertanya, “Apa yang membuatmu pulang terburu-buru?” Keduanya menjawab, “Kami menjumpai seorang lelaki saleh yang kasihan pada kami dan membantu mengambilkan air. Maka Nabi Syuaib berkata pada salah satu putrinya (yang tertua). “Pergilah. Ajak dia menemuiku”. Dalam perjalanan, Musa as. mengikuti putri Nabi Syuaib dari belakang. Tiba-tiba angin berembus dan menyingkap baju putri Nabi Syuaib. Sehingga ia pun malu. Maka Nabi Musa as. Berkata, “Berjalanlah di belakangku dan tunjukkan aku arahnya ke mana”.

Kisah Nabi Yusuf yang diabadikan di dalam Al-Qur’an di atas menarik untuk dijadikan pelajaran bahwa dalam segala perbuatan yang memalukan hanya akan membawa penyesalan dan keberanian untuk berkata “tidak” kepada hal-hal yang memalukan akan mendatangkan keajaiban positif dari Allah SWT untuk yang bersangkutan. Dalam habis Nabi Saw. Dikatakan: “Rasa malu merupakan bagian dari iman.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Menurut riwayat riwayat lengkapnya, suatu ketika ada orang yang memarahi saudaranya yang tidak punya malu. Ia berkata, “Mungkin kamu akan malu, setelah kamu tahu bahayanya.” Mendengar itu Rasulullah Saw. berkata, “Biarlah dia. Rasa malu merupakan bagian dari iman.” Rasa malu mencegah orang dari berbuat keburukan. Di dalamnya tercakup banyak sekali kebaikan sehingga ia terhitung cabang dari iman. Dikatakan sebagai cabang iman lantara malu mampu mencegah orang dari melakukan kemaksiatan sebagaimana iman. Al-Qadhi “Iyadh mengatakan malu adakalanya merupakan sifat bawaan dan adakalanya diupayakan. Jika malu merupakan sifat bawaan maka untuk memanfaatkannya di jalan syar’i harus didahului dengan upaya, ilmu dan niat. Di sinilah malu menjadi bagian dari iman. Apabila keduanya ada dalam diri seseorang maka itu akan menjadi sumber kebaikan yang kuat.

Jadi, orang yang beriman ialah orang-orang yang mampu memproteksi diri dari hal-hal yang memalukan. Semua dosa, maksiat, dan kedurhakaan adalah memalukan. Bukan saja malu terhadap manusia tetapi yang lebih penting ialah malu terhadap Allah Swt., Zat Yang Maha Melihat. Yang membedakan antara orang-orang yang beriman dan yang tidak ialah perbuatannya. Jika ada yang mengaku beriman tetapi masih doyan dengan dosa berarti ada kemunafikan di dalam diri yang bersangkutan.

Dzun Nun al-Mishri, seorang ulama Tasawuf mengatakan, “Pecinta akan berbicara dan pemalu akan diam.” Al-junaid pernah ditanya tentang rasa malu. Ia menjawab, “Malu adalah suatu keadaan yang membuat orang melihat anugerah dan melihat kekurangan diri. Inilah yang kemudian melahirkan malu.”. Ibn Atha’illah mengatakan, “Ilmu yang peling besar adlaah rasa gentar dan malu”.

Seorang laki-laki terlihat shalat di luar masjid, lalu ditanya mengapa tidak masuk dan shalat di dalam saja? Ia menjawab, “Aku malu masuk ke dalam rumah-Nya karena aku telah berdosa kepada-Nya.”Seorang laki-laki terlihat tidur di tempat binatang buas, lalu ditanya, “Apakah tidak takut tidur disini?” Ia menjawab, “Ketahuilah, bahwa aku malu untuk takut selain diri-Nya. Allah Swt. Telah mewahyukan kepada Nabi Musa as., “Nasihatilah dirimu jika engkau menghiraukan nasihat itu, maka nasihatilah sesama manusia, jika tidak, maka malulah kepada-Ku untuk menasihati manusia.” Disebutkan, jika seorang duduk untuk menasihati sesama manusia, maka malaikat akan memanggilnya, “nasihatilah dirimu sebagaimana engkau menasihati sesama saudaramu, jika tidak, maka malulah kepada Tuhan-Mu, sebab Dia melihatmu.”

Al-Fudhail mengatakan, “Diantara tanda celaka seseorang adalah kerasnya hati, bengisnya mata, kurangnya rasa malu, besarnya hasrat duniawi, dan panjang angan-angan.” Rasa malu sekarang seperti menjadi barang langka. Yang banyak kita saksikan ialah memamerkan perbuatan memalukan. Jika perbuatan memalukan menjadi pemandangan umum di dalam masyarakat maka ancaman siksa Tuhan akan dekat. Siksaan Tuhan bukan hanya dalam bentuk banjir, gempa bumi, gunung meletus, tsunami, wabah penyakit menular, angin puting beliung, dan lain-lain, tetapi juga diutusnya pemimpin zalim, berkembangnya kriminalitas yang menimbulkan kecemasan dan rasa takut, diberikan anak-anak durhaka, dan perasaan publik yang gelisah dan tidak tenang.

Dikutip dari buku: Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. 2021. Menjalani Hidup Salikin. Jakarta: Grasindo PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

• Saturday, January 01st, 2022

 

Salat Jumat

Oleh Agung Kuswantoro

 

Melakukan salat Jumat bagi anak laki-laki berusia 7 tahun hingga 10 tahun, bukanlah hal yang mudah. Misal: dilakukan pada siang hari jam 12.00 WIB dimana fisik untuk jalan kaki agar bisa pergi ke masjid, membutuhkan kesabaran untuk mendengarkan khutbah Jumat, dan kondisi anak dimana jam 12.00 WIB adalah jam istirahat dan makan.

 

Dari alasan-alasan tersebut, saya sebagai orang tua – perlu strategi agar anak mau dan tertarik untuk berlatih salat Jumatan.

 

Saya sendiri pun, harus menyiapkan fisik dan waktu agar bisa menemani kedua anak saya – Mubin dan Syafa’ – Jumatan. Saya usahakan pulang rumah agar bisa mengajak Mubin dan Syafa’ Jumatan.

 

Biasanya saya pulang istirahat lebih gasik – sebelum jam 11.00 WIB—agar bisa mempersiapkan salat Jumat. Maksimal berangkat dari rumah jam 11.30 WIB. Setelah itu, kami berangkat ke masjid.

 

Saya pun tidak asal memilih masjid untuk Jumatan. Prinsipnya, masjid yang ramah anak untuk Jumatan. Misal: protokol kesehatan diperhatikan, ada saf/barisan anak, kebersihan masjid terjamin, khutbah tidak terlalu lama, dan nyaman untuk salat Jumat.

 

Mungkin indikator-indikator masjid yang berkriteria sempurna itu, tidak banyak. Minimal: terkelola, masjidnya. Mengapa saya “ketat” dalam “pemilihan masjid”? karena, salat Jumat “membawa”/mengajak anak itu repot. Jadi, saya harus mengambil resiko terkecil, saat saya di masjid bersama Mubin dan Syafa’. Berjuang, simpelnya, saat “membawa”/mengajak Mubin dan Syafa’ untuk Jumatan.

 

Dulu, saya juga merasakan sendiri sebagai anak yang ingin Jumatan. Saya dulu ingin sekali Jumatan. Sampai-sampai ikut orang dewasa – yang notabene tetangga rumah – agar bisa Jumatan. Beliau bernama Bapak Syarif.

 

Tiap jam 11.00 WIB, saya datang ke rumahnya agar saya bisa salat Jumat. Saya selalu dengan beliau, ketika Jumatan. Karena, Bapak saya sudah meninggal dunia sejak saya di kandungan. Jadi, saya harus ikut orang dewasa saat Jumatan.

 

 

Pengalaman kecil saya saat Jumatan menjadikan pengalaman hidup yang sangat berharga untuk anak saya, sehingga saya berusaha menemani  Mubin dan Syafa’ agar bisa salat Jumatan.

 

Yuk latih dan dampingin anak-anak kita agar kelak mereka menjadi anak saleh. Amin. []

 

Semarang, 31 Desember 2021

Ditulis Di Rumah jam 14.30 – 14.45 WIB