Archive for ◊ March, 2022 ◊

• Wednesday, March 30th, 2022

Puasa Itu Wajib, Bagi Siapa?

Oleh Agung Kuswantoro

 

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (Q.S. alBaqarah: 183).

 

Menurut Multazam Ahmad (2022) dalam Suara Merdeka edisi jumat 25 Maret 2022 mengatakan bahwa, kemungkinan besar akan terjadi perbedaan bagi umat Islam untuk melakukan amal ibadah puasa . Hal ini disebabkan, perbedaan metode untuk menentukan penentuan pengertian awal bulan.

 

Bagi Saudara kita (Muhammadiyah) yang bermadzab hisab, jauh hari sudah menentukan bahwa awal Ramadhan akan jatuh 2 April 2022 (Sabtu/besok), sedangkan dari kelayakan NU yang bermadzab hisab dan rukyah, masih akan menunggu hasil rukyah mengawali puasa Ramadhan yang akan jatuh pada 3 April 2022 (Ahad). Hadis Nabi: “Berpuasalah kamu sekaliah setelah melihat hilal, berbukalah kamu sekalian setelah melihat hilal, Apalagi terhalang sempurnakanlah bilangan bulan”)

 

Ada 2 metode yang berbeda, namun ada 1 tujuan yang sama yaitu menjadi hamba yang bertakwa, muncullah sebuah pertanyaan: “puasa itu, wajib untuk siapa?”

 

Dalam kitab Fathul Muin bab tentang puasa, disebutkan bahwa puasa itu wajib bagi mukallaf. Mukallaf dalam hal ini, dimaknai yaitu baligh dan berakal. Mukallaf secara hukum dan kenyataan. Secara hukum artinya, sudah sah sesuai dengan aturan. Secara kenyataan, artinya sudah memenuhi kriteria yang telah ditentukan.

 

Berbeda kasus mukallaf dalam hal ini, yaitu anak kecil dan orang gila. Anak kecil yang mampu berpuasa dari imsak hingga futur/magrib, maka secara hukum, tetap belum memenuhi. Karena, masih kecil. Orang berpuasa harus baligh. Orang berpuasa harus dewasa.

 

Demikian juga, (maaf) orang dewasa yang gila, ia sudah berumur, namun syarat mukallaf—dalam hal ini, yaitu berakal—itu tidak memenuhi. Jadi, walaupun ada orang dewasa yang gila itu, beribadah puasa. Maka, secara syarat/hukum itu, tidak memenuhi. Orang yang berpuasa itu, harus berakal.

 

Syarat mukallaf menjadi gugur/batal/tidak berlaku, ketika seorang wanita dewasa sedang haid, nifas, atau wiladah. Mengapa wanita yang haid, nifas, atau wiladah menjadi gugur secara hukum, walaupun yang bersangkutan itu mampu melakukan ibadah puasa? Para ulama mengatakan, bahwa puasa harus dilakukan dalam keadaan suci bagi seorang wanita. Bukan, dilakukan oleh wanita yang dalam keadaan “kotor”.

 

Orang sakit berpuasa

  1. H. Sukiman Rusli, SpPD – seorang dokter dan anggota Komisi Fatwa MUI DKI – dalam bukunya, “Berpuasa Di Saat Sakit dan Sehat”, mengatakan seorang pasien/orang yang sakit dapat memutuskan berpuasa atau batal harus menggunakan beberapa petunjuk yaitu (1) Berkonsultasi dengan dokter muslim yang mahir dan terpercaya, (2) Apabila dokter belum bisa membuat keputusan “apakah berpuasa atau batal”, maka pasien/orang tersebut, dapat membuat keputusan berdasarkan pengalaman pribadi pasien, saat pelaksanaan puasa sebelumnya. Sebaiknya pasien tersebut—dalam membuat keputusan—didukung oleh informasi/ilmu dari buku, majalah, atau pengajian, (3) Bila dokter tidak ada yang mahir dan pengalaman belum ada, maka pasien tersebut melaksanakan ibadah puasa saja. Pastinya, selama berpuasa mengamati organ tubuh dan gejala penyakit yang dirasakan. Nah, disinilah pasien dapat membuat keputusan untuk tetap melanjutkan berpuasa atau batal puasa (Rusli, 2018:139-140).

 

Dari penjelasan di atas, sungguh “terbalik” saat ada orang yang sehat berjenis kelamin laki-laki dan sudah memenuhi hukum untuk melaksanakan ibadah puasa (mukallaf), namun ia tidak berpuasa. Dan, laki-laki tersebut ada, di lingkungan kita. Ia merasa dirinya, tidak wajib berpuasa dengan alasan yang menurut dia, itu benar. Misal, dengan alasan yaitu:pekerjaan yang susah, berat, cuaca panas, dan fisik tidak mampu, dimana ia memutuskan tidak berpuasa. Namun, ia tetap sholat.

 

Bagaimana, para pakar menghadapi kasus di atas? Para ahli mengatakan, bahwa kebanyakan orang tidak melakukan puasa—walaupun sudah mukallaf/baligh/berakal—dikarenakan ia memiliki banyak dosa. Dosa yang banyak, itulah menutupi hatinya.

 

Ia melakukan perbuatan dosa dimulai dari pekerjaan yang tidak dirasa—berpotensi menjadi sebuah dosa—seperti:berbohong, berkata ah kepada orang tua, menyalahgunakan jabatan, menggosip (ghibah), mengadu domba/memprovokasi perbuatan buruk kepada orang lain, berprasangka buruk, mempercayai ramalan, dan dosa kecil lainnya.

 

Dosa-dosa kecil bisa menjadikan hati seseorang bisa sakit (qolbun marid), yaitu hati yang tidak bisa membedakan hak/benar dan batil/salah, sehingga ia tidak sadar telah melakukan dosa—baik dosa kecil—yang “bertumpuk” menjadi dosa besar.

 

Oleh karenanya, sebagai orang muslim harus melakukan ibadah puasa. Muslim adalah syarat orang diperbolehkan untuk melakukan ibadah puasa. Secara fiqih itu, cukup syarat berpuasa yaitu muslim saja. Akan tetapi, tidak cukup secara al-Qur’an, bahwa syarat berpuasa itu muslim. Syarat berpuasa secara al-Qur’an itu, harus beriman.

 

Secara tauhid ada istilah islam, iman, dan ihsan. Ketiga istilah tersebut, harus selalu beriringan. Ada orang islam, namun belum beriman akan keberadaan alam akhirat. Ada orang islam, namun untuk berbuat sedekah (baca: ihsan), ia masih eman-eman. Sehingga, kita harus belajar tingkatan islam, iman, dan ihsan. Kita ada pada level mana? Hanya, Anda sendirilah yang lebih yang bisa menjawabnya.

 

Dengan demikian, mengapa ada orang sehat, berakal, mampu, dan tidak ada masalah penyakit dalam dirinya itu—tidak melakukan puasa—dengan alasan yang menurut dia benar yaitu pekerjaan susah, banyak, cuaca panas, dan tidak kuat lapar adalah kurang tepat. Seharusnya, pendekatan hati yang digunakan. Bukan, pendekatan fisik. Karena pendekatan fisik secara kesehatan itu, tidak masalah. Namun, pendekatan hati orang tersebut, bermasalah. Bermasalahnya karena apa? Karena, dosa yang menutupi hatinya, sehingga akal mencari alasan, agar tidak berpuasa. Jelas hal ini tidak tepat. Oleh karenanya, kembalilah ke al-Qur’an, agar kita beriman. Berimanlah yang dipanggil oleh Allah untuk melakukan ibadah puasa (ya ayyulah aldzina amanu). Bukan, ya ayyuhal muslimun (wahai orang-orang islam). Karena, orang islam, belum tentu melakukan ibadah puasa. Baru setelah beriman yang berpuasa, akan naik kelas menjadi tattaqun orang bertakwa (QS. al-Baqoroh 183).

 

Demikian, khutbah singkat ini. Ada beberapa simpulan, yaitu:

  1. Kemungkinan besar dalam penentuan awal Ramadhan 1443 Hijriah/tahun ini: ada perbedaan pendapat. Ada yang besok (Sabtu) dan dua hari lagi (Ahad).

 

  1. Syarat berpuasa, fiqih menyebutkan dengan istilah mukallaf. Mukallaf artinya: berakal dan baligh. Namun, di lapangan: belum tentu orang mukallaf itu berpuasa.

 

  1. Ada orang islam dan mukallaf (baligh dan berakal), tetapi tidak berpuasa, dengan alasan pembenaran atas dirinya. Dalam konteks ini, itu tidak dibenarkan. Karena ia membenarkan dirinya.

 

  1. Bisa jadi, dosa yang banyak adalah penghambat orang sehat, dewasa, dan berakal (mukallaf) untuk tidak melakukan ibadah puasa. Orang yang tertutup hatinya, menjadikan penghalang dan malas untuk melakukan ibadah puasa. Agar terbuka hatinya, bertobatlah segera bagi orang yang telah sakit hatinya (qolbun marid).

 

  1. Ada orang yang sakit bisa berpuasa atas anjuran dokter yang sangat mahir dan beragama muslim, serta atas keyakinan dan keteguhan diri orang yang akan melakukan puasa. Dasarnya, konsultasi ke dokter dan keyakinan pasien.

 

Semoga bermanfaat khutbah ini. Amin. []

 

Semarang, 30 Maret 2022. Rencana akan disampaikan di Masjid Ulul Albab (MUA) Jumat, 1 April 2022. Materi ini pernah ditulis pada tanggal 6 April 2021 ditulis Di Rumah jam 03.00 – 03.30 WIB, kemudian dilanjutkan di Madrasah Aqidatul Awwam  jam 05.00 – 05.15 WIB.

• Wednesday, March 30th, 2022

Menghapus Kecemasan Hati

Oleh Nasaruddin Umar

 

Setelah Kajian Menata Diri selesai, kita lanjut pada kajian hati lainnya. Untuk kali ini mengkaji “Menghapus Kecemasan Hati”. Nabi Saw. dalam sabdanya menyebutkan: “Sesungguhnya Allah  telah menetapkan ketentuan-ketentuan atas makhluk-Nya lima puluh ribu tahun sebelum langit dan bumi diciptakan.” (HR. Muslim)

 

Demikian Nabi Muhammad Saw. jika yang menghidupkan, yang mematikan, dan yang memberi rezeki itu adalah Allah Swt., lalu mengapa ada rasa takut kepada sesama? Qadha itu sudah selesai diciptakan Tuhan, termasuk alam semesta ini telah selesai diatur, tidak ada sesuatu yang bergerak di dunia ini, kecuali atas izin Allah Swt.

 

Qadha merupakan ilmu Allah yang terdahulu, yang dengannya Allah menetapkan segala sesuatu sejak azali. Sedangkan qadhar, terjadinya penciptaan sesuatu sesuai ukuran dan timbangan perkara yang telah ditentukan sebelumnya. Qadha ketentuan yang bersifat umum dan global sejak zaman azali, sedangkan qadhar adalah bagian-bagian, mikro, dan perincian-perincian dari ketentuan tersebut. Jika beberapa gelas jatuh dari ketinggian tertentu maka qadhanya gelas-gelas itu pasti pecah, akan tetapi serpihan masing-masinggelas berbeda-beda satu sama lain. Pecahnya gelas-gelas yang jatuh merupakan qadha, tetapi serpihan pecahan masing-masing gelas berbeda-beda satu sama lain, itu disebut qadhar Allah Swt. berfirman: “dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula).” (QS. al-Anam [6]: 59)

 

Tidak gugur sehelai daun dari tangkainya melainkan sudah tercatat di Lauh Mahfuzh. Lalu mengapa harus risau, sedih, dan putus asa? Bukankah depresi, insomania dan abses merupakan akibat dari putus asa dan ketakutan yang berlebihan untuk jatuh dan gagal? Kekhawatiran, kecemasan, kegelisahan, dan ketakutan terhadap kemiskinan adalah bagian dari perdayaan setan kepada  manusia, sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran: “Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. al-Baqarah [2] 268)

 

Setan akan menakut-nakuti manusia jika banyak sedekah akan jatuh miskin. Sehingga setan memerintahkan sifat keji seperti bakhil, pelit, dan kikir. Karena itu, kita tidak perlu memperhatikan orang-orang yang menyebarkan berita bohong. Kecemasan hidup dan ketakutan menghadapi masa depan, seperti prakiraan-prakiraan akan terjadinya bencana dan ramalan-ramalan yang banyak mencemaskan kebanyakan orang, tidak lebih dari keyakinan-keyakinan yang tak berdasar. Nabi Saw. pernah mengingatkan kita:“ Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka jika ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya maka tanamlah.” (HR. al-Bukhari)

 

Yang penting bagi kita, serahkan segalanya perjuangan ini kepada Allah Swt, bukannya menyerahkan kemalasan dan keputusasaan kepada-Nya. Kita harus berusaha menghilangkan sikap ketergantungan kepada makhluk dan mengalihkan sepenuhnya kepada Allah Swt. Yang membuat kesuntukan dan kegusaran itu adalah sikap bergantung kepada orang lain, keinginan mencari simpati mereka, keinginan untuk dipuji, dan keinginan untuk  tidak dicela. Kalau kita sudah mulai memperbaiki jalan pikiran maka segalanya akan berubah. Kita perlu berusaha melapangkan hati. Jika hati sudah lapang maka semua problem menjadi kecil, seperti dikatakan oleh al-Mutanabbi dalam sebuah bait syairnya, “Masalah kecil menjadi besar di mata orang yang kecil, dan masalah besar menjadi kecil di mata orang besar.”

 

Selanjutnya, lawan diri sendiri. Hanya orang-orang yang berani melawan dirinya sendiri yang mampu merasakan ketenangan. Ketenangan bukan hanya miliknya orang kaya atau pejabat tetapi ketenangan juga bisa dirasakan oleh orang-orang miskin. Ketenangan lebih merupakan akibat daripada sebab. Ketenangan adalah pemberian (given/kasab) dari Tuhan. Ketenangan menyangkut urusan jiwa (state of mind). Uang, kekayaan, dan jabatan belum tentu menghadirkan ketenangan. Kenyamanan bisa dibeli di hotel berbintang, kelezatan bisa dibeli di restoran mewah, keindahan bisa disaksikan di obyek-obyek wisata, akan tetapi ketenangan tidak bisa dibeli dengan uang.

 

Orang-orang arif sering mengatakan bahwa puncak kebahagiaan adalah ketenangan batin. Tanpa kekayaan dan kebahagiaan batin maka sesungguhnya hanya kekayaan dan kebahagiaan semu.

 

Dengan demikian, kita tidak bisa memandang enteng orang miskin harta atau materi, sebab tidak sedikit diantara mereka yang menemukan kebahagiaan batin. Sebaliknya, kita juga tidak bisa takjub sepenuhnya kepada para pemilik kekayaan materi sebab itu belum tentu mereka merasa bahagia dan tenang. Manusiawi memang jika orang-orang menghendaki kedua-duanya, karena kita juga diajari doa oleh Allah Swt. Sendiri, Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina ‘adzabannar (Ya Allah anugerahkanlah kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat, dan jauhkanlah kami dari api neraka). Manusia ideal menghendaki  kebahagiaan dunia akhirat.

 

Adapun resep untuk melapangkan kalbu menurut para arifin ialah :1) Tauhid atau pengetahuan makrifah perlu terus dikembangkan, terutama pengetahuan tentang qadha dan qadr, yang menjadi bagian dari rukun iman kita, 2) Memperbanyak amal saleh, karena amal saleh mengokohkan keimanan dan kepercayaan diri, 3) Menumbuhkan keberanian dan ketegaran di dalam menjalankan prinsip, karena hanya dengan demikian kita bisa survive, 4) Melapangkan dada, karena hanya dengan berlapang dada kita akan tenang di dalam menghadapi tantangan dan permasalahan hidup, 5) Menjauhi tindakan berlebihan, walaupun itu boleh (mubah), baik dalam bicara, makan minum dan bergaul, 6) Senantiasa merenungi keindahan alam semesta ciptaan Allah Yang Maha Agung, untuk memperindah budi pekerti, melembutkan hati, dan mencerahkan  pikiran, dan yang paling penting ialah 7) Senantiasa mengingat Allah Swt (dzikrullah), karena dengan mengingat Allah maka hati akan tenang, seperti dijanjikan Allah di dalam ayatnya:“(yaitu ) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram,”(QS. ar-Ra’d [13]: 28).

 

Mari bersimpuh di hadapan Tuhan. Berdzikir, tafakkur, shalat, dan tadarus. Jika suasana batin dibiarkan berlalu menghabisi dan menyita sepanjang hidup kita, tanpa pernah diselingi dengan rasa faqir (miskin di mata Tuhan), apa lagi karena deposito dan kekayaan yang begitu melimpah sampai bisa diwarisi tujuh generasi, dikhawatirkan akan melahirkan generasi lemah (dha’if) di mata Allah. Bahkan tidak mustahil akan membebani kita di akhirat kelak. Kita perlu mengingat bahwa jika kehidupan di akhirat setara dengan 1000 tahunnya dunia, maka kalau ada orang dikaruniai usia 70 tahun maka itu artinya sekitar 3 menitnya akhirat. Maukah kita menukar hanya 3 menit dengan keabadian akhirat, masya Allah.

 

Semarang, 30 Maret 2022

Ditulis di Rumah jam 20.00-20.30 WIB.

 

Tulisan tersebut berasal dari: Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. 2021. Menjalani Hidup Salikin. Jakarta: Grasindo PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

• Wednesday, March 30th, 2022

E-Arsip Pembelajaran Digunakan di SMK Negeri 2 Kediri Untuk Pembelajaran OTKP

Oleh Agung Kuswantoro

 

Adalah Ibu Suryanti, S.Pd berasal dari SMK Negeri 2 Kediri, Jawa Timur yang telah dan masih menggunakan produk saya dan Trisna Novi Azhari dalam Pembelajaran Kearsipan Elektronik.

 

Ia/Ibu Suryanti, Alhamdulillah sangat aktif dan komunikatif sekali dalam menggunakan produk yang kami ciptakan tersebut.

 

Ia pernah meminta surat keterangan atau izin untuk digunakan dalam karya tulis Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan menggunakan produk e-arsip pembelajaran tersebut.

 

Ia juga membuat video tutorial dari produk e-arsip pembelajaran tersebut. Ia meminta pendapat saya terkait hasil video yang dibuatnya. Saya pun mengomentari video tersebut sebagai masukan materi, karena akan disebarluaskan melalui Youtube dan digunakan untuk pembelajaran siswanya. Jadi, konten/”pesan” dari video itu harus benar.

 

Pertemuan saya dengannya, dimulai saat ia mengikuti pelatihan e-arsip pembelajaran yang diselenggarakan di SMK Negeri 1 Magetan, Jawa Timur (tahun 2017).

 

Usai kegiatan tersebut, ia belajar secara mandiri dengan buku petunjuk/tutorial yang saya berikan saat pelatihan.

 

Saya sangat bersyukur sekali ada seorang guru yang menerima dan menyebarluaskan hasil penelitian saya tersebut. Semoga hasil/luaran penelitian saya tersebut memberikan kemanfaatan kepada sesama dan lembaga.

 

Semoga Ibu Suryanti tetap semangat untuk membikin konten-konten video e-arsip pembelajaran dan pembelajaran administrasi perkantoran yang lainnya. Sukses untuk Ibu Suryanti, S. Pd dan SMK Negeri 2 Kediri. []

 

Catatan: Alhamdulillah saya pun dapat surat keterangan dari Sekolah yang ditandatangani oleh Ibu Suryanti, S.Pd. dengan diketahui oleh Kepala Sekolah.

 

Semarang, 27 Maret 2022

Ditulis di Rumah, jam 18.20 – 18.35 WIB.

• Wednesday, March 23rd, 2022

Asas Penyimpanan Kearsipan

Oleh Agung Kuswantoro

Jum’at – Sabtu (18-19/2/2022) selama 8 jam, saya berdiskusi persuratan dan kearsipan dengan teman-teman dari KOPERTAIS IX (Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta Jawa Tengah. Ada 51 lembaga yang hadir. Saya dapat tugas dari UNNES bersama Pak Eko Febrianto (Arsiparis dan Koordinator Umum BUHK UNNES).

 

Diskusi yang sangat panjang itu pada intinya adalah membahas asas penyimpanan arsip. Dimana dimulai dari penciptaan arsip (baca: surat) yang diantara lembaga yang hadir belum memiliki tata naskah dinas. Padahal, Tata Naskah Dinas adalah “pintu gerbang” sebuah surat/arsip diciptakan dengan valid. Jika tata naskah dinasnya dalam suatu lembaga itu tidak ada, maka bisa dipastikan belum tertib dan rapi dalam pembuatan suratnya. Lembaga apapun, untuk mempunyai administrasi yang rapi, tertib dan akuntabel; hendaknya memulai dari “pintu gerbang” itu

 

Terlebih dalam KOPERTIS IX Jawa Tengah terdiri dari lembaga yang berbeda-beda. Ada yang pihak yayasannya kuat, sedang, dan lemah. Artinya: untuk mewujudkan suatu tata kelola persuratan dan kearsipan yang baik perlu didukung oleh sumber daya dan komitmen pimpinan yang kuat.

 

Nah, saya “menawarkan obat” atas permasalahan ini yaitu asas penyimpanan kearsipan (sentralisasi, desentralisasi, dan kombinasi). Dengan memahami asas-asas ini, harapannya tiap lembaga dapat mempraktikkanannya. Ambillah salah satu diantara ketiga asas tersebut. Pastinya, masing-masing asas penyimpanan arsip mamiliki kelebihan dan kelemahan.

 

Di sinilah letak kekuatan kita untuk mengukur kelebihan dan kelemahan lembaga kita. Lalu, ambil salah satu asas penyimpanan arsip yang sesuai dengan karakteristik lembaga kita. Coba saja melakukan dari hal yang kecil ini. Insya Allah dampaknya, luar biasa! []

 

Semarang, 23 Maret 2022

Ditulis di Rumah jam 13.00 – 13.15 WIB.

 

• Sunday, March 20th, 2022

Nikah (5): Bagaimana Memandang Perempuan yang Hampir Baligh dan Memandang Anak Perempuan Kecil?

 

Mari kita lanjutkan kajian kita. Setelah hukum memandang pada kajian ke-4 https://agungbae123.wordpress.com/2022/02/25/h-4-memandang/, kita belajar bersama mengenai memandang perempuan yang hampir baligh. Ada pertanyaan: “Bagaimana memandang perempuan yang hampir baligh?”

 

Menurut kitab Kifayatul Akhyar, ada perbedaan pendapat mengenai memandang perempuan yang hampir baligh. Ada mengatakan: memandang perempuan yang hampir baligh sama saja dengan memandang perempuan yang sudah baligh.

 

Laki-laki yang memandang perempuan dengan tidak ada syahwat, bagaikan memandangnya binatang jantan pada binatang betina dari jenis yang lain yang tidak bisa hubungan nikah, seperti: pandangan orang yang sudah sangat tua dan lain-lain.

 

Lalu, Bagaimana laki-laki memandang anak perempuan yang masih kecil? Imam Rafi’i mengatakan bahwa: hukum memandang anak perempuan yang masih kecil, diperselisihkan, dan pendapat yang benar: hukumnya boleh, asal tidak memandang kemaluannya.

 

Bagaimana hukumnya perempuan memandang laki-laki lain? Hal ini ada beberapa pendapat, yang benar menurut Rafi’i: perempuan boleh memandang laki-laki lain selain antara pusar sampai kedua lututnya.

 

Pendapat yang lain mengatakan: perempuan hanya boleh melihat tubuh laki-laki pada anggota tubuh yang mana laki-laki boleh melihat dari perempuan. Menurut Nawawy: Pendapat tersebut yang paling benar, sesuai dengan firman Allah: “Wa Qul Lilmu’minaati Yaghdludlna Min Ab-Shaarihinna”. Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya” (Qs. An-Nur: 31)

 

Sabda Nabi Saw: “Afa’amyaa Waani Antumaa Alastumaa Tubshiraa-Nihi. Artinya: “Apakah engkau buta apakah kamu tidak melihatnya?”

 

Pada intinya. Yuk, jaga pandangan mata kita. Mata agar berfungsi sesuai dengan fungsinya yaitu melihat yang sesuai yang dipandang. Wallahu ‘alam.

 

Semarang, 21 Maret 2022

Ditulis di Rumah, jam 05.00-05.20 WIB.

Sumber rujukan: Kitab Kifayatul Akhyar.

• Thursday, March 03rd, 2022

Masjid dan Saya
Oleh Agung Kuswantoro

Hari Raya Nyepi yang jatuh hari ini (3 Maret 2022), saya manfaatkan untuk berkunjung ke Rembang. Rembang adalah tempat daerah istri saya berasal.

Salah satu tempat yang saya sukai dari dulu hingga sekarang adalah Masjid/Musolla (saya menggunakan istilah Masjid untuk tulisan selanjutnya). Biasanya, saat saya pulang kampung di Pemalang, saya selalu menyempatkan pergi ke Masjid Agung Pemalang untuk salat berjamaah. Demikian juga, saat ini saya pulang ke Rembang, Alhamdulillah masih menyempatkan pergi ke Masjid Agung Rembang untuk salat berjamaah.

Salat Subuh adalah salah satu salat yang saya sukai. Saya selalu berusaha agar salat subuh bisa dilakukan berjamaah di Masjid. Saat salat subuh di Masjid Agung Pemalang, saya banyak bertemu dengan santri-santri Salafiyah Kauman Pemalang yang sedang berdikir menunggu salat subuh tiba.

Sedangkan, saat salat subuh di Masjid Agung Rembang, saya banyak bertemu jamaah—yang kebanyakan adalah warga kampung—duduk itikaf dan berdikir menunggu salat subuh tiba. Yang salat subuh banyak sekali, sampai parkir motor penuh.

Saya menikmati sekali, bacaan dan suara Imam salat subuh di Masjid Agung Rembang. “Adem”, rasanya dan tenang, hati saya. Semoga lain waktu, jika di Rembang bisa salat subuh berjamaah di Masjid Rembang. Demikian Bapak Ibu bisa selalu pergi ke Masjid untuk melaksanakan salat berjamaah. Karena, Masjid adalah rumah Allah. Menemukan Allah, ya di Masjid. Wallahu ‘alam.

Ditulis di Rembang, 3 Maret 2022, jam 06.00-06.20 WIB.

Catatan: tulisan ini bertujuan untuk menyemangati diri saya. Bukan maksud yang lainnya.

Keterangan gambar: Mubin dan Syafa ikut jamaah. Uminya sedang tidak salat, tapi ikut pergi ke Masjid.