Archive for ◊ July, 2021 ◊

• Tuesday, July 27th, 2021

Menjadi Orang Tua Bijak
Oleh Agung Kuswantoro

Pandemi Covid-19 menjadikan orang tua berkesempatan untuk berkumpul dengan anak yang di rumah. Kondisi pandemi Covid-19 yang mengharuskan mengurangi mobilitas dan mengurangi bekerja di kantor menjadikan orang tua melakukan aktivitasnya di rumah.

Demikian juga, anak yang sedang bersekolah mengharuskan Pembelajaran Jarak Jauh/PJJ, sehingga dapat dilakukan di rumah. Bertemunya antara orang tua dan anak di rumah saat pandemi Covid-19 adalah momentum yang “langka” bagi kedua orang tuanya yang sibuk bekerja. Saat inilah, waktu yang tepat agar menjadi orang tua yang bijak.

Adalah Ayah Edi yang mengajarkan kepada kita agar orang tua dalam mendidik tanpa ada teriakan dan bentakan. Kurangilah marah. Kalau bisa: Jangan marah. Adapun efek oroang tua yang marah yaitu: (1) menyebabkan tekanan darah; (2) “ledakan” marah memperbesar resiko serangan jantung; (3) resiko strok meningkat; (4) merusak paru-paru; (5) memicu stres dan kesedihan; (6) depresi; dan (7) memperburuk gangguan kecemasan (hal. 45-46).

Oleh karenanya dalam masalah marah, perlu ada manajemennya. Ada istilah anger management. Rumus dari anger management adalah pikiran, ucapan, dan respon harus baik. Ketika pikiran buruk, maka kalimat yang diucapkan menjadi buruk, kasar, dan menyakitkan. Dampaknya, respon orang yang mendengar menjadi negatif atau perbuatan yang menimbulkan konflik.

Setiap orang tua harus mengetahui, memahami, dan mempraktikkan anger management yang baik. Dimulai dari sesuatu yang baik. Minimal, pikirannya. Karena, pikiran akan berdampak pada perbuatan dan ucapan. Perbuatan adalah sesuatu yang dapat dilihat orang lain. Demikian juga, ucapan adalah sesuatu yang didengar oleh orang lain. Dampak dari pikiran, perbuatan, dan ucapan adalah respon atau reaksi orang lain dari apa yang dipikirkan, diperbuat dan diucapkan tersebut.

Menjadi orang tua yang bijak selain dengan memahami anger management, juga dapat dilakukan dengan komunikasi yang efektif antara anak dengan orang tua. Komunikasi yang baik dapat dilihat dari kalimat yang disampaikan orang tua kepada anak. Minimal orang tua menggunakan kalimat penghargaan dan penguatan.

Contoh kalimat penghargaan: “Wah, bagus sekali kamu melakukan itu”; “Terima kasih, kamu sudah menepati janji”; Papa berterima kasih, kamu mau berusaha”; “Mama bahagia, kamu sudah mau berubah”: “Papa bangga karena anak Papa berani jujur; dan kalimat-kalimat penghargaan lainnya.

Contoh kalimat penguatan: “Mama yakin kamu mampu mengatasinya. Tidak perlu khawatir”; Hati kecil Mama yakin kamu itu anak yang baik. Soalnya, sewaktu kecil kamu itu baik sekali”; “Anakku, tidak ada orang yang berhasil tanpa pernah gagal”, dan kalimat-kalimat penguatan lainnya.

Orang tua juga harus menghindari kalimat-kalimat negatif kepada anak, karena kalimat negatif akan meninggalkan kesan dan luka yang lama pada diri seorang anak. Bahkan, bisa jadi tertanam dalam benaknya sepanjang hidup (hal. 66).

Contoh kalimat negatif: “Begitu saja gak bisa, kamu bisanya apa sih?”; “Dasar anak bandel! Anak nakal! Ngak pernah nurut sama orang tua!”; “Sudah dibilangi berkali-kali, ngak berubah. Mau jadi apa, kamu nanti?”, dan kalimat-kalimat negatif lainnya.

Ada dua “kunci” agar kita menjadi orang tua yang bijak, tidak marah, dan membentak kepada anak adalah (1) mampu me-manage/mengelola marah dan (2) komunikasi yang efektif. Sekali lagi pikiran orang tua harus baik dulu terhadap anak, lalu katakan (baca:komunikasikan) yang lembut kepada anak. Semoga kita menjadi orang tua yang bijak itu. Amin. [].

Semarang, 23 Juli 2021
Ditulis di rumah, jam 19.00-19.30 WIB.

• Sunday, July 18th, 2021

 

Berpikir/Merenung, lalu Mengetahui
Oleh Agung Kuswantoro

Saya termasuk kategori orang bodoh—usai sahur puasa sunah ‘arofah—membuka kamus al-Munawwir, sekadar membuka makna tarwiyyah dan arofah. Dua nama yang dijadikan puasa sunah dalam menyambut hari raya Idul Adha.

Tarwiyyah berasal dari kata tarowwa yang artinya sama dengan merenung/berpikir. Seakar dengan kata tafakkaro. Kemudian, ‘arofah artinya mengetahui.

Sederhananya, maknanya adalah pada tanggal 8 Dzulhijjah Nabi Ibrohim sedang merenung/berpikir mengenai mimpinya untuk menyembelih putranya/Nabi Ismail. Setelah perenungan/pemikiran yang matang, baru pada tanggal 9 Dzulhijah Nabi Ibrohim mengetahui bahwa mimpinya, ternyata berasal dari Setan.

Kemudian, pada tanggal 10 Dzulhijjah dinamai hari “Nahr” atau “Adha” yang bermakna menyembelih. Karena pada hari atau tanggal tersebut Nabi Ismail/putranya disembelih. Lalu, pada tanggal 11,12,dan 13 Dzulhijjah dinamakan hari Tasyriq. Tasriq – tanpa tasydid pada ro—asal kata syaroqo yang berarti terbit. Sedangkan, tasriq – dengan panjang huruf ro—dimana masdar dari syarroqo yang bermakna pendendengan/dendeng/daging.

Artinya, setelah tanggal 10 Dzulhijjah disembelih, lalu hewan dagingnya dibuat dendeng/daging dijemur dibawah terik terbit matahari/terbit. Tujuannya biar dimasak, sehingga pada ketiga hari itu (11,12, dan 13 Dzulhijjah) dilarang berpuasa. Tujuannya agar makan dendeng yang dijemur di bawah terik terbit matahari.

Kurang lebih itu makna “kasar” secara bahasa Arab dari saya yang masih “miskin” ilmu. Mohon masukannya. Tetap semangat berpuasa sunah ini, karena hanya orang tertentu yang melakukan ibadah sunah ini. Semoga Allah mempermudah puasa dan menerima ibadah puasa sunah ini. Amin. [].

Semarang, 19 Juli 2021
Ditulis di Rumah jam 04.00-04.20 WIB.

• Friday, July 16th, 2021

Beragama “Intelek”
Oleh Agung Kuswantoro

Pada saat Pandemi Covid-19 dan PPKM (Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) “Darurat” tanggal 3 Juli hingga 20 April 2021, ada beberapa yang harus kita tanggapi dengan jiwa beragama intelek. Beragama intelek itu beragama yang menggunakan akal “sehat” dan hati. Sederhananya, memahami kondisi saat ini dan taat pada imam.

Siapakah imam di Negara/masyarakat ini? Jika keadaan darurat, jelaslah bahwa imamnya adalah pemerintah.

Bisa jadi dikalangan ustad dan umat Islam menerima keadaan Covid-19 ini sangat berbeda pendapat. Misalkan, Masjid tidak menyelenggarakan solat jamaah selama PPKM. Di lapangan/faktanya, ada Masjid yang tidak menyelenggarakan solat jamaah dan menyelenggarakan solat jamaah.

Jika kondisi seperti itu, bagaimana sikap kita? Jadilah muslim yang “intelek”. “Ujung” dari islam intelek adalah beragama secara “intelek”. Muslim “intelek” selalu menggunakan ilmu dalam bernalar/berpikir. Dalil al-Qur’an, hadist dan ilmu-ilmu lain dalam agama menjadi rujukan. Bukan, semata-mata pendapat pribadi.

Misalkan: MUI/Majlis Ulama Idonesia. MUI adalah sebuah majelis – bukan individu – perorangan yang didalamnya ada ahli fiqih, tauhid, filsafat, sosial, tarikh dan ahli-ahli lainnya.

Orang yang ahli-ahli ini berkumpul dan menyampaikan pandangannya, sesuai dengan dalil yang jelas/valid satu sama lain, sehingga muncullah satu kesepakatan. Dimana, kesepakatan ini menjadi rujukan umat Islam dalam menjalankan suatu perbuatan.

Salah satu hasil keputusan MUI, diantaranya: Masjid tidak menyelenggarakan solat jamaah saat PPKM. Alasannya, yaitu beragama mementingkan keselamatan. Sebagai muslim dan orang yang “bodoh”, maka taat adalah sebuah kewajiban. Termasuk pengurus Masjid, agar tidak menyelenggarakan solat jamaah di Masjid adalah sebuah pilihan yang tepat.

Lalu, muncul pertanyaan, “Mengapa tidak menyelenggarakan solat jamaah di Masjid, sedangkan Pasar dibuka? Sederhana jawabannya seperti ini: karena semua aktivitas di Masjid dapat dilakukan di Rumah. Sedangkan tidak semua aktivitas di Pasar bisa dilakukan di Rumah.

Sholat Ied, bisa dilakukan di Rumah. Sholat Jum’at, bisa diganti sholat Dhuhur di Rumah, sholat jamaah/fardu bisa dilakukan di Rumah. Dan, mengaji pun bisa dilakukan di Rumah.

Namun, aktivitas jual beli antara pembeli dan penjual belum tentu bisa dilakukan di Rumah. Beli gas, gasnya belum tentu di Rumah. Beli beras, berasnya belum tentu di Rumah. Dan, beli onderdil mobil/motor, belum tentu onderdil mobil/motor di Rumah juga, ada. Itulah, mengapa Pasar/Toko tetap buka pada masa PPKM.

Dengan demikian, jadilah/berkeinginanlah menjadi muslim yang “intelek”. Sabar, ilmu, dan menjadi ciri khasnya menghadapi sesuatu dapat secara logis dan tenang. Selain itu, menghormati setiap pendapat orang lain. Ia tidak menganggap pendapat dirinya paling benar. Waallahu ‘alam. []

Semarang, 11 Juli 2021
Di tulis Di Rumah jam 05.00 – 05.20 WIB.

• Thursday, July 15th, 2021

 

Menjadi Guru Sejati
Oleh Agung Kuswantoro

Masa usai Pandemi Covid-19 yang belum pasti kapan berakhir menjadi perhatian dalam pendidikan. Khususnya, pendidikan tingkat dasar (SD). Di mana, siswanya yang notabene anak-anak masih suka bermain dan bersosialisasi dengan lingkungan.

Pembelajaran daring tidak menjamin siswa (baca:anak) itu bisa memahami materi. Bisa jadi, sangat membosankan pembelajaran daring selama hampir dua tahun. Malahan di daerah tertentu, pembelajaran daring tidak bisa berjalan dengan baik. Di mana, orang tuanya ke sekolah untuk ambil soal.

Hal yang sangat membutuhkan perhatian dari kita sebagai orang tua adalah menggantikan guru di kelas menjadi guru di rumah. Adalah orang tuanya yang menjadi guru di rumah. Orang tua adalah guru sejati buat anaknya. Kehadiran orang tua di rumah itu pasti, tanpa melalui zoom meeting.

Pengalaman belajar yang hilang di sekolah, bisa digantikan di rumah. Terlebih, saat sekarang masa PPKM darurat, dimana ASN di sektor non esensial di wilayah PPKM darurat 100% WFH menjadi kesempatan agar menjadi guru sejati untuk anaknya: anak bisa bermain dengan orang tuanya, komunikasi yang intens antara orang tua dengan anak, dan yang paling penting adalah anak bisa memahami bahwa orang yang paling dekat dalam kehidupan anak adalah orang tuanya.

Sejatinya, pengalaman belajar itulah yang harus diperoleh oleh anak dalam masa pandemi Covid-19. Anak jangan sampai menemukan guru berupa youtube, game, dan aplikasi yang kurang memberikan pendidikan. Jangan sampai pula, komunikasi antara orang tua itu, berlangsung singkat di rumah selama 10 menit saja. Sedangkan, “komunikasi” anak dengan hp/komputer/tablet itu hingga berjam-jam dengan materi “game” yang tidak bermakna sama sekali.

Jika orang tua sebagai guru sejati di rumah selama Pandemi Covid-19, maka anak akan menemukan seorang sosok pendidik yang tepat dalam kehidupannya, mulai dari subuh hingga malam. Sejatinya orang tualah yang menjadi guru mereka, bukan HP/laptop/game/youtube/aplikasi yang tidak mendidik. Semoga kita semua menjadi guru sejati buat anak. Andalah guru sejatinya. Siapa lagi, jika bukan Anda? [].

• Tuesday, July 13th, 2021

 

Corona: Siksa/Adzab Atau Ujian?
Oleh Agung Kuswantoro

Corona turun ke planet—yang bernama Bumi—atas kehendak Allah SWT. Allah SWT mengizinkan Corona “berjalan” dan “terbang” di muka bumi ini yang terhampar luas. Lalu, muncul pertanyaan: “Mengapa Allah SWT menghendaki turun ke bumi? Dan, menyilahkan beberapa makhluk yang lain (merasa) terganggu, seperti sakit dan ada yang meninggal dunia? Kemudian, apakah itu adzab atau ujian bagi orang yang beriman?

Mari kita diskusikan dari pertanyaan di atas, satu persatu. Pertama: “Mengapa Allah SWT menghendaki turun ke bumi? Jawabnya: “Karena, Allah SWT Maha Kuasa”. Allah SWT Maha Segala-galanya. Tidak ada yang berkuasa, selain Allah. Bumi itu kecil di mata Allah. Termasuk, kemampuan atau kepandaian manusia itu sangat kecil.

Corona itu makhluk Allah SWT yang diturunkan ke bumi. Sama seperti mahkluk lainnya: ada hewan, tumbuhan, manusia, dan makhluk yang tidak terlihat/goib (setan, jin, dan malaikat).

Kedua, “Mengapa Allah menyilahkan beberapa makhluk yang lain (merasa) terganggu, seperti sakit dan ada yang meninggal dunia atas kehadiran Corona?” Jawabnya: “Karena, Allah SWT mengetahui bahwa makhluk yang lain –termasuk manusia—adalah makhluk yang kuat”. Kekuaatan fisik dan akal manusia mampu menyelesaikan terhadap kahadiran Corona. Manusia mampu membuat membuat vaksin atau obat “penangkal” Corona.

Selain itu, manusia memiliki Tuhan yaitu Allah SWT yang sangat “mendengarkan” doa-doa hamba/makhluknya terhadap permasalahan kehadiran Corona. Artinya, melalui doa yang dipanjatkan kepada Allah SWT, muncul rasa optimis dalam diri manusia tersebut. Manusia tersebut tidak pasrah “bongkokan”. Namun, manusia tetap berusaha dalam menyelesaikan permasalahan Corona.

Terakhir, ketiga: “Apakah kehadiran Corona itu adzab atau ujian bagi orang yang beriman?” Jawabannya: “ujian”. Ujian berlaku bagi semua manusia yang beriman dan tidak beriman. Orang yang solat dan tidak solat bisa terkena Corona. Orang yang beragama selain Islam, bisa kena Corona.

Allah SWT yakin melalui ujian—berupa Corona—manusia akan menjadi kuat. Kuat badan dan fisiknya. Manusia akan tidak mudah sakit. Sehingga, muncul “gaya” hidup sehat, pola makan teratur, dan istirahat yang cukup, serta meningkatkan ibadah.

Jika Corona sebagai adzab/siksa, maka Allah SWT akan menyelamatkan orang-orang beriman dulu. Layaknya, umat Nabi Nuh AS yang diselamatkan terlebih dahulu dari bahaya banjir bandang dengan membuat kapal besar, walaupun di musim panas yang terik matahari. Umat Nabi Nuh AS yang beriman diselamatkan dulu oleh Allah SWT. Sedangkan, umat/masyarakat yang tidak beriman kepada Allah SWT, termasuk anak Nabi Nuh AS itu tidak selamat dari musibah banjir bandang.

Melalui tulisan ini, mari kita menjadi pribadi yang bersyukur kepada nikmat Allah SWT. Anggaplah Corona itu ujian yang diturunkan kepada Allah di muka bumi ini. Tugas kita adalah optimis, berusaha, dan berdoa agar permasalahan Corona cepat terselesaikan dengan keterlibatan dan seizin Allah SWT. Amin. [].

Semarang, 13 April 2021
Ditulis di Rumah disela-sela Bekerja Dari Rumah (BDR), jam 08.30-08.45 WIB.

• Sunday, July 04th, 2021

Menjadi Guru Sejati Untuk Anak

Oleh Agung Kuswantoro

 

Tiap usai solat subuh, saya membiasakan kepada anak saya (Mubin dan Syafa) untuk Madrasah di rumah. Otomatis, gurunya adalah saya. Fokus materi yang saya sampaikan kepadanya adalah materi-materi dari Madrasah yang pernah saya terima dari Madrasah Hidayatussibyan Pemalang dan beberapa referensi (kitab) tambahan yang belum pernah saya dapatkan di Madrasah di daerah kelahiran saya tersebut. Untuk referensi tambahan, saya mencari kitab di toko kitab (Toha Putra Johar Semarang).

 

Sederhananya, seperti ini. Senin materinya fiqih dengan kitab Safinatunnajah, Selasa materinya tauhid dengan kitab ‘Aqidatul Awwam, Rabu materinya akhlak dengan kitab Akhlaqulilbanin, Kamis materinya tarikh dengan kitab Tarikhunnabi Muhammad, Jumat libur, Sabtu materinya Imla dengan kitab Belajar Kaligrafi Arab, dan Ahad materinya review dari semua materi yang telah disampaikan.

 

Waktunya tidak banyak dalam menyampaikan, sekitar 15 menit saja. Media yang saya gunakan adalah buku tulis untuk membuat bagan atau “corat-coret” dalam keterangan/penjelasan. Misal membuat silsilah Nabi Muhammad, arah cara menulis huruf hijaiyah, dan keterangan-keterangan lainnya.

 

Bagi saya, orang tua adalah guru sejati anak. Terlebih di masa Pandemi Covid-19 ini, dimana semua pembelajaran dilakukan secara zoom meeting/online. Salah satu kelemahan pembelajaran daring ini adalah hilang pengalaman belajar seperti santri/siswa tidak merasakan menulis, membaca dengan lantang, bersosialisasi dengan teman, dan berkomukasi dengan guru, dan pengalaman belajar lainnya.

 

Nah, jika tidak orang tua sebagai guru sejati untuk anak, lalu siapa yang akan menjadi guru (ngaji/madrasah) dimana madrasah/tempat ngaji masih tutup? Jika kita (baca:orang tua} belum mampu menjadi guru sejati karena belum mampu secara materi, menurut saya tidak masalah karena sumber belajar di masa teknologi yang canggih ini mudah didapat. Yuk, menjadi guru sejati buat anak-anak kita. Sekali lagi: “Siapa lagi, jika bukan kita?” Waallahu ‘alam. [].

 

Semarang, 4 Juli 2021

Ditulis di Rumah jam 05.05-05.15 WIB.