Archive for ◊ October, 2021 ◊

• Monday, October 11th, 2021

 

Menata Diri (4): “Memupuk” Kecerdasan Spiritual
Oleh: Agung Kuswantoro

“Dari Abu Hurairah ra, berkata: “Rasulullah SAW bersabda, bukanlah kaya itu karena memiliki banyak harta, tetapi kaya yang sejati adalah kekayaan batin (HR. Abu Turmudzi).

Kecerdasan spiritual merupakan potensi terpendam yang dimiliki oleh setiap orang. Potensi itu seharusnya tetap dipelihara dan “dipupuk” kualitasnya agar kualitas rohani selalu meningkat.

Cara termudah “melihat” kecerdasan spiritual dalam diri seseorang adalah kebahagiaan diri orang tersebut. Kebahagiaan akan tampak saat seseorang merespon segala sesuatu.

Ada orang merasa bahagia, saat diberi rizki kecil. Sebaliknya, ada orang yang susah saat diberi rizki besar.

Ada orang yang “tersiksa” dengan musibah kecil. Sebaliknya, ada orang yang “enteng” dengan musibah besar.

Arti kejadian diatas adalah bahagia–kecewa, gembira–sedih, dan tersiksa–enteng itu ditentukan oleh suasana batin seseorang.

Spriritualitas yang cerdas tidak pernah terbebani oleh musibah atau kesulitan lainnya. Karena, kita yakin, bahwa musibah/kesulitan itu cara Allah untuk “mengasihi” kita. Bisa dikatakan musibah dan “kepahitan” hidup adalah “surat cinta” Allah kepada kita.

Tak selamanya kekayaan, kemewahan, dan kecukupan itu mendekatkan diri kepada Allah. Dan, tidak ada jaminan saat kaya akan bahagia. Lihatlah hadist pada paragraph pertama. Artinya, kekayaan batinlah yang bisa mendekatkan diri kepada Allah.

Cara agar bisa “memupuk” kecerdasan spiritual adalah menjaga pola hidup yang istiqomah dengan visi spiritual. Visi ukhrawi harus diutamakan sebagai tujuan hidup. Nabi Muhammad Saw dan sahabatnya selalu meletakkan urusan agama di atas segalanya. Kata Nabi Muhammad Saw: “hidup di dunia itu seperti musafir yang beristirahat sebentar di bawah pohon, lalu melanjutkan perjalanan kembali”.

Sebagai penutup, saya mengutip Prof. KH. Nasaruddin Umar (hal. 21): “Orang yang tingkat kesadaran spiritualnya tinggi, itu lebih memilih kehilangan lahiriah daripada kekayaan batin. Kalbunya dipenuhi cahaya makrifat. Jika kalbu sudah dipenuhi cahaya makrifat, maka tidak ada tempat untuk menggundah persoalan duniawi”.

Semoga apa yang disampaikan oleh Prof. KH. Nasaruddin Umar tentang orang yang berkesadaran spiritual tinggi itu, kita. Kitalah orang yang kaya batin, itu. Semoga! Amin. []

Semarang, 10 Oktober 2021
Ditulis di Rumah jam 04.00 – 04.35 WIB.

• Saturday, October 09th, 2021

Menata Diri (3): Meningkatkan/Meng-upgrade Kesadaran Rohani
Oleh Agung Kuswantoro

Rasulullah SAW bersabda, “Senantiasalah memperbaharui keimanan kalian”. Lalu ada yang bertanya, “Wahai, Rasulullah: bagaimana kami memperbaharui iman kami? Dengan terus mengikrarkan “La ila hailla Allah”. (HR. Ahmad).

Penekanan judul di atas adalah sadar dulu, bukan melakukan. Sadar adalah langkah awal seseorang untuk melakukan sesuatu. Saat sadar, orang akan mudah melakukan perbuatan yang terbenak dihatinya.

Sadar itu bertingkat. Para ahli mengatakan: ada kesadaran yang paling rendah yaitu sadar (to wake up) dan kesadaran yang paling tinggi yaitu sadar (to remain/baqi).

Kesadaran yang paling rendah/wake up, contohnya: bangun tidur. Sedangkan kesadaran yang paling tinggi/to remain/baqi, contohnya: hidup “khusuk” abadi dengan Allah Swt.

Karena kesadaran itu bertingkat dan sifat rohani itu tidak stabil (baca: naik turun), maka sebagai mukmin perlu meningkatkan kesadaran hati/kalbunya. Hatinya dulu disadarkan. Karena, hati memiliki sifat naik turun. Tidak konstan. Sehingga dalam bahasa Arab, “hati” dinamakan kalbu. Karena, sifatnya yang cepat berubah.

Hadist pada paragraf awal menuntun kita, agar selalu mengikrar “Tiada Tuhan selain Allah”. Silakan dimaknai sendiri penerapan dalam kehidupan kita. Jika saya memaknainya yaitu: Allah selalu hadir dalam kehidupan kita. Apa pun aktifitasnya. Kehadiran Allah dalam hati seseorang adalah awal dari sebuah kesadaran.

Sama-sama sadar bagun tidur. Tapi, ada orang yang bangun tidur, langsung ambil wudhu untuk melakukan solat Tahajud. Tapi, ada pula orang yang bangun tidur hanya pindah kamar, lalu tidur lagi. Sadarnya sama, tapi “nilainya”, berbeda.

Ciri orang yang selalu meningkatkan kesadaran adalah adanya perubahan dari atas ke bawah (top – down). Bukan, dari bawah ke atas (bottom up). Cirinya: dapat dilihat hubungan sesama manusia (hablumminannas) baik dan hubungan dengan Allah, juga baik (hablumminallah).

Ciri lain orang yang kesadarannya meningkat adalah memiliki sikap reaktif dan proaktif. Artinya: setiap ada permasalahan, orang yang memiliki kesadaran tinggi, akan mencari solusi secara aktif dan mengumpulkan segala potensinya untuk menyelesaikannya. Ia tidak menyalahgunakan keadaan orang sekitar. Ia tidak marah-marah dengan keadaannya. Ia selalu optimis dengan menggunakan kalimat positif (misal: Alhamdulillah), meskipun dalam kesusahan. Ia selalu menjadikan dirinya “sentral“ (baca: produsen) yang berperan aktif dalam setiap saat. Ia tidak memposisikan dirinya sebagai “user”/pengguna dari apa yang ingin dicari/didapat. Ia lebih menggunakan pendekatan emotion (baca: sikap yang baik) bukan emotionalism (baca: paham keemosian yang negatif) dalam situasi apa pun.

Dari tulisan di atas, mari kita merenung kembali: apakah selama ini sudah sadar? Saat sadar: yang sadar hati/kalbu atau otak/fisik? Adakah perubahan kesadaran rohani Anda? Jika ada: apa yang Anda rasakan? Wa alallahu ‘alam.

Semarang, 8 Oktober 2021
Ditulis di Rumah jam 03.00 – 03.30 WIB.

• Friday, October 08th, 2021

Menata Diri (1): Niat Baik
Oleh Agung Kuswantoro

“Sesungguhnya nilai amal itu ditentukan oleh niat dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Niat ada dalam hati. Niat terbaik adalah yang ditujukan kepada Allah Swt. Itulah yang membedakan perbuatan manusia (human creations) dan perbuatan hewan (animal creations).

Perbuatan binatang, tanpa melibatkan niat. Sedangkan, perbuatan manusia melibatkan niat. Niat “spiritualitas” inilah yang harus dicari oleh seorang mukmin. Ciri perbuatan yang ada niatnya adalah perencanaan yang matang. Karena niat adalah sifat hati/kalbu. Sifat hati lebih kuat dari perbuatan. Sejatinya perbuatan membersihkan hati agar mengenal Allah Swt.

Niat adalah konsep matang dan penuh kesadaran dalam diri mengenai perbuatan yang akan dilakukan. Berarti dalam niat ada perencanaan/programming yang baik. Pakar ilmu menajemen mengatakan suatu pekerjaan tanpa perencanaan yang baik (baca: niat), maka sulit untuk mendapatkan output dan outcome terbaik.

Sebagai penutup saya mengutip tulisan Prof. KH. Nasaruddin Umar (2021, hal. 5) yaitu: mengilustrasikan/mencontohkan perbuatan hubungan suami istri yang tidak melibatkan niat dan spiritualitas, melainkan hanya nafsu semata, maka sesungguhnya yang berhubungan suami istri itu adalah binatang (animal sexuality/seksualitas hewan). Akibatnya pun bisa ditebak bahwa yang lahir dari perbuatan itu adalah “anak binatang”. Jangan selalu menyalahkan anak-anak remaja sekarang diwarnai dengan tawuran dan perkelahian karena mereka/remaja itu adalah produk animal working/pekerjaan hewan. Apapun produk animal working/pekerjaan hewan akan berpotensi merugikan orang lain. Sungguh hewan yang bekerja (baca: suami istri tersebut) menguntungkan diri sendiri.

Marilah “luruskan niat” baik kita. Sekali lagi harus lurus dan benar. Jangan sampai “perbuatan hewan” ada dalam diri kita. Karena kita memiliki niat spiritual yang kuat. Dimana, Allah Swt adalah tujuan kita untuk bersandar. []

Semarang, 5 OKtober 2021
Ditulis di Rumah jam 04.30 – 05.00 WIB.

Sumber rujukan: Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar. 2021. Menjalani Hidup Salikin. Jakarta: penerbit Gramedia PT Widiasarana Indonesia.

• Friday, October 08th, 2021

Menata Diri (2) Membangun Visi Ukhrawi
Oleh Agung Kuswantoro

“Dan sesungguhnya kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (QS. al-‘Arof : 179).

Berdasarkan kalimat di atas kalimat lahum qulubuhum layafqahuna biha (mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami) para ulama bersepakat, bahwa tempat dan pemahamannya adalah kalbu/hati, bukan di otak.

Ketika kalbu manusia “mati”, maka secara langsung perbuatan manusia tidak berakhlak mulia. Ia/manusia tidak memahami kemampuan/kekuasaan Allah. Ia pandai, tapi tak “bernilai”. Ia hebat, tapi “rusak” hatinya. Ia seperti hewan ternak.

Hewan ternak memiliki lima indera, bahkan mampu menggunakan akalnya. Saat, kepanasan, hewan ternak berteduh. Saat lapar, hewan ternak mencari makan. Hewan ternak tidak memiliki kalbu. Oleh karenanya, manusia yang tidak mampu menggunakan hati itu, seperti hewan ternak.

Sebagai orang mukmin agar hidup terarah, harus memiliki road map/”peta jalan” kehidupan yang jelas. Ia/mukmin mau hidup jangka panjang yaitu akhirat, sebagai “terminalnya”. Bukan hidup yang berjangka pendek, dengan dunia sebagai tujuannya.

Lalu, bagaimana caranya? Buatlah visi batin dalam diri Anda. Visi batin adalah tempat menampilkan pelayanan sepenuhnya sebagai hamba dan pemimpin. Visi batin jangkanya sangat panjang, tidak hanya kematian. Visi batin akan terus hidup dan memberi fokus bagi seluruh proses (Nasaruddin Umar, hal. 9).

Sebagai penutup, kita adalah orang yang luar biasa. Kita mampu membuat sesuatu yang fantastik dan mampu menghancurkan “hambatan” yang mustahil. Namun, gunakanlah visi batin kita yaitu: kekuatan kalbu untuk mencapai tujuan hidup yang panjang.

Bervisilah ukhrawi, jangan bervisi duniawi. Jika kita bervisi duniawi saja, maka kita sama seperti hewan ternak. Ciri khas orang yang bervisi ukhrawi adalah mampu mengelola kalbu/hatinya dengan baik. Ingat, ilmu itu harus bersumber kepada Allah SWT. Waallahu ‘alam []

Bersambung
Semarang, 7 Oktober 2021
Ditulis di Rumah jam 04.15 – 04.30 WIB.