Archive for ◊ February, 2022 ◊

• Friday, February 25th, 2022

Nikah (4): Memandang

 

Lanjutan kajian kitab Kifayatul Akhyar bab Nikah yang kemarin: https://agungbae123.wordpress.com/2022/02/12/nikah-3-hukum-nikah/

 

Pandangan mata orang laki-laki terhadap perempuan dan perempuan terhadap laki-laki terbagi menjadi 7 macam, yaitu:

 

  1. Memandang orang lain tanpa ada keperluan.
  2. Memandang kepada muhrim.
  3. Memandang kepada istri (suami) dan hambanya.
  4. Memandang dengan maksud untuk menikah.
  5. Memandang untuk mengobati.
  6. Memandang untuk kesaksian atau pergaulan.
  7. Memandang kepada budak untuk dibelinya.

 

Memandang orang lain tanpa ada keperluan

Laki-laki dan perempuan yang sudah baligh dalam saling memandangnya ada 2 kemungkinan, yaitu: karena ada keperluan dan tidak ada keperluan.

 

Laki-laki memandang perempuan (lain) ada dua macam, yaitu:

  1. Laki-laki yang bersyahwat
  2. Laki-laki yang tidak bersyahwat

 

Adapun laki-laki yang bersyahwat memandang perempuan (aurat) tanpa ada keperluan mungkin mendatangkan fitnah dan mungkin tidak. Pandangan yang akan membawa fitnah hukumnya haram, baik memandang pada aurat, tapak tangan, atau wajahnya (perempuan).

 

Tetapi kalau pandangan mata itu tidak membawa fitnah, hukumnya diperselisihkan, dan yang benar: haram. Demikian pendapat Ishtakhary, Abu Ali Aththaabary, dan lain-lain. Mereka berpendapat bahwa : “memandang”  itu mengakibatkan fitnah, menggerakkan syahwat, dan agama menutup pintu (maksiyat) itu jangan sampai situasi menjadi terlanjur sebagaimana diharamkannya bercumbu rayu dengan orang lain. Pendapat ini berdasar firman Allah: ‘Qul Lilmu’miniina Yaghudldluu Min Abshaari Him Wa Yahfadhuu Furuujahum”. Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya” (Qs: an-Nur: 30).

 

 

Bersambung.

 

Semarang, 26 Februari 2022

• Tuesday, February 22nd, 2022

Menjaga Hati (2): Memikrajkan Kalbu dengan Ibadah Malam

Oleh Nasaruddin Umar

 

Alhamdulillah kita semua masih diberi panjang umur, sehat, dan diberi kelancaran dalam urusan kehidupan. Mari saatnya mengaji agar hidup lebih berarti. Ada dua kajian yang biasa saya bagi yaitu kajian fiqih (bab nikah) dan kajian akhlak (tentang hati).

 

Untuk kajian ini bertema akhlak. Masih melanjutkan kemarin yaitu menjaga hati. Saya kaitkan dengan bulan Rajab, dimana ada peristiwa Isra Mikraj. Pemahaman kita selama ini Mikraj diartikan sebagai perjalanan lahir dan batin Nabi Saw. dari Masjidil Haram ke Sidratul Muntaha setelah transit di Masjid al-Aqsha, sebagaimana disebutkan dalam ayat: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sungguh Dialah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui”. (QS. Al-Isra’: 1)

 

Dalam kaidah Ulumul Qur’an dikatakan, apabila ada satu surah atau ayat yang diawali dengan kata subhana atau tabaraka yang berarti “Maha Suci Tuhan”, maka ayat atau surah itu menunjukkan adanya keajaiban didalamnya, yang tidak cukup hanya dianalisis secara rasional tetapi dibutuhkan penghayatan dan perenungan lebih mendalam.

 

Banyak hal yang menarik untuk dikaji mengenai keberadaan ayat tersebut di atas. Selain diawali dengan kata subhana, ayat ini juga kemudian dipilih menjadi nama surah (surah alIsra’). Surah al-Isra’ diapit oleh dua surat yang serasi yaitu surah an-Nahl dan surah al-Kahf. Surah an-Nahl sering diangkat sebagai simbol kecerdasan rasional, karena didalamnya diungkapkan menghasilkan madu sebagai obat mujarab untuk berbagai penyakit yang masih menyimpan berbagai misteri didalamnya. Sedangkan surah al-Kahf, yang biasa disebut surah kecerdasan spiritual, karena didalamnya digambarkan berbagai cerita yang menantang keyakinan dan spiritualitas kita, misalnya kisah Nabi Khidhir dan Nabi Musa yang penuh dengan tantangan.

 

Sementara surah al-Isra’ sendiri sering dijadikan simbol kecerdasan emosional karena didalamnya  diceritakan pengaruh kematangan emosional dan prestasi puncak seorang hamba. Itulah sebabnya ketiga surah yang menempati pertengahan bagian al-Qur’an biasa disebut tiga surah serangkai, yaitu surah Intellectual Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Spiritual Quotient (SQ).

 

Surah al-Isra’ sering dianggap sebagai jembatan (wasilah/bringing) yang menjembatani antara kecerdasan rasional dan kecerdasam spiritual. Peristiwa Isra ialah perjalanan horizontal dari Baitullah, Mekkah ke Masjid Al Aqsha, Palestina, dan Mikraj ialah perjalanan vertikal dari Masjid Aqsha ke Sidratil Muntaha.

 

Perjalanan Isra’ mungkin masih bisa dijelaskan dengan logika dengan menghubungkannya dengan kendaraan supersonic yang berkekuatan super cepat, namun Mi’raj hanya bisa didekati dengan iman.

 

Allah Swt. memperjalankan hamba-Nya di malam hari (lailan), bukan di siang hari (naharan). Kata lailan mempunyai beberapa makna. Ada makna literal berarti malam,  lawan dari siang. Ada makna alegoris seperti gelap atau kegelapan, kesunyian, keheningan, dan kesyahduan; ada makna anagogis (spiritual) seperti kekhusyukan (khusyu’), kepasrahan (tawakkal), kedekatan (taqarrub) kepada Ilahi. Dalam syair-syair klasik Arab, ungkapan lailah lebih banyak digunakan makna alegoris (majaz) ketimbang makna literalnya, seperti ungkapa syair seorang pengantin baru, berikut ini:

 

Wahai malam bertambah penjanglah, wahai tidur menyingkirlah

Wahai Subuh berhentilah jangan lagi terbit.

 

Kata lail dalam syair di atas, berarti: kesyahduan, keindahan, kenikmatan, kehangatan, ketenangan, kerinduan, keakraban, sebagaima dirasakan oleh para pengantin baru, yang menyesali pendeknya malam.

 

Dalam syair-syair sufistik juga lebih banyak menekankan makna anagogis kata lail. Para sufi lebih banyak menghabiskan waktu malamnya untuk mendaki (tarraqi) menuju Tuhan. Mereka berterima kasih kepada lail (malam) yang selalu menemani kesendirian mereka. Perhatikan ungkapan Imam Syafi’i berikut: “Dan barangsiapa yang mendambakan martabat utama banyaklah berjaga di waktu malam”.

 

Kata al-laydh disini berarti keakraban dan kerinduan antara hamba dan Tuhannya. Malam hari memang menampilkan kegelapan, tetapi bukankah kegelapan malam itu menjanjikan keheningan, kesenduan, kepasrahan, kesyahduan, kerinduan, ketenangan, dan kekhusyukan?

 

Suasana batin seperti ini amat sulit diwujudkan di siang hari. Seolah-olah yang lebih aktif disiang hari ialah unsur rasionalitas dan maskulinitas kita sebagai manusia dan ini mendukung kapasitas manusia sebagai khalifah di muka bumi. Sedangkan di malam hari yang lebih aktif ialah unsur emosional-spiritual dan femininitas kita dan ini mendukung kapasitas kita sebagai hamba (abid). Dua kapasitas manusia ini menjadi penentu keberhasilan hidup seseorang. Sehebat apapun prestasi sosial seseorang tetapi gagal membangun dirinya sebagai hamba yang baik maka itu sia-sia. Hal yang sama juga terjadi pada sebaliknya. Kekuatan malam hari untuk memikrajkan kalbu ditandai dengan penetapan waktu shalat itu lebih banyak di malam hari. Hanya shalat dhuhur dan asar di siang hari, selebihnya di malam hari seperti shalat maghrib, isya, tahajud, witir, tarawih, fajar, dan  subuh. Malam hari memiliki semacam The Power of Night yang bisa memikrajkan kalbu setiap orang.

 

Lalu, setelah Allah Swt menceritakan peristiwa Isra’ Mikraj maka Allah Swt. menjelaskan, “Li nuriyahu min ayatina (agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda Kami)”. Seolah-olah Allah Swt. akan menjelaskan bahwa salah satu tujuan atau inti Isra’ Mikraj ialah untuk melihat atau menyaksikan tanda-tanda (ayat)-Nya. Ayat dan ‘alam di dalam Al-Qur’an sering disinonimkan artinya kedalam Bahasa Indonesia yaitu “tanda”. Orang-orang yang belum pernah mikraj seoalah-olah sulit menyaksikan tanda-tanda Allah Swt. dalam pandangan tafsir Isyari, melihat tanda Tuhan tidak menyaksikan diri-Nya bertajalli di setiap sesuatu (al’ayan).

 

Jika seseorang melihat pohon hanya sebatas pohon, gunung sebatas gunung, langit sebatas langit, bulan sebatas bulan, alam sebatas alam, tetapi tidak mampu menghadirkan “wajah” Tuhan dibaliknya, maka sesungguhnya orang itu masih berada dalam tahap Iqra’ pertama. Jika seseorang sudah mampu melahirkan kesadaran akan keberadaan Tuhan dibalik segala sesuatu maka orang itu, maka ia sudah menembus Iqra’ ketiga atau keempat.

 

Yang tak kalah penting ialah ayat Isra Mikraj ini diakhiri dengan “Innahu huwas-sami’ul-bashir”. Allah Swt. menegaskan dirinya Maha Mendengar dan Maha Melihat. Potongan terakhir ayat ini mengingatkan kita dalam sebuah hadist Nabi Saw. yang menyatakan bahwa orang yang sudah sampai kepada maqam tertentu dapat meminjam pendengaran (as-samah) dan penglihatan (al-bashirah) Allah untuk mendengar dan untuk melihat.

 

Orang yang mampu menggunakan pendengaran dan penglihatan Tuhan dalam pandangan tasawuf disebut sudah berada dalam tingkat al-Qurb an-Nawafil. Maqam yang paling tinggi bagi seorang hamba ialah orang yang sudah mampu menggunakan telinga (al-udzun) Allah untuk mendengar dan mata (al-‘ain) Allah untuk melihat. Maqam ini disebut al-Qurb al-Fara’idh.

 

Jika seseorang mampu menggunakan pendengaran dan penglihatan, apalagi telinga dan mata Allah Swt untuk mendengar dan melihat, maka sudah barang tentu yang bersangkutan sudah tidak lagi memiliki alam gaib. Ini juga menunjukkan bahwa tipis tebalnya alam gaib tidak sama bagi setiap orang.

 

Semakin tinggi maqam seseorang semakin transparan alam gaib itu, dan semakin rendah maqam maka semakin tebal alam gaib itu. Ajakan Allah Swt. untuk mikraj sesungguhnya untuk membuka rahasia kepada hamba-Nya. Mikraj dapat dilakukan antara lain dengan shalat, sebagaimana dikatakan dalam hadist, “ash-Shalat mikraj al-mu’minin (Shalat itu mikrajnya orang-orang yang beriman).”

 

Orang-orang yang tidak pernah naik ke atas (mikraj, taraqqi) maka mereka akan terkurung didalam tempurung bumi, tidak pernah menyaksikan etalase yang dipamerkan Allah Swt. di langit. Orang-orang yang terkungkung di perut bumi hanya akan menyaksikan segala keindahan itu hanya yang ada di bumi atau di dunia ini. Mereka inilah yang akan mengejar bayang-bayang dunia yang tidak pernah di raihnya. Mereka ini juga yang sering menghalalkan segala cara untuk meraih cita-citanya. Mereka yang rela membangun istana di atas puing-puing kehancuran orang lain sambil terbahak-bahak. Berbeda dengan orang-orang yang sering menyaksikan langit, pandangannya tidak lagi terpanah kepada daya tarik yang ditampilkan bumi dan dunia. Karena sudah sering menyaksikan keindahan etalase langit. Berbahagialah orang-orang yang selalu mikraj, tentu tidak lagi akan diperbudak oleh dunia dan materi. Dalam kalam hikmahnya Ibnu “Atha’illah berpesan: “Janganlah beranjak sekadar dari ciptaan menuju ciptaan lain, hingga engkau tampak seperti kuda penggiling: Berputar terus sehingga tujuannya adalah tempat pemberangkatanntya itu. Tapi beranjaklah dari ciptaan menuju Sang Maha Pencipta”.

 

Cara pandang kita terhadap ayat 1 surah al-Isra’ masih lebih mnenekankan aspek denotatif-eksoterik. Terbukti peringatan isra’ Mikraj yang secara rutin diperingati dan dirayakan dengan tanggal merah yang meliburkan seluruh sekolah, kampus, dan kantor-kantor secara nasional. Isra’ Mikraj lebih diperkenalkan sebagai peristiwa makrokosmos berupa perjalanan Nabi Saw. dari Masjidil Haram ke Masjidil al-Aqsha, Palestina, sampai ke Sidratil Muntaha, kemudian Rasulullah Saw. pulang membawa oleh-oleh berupa shalat lima waktu. Pembahasan ini sama sekali tidak salah, namun tidak ada salahnya jika Isra’ Mikraj juga dipahami sebagai upaya untuk meng-upgrade  kalbu kita yang tadinya kasar menjadi lembut dan yang tadinya selalu berorientasi kepada hal-hal duniawi ke hal-hal spiritual ukhrawi. Wallahu ‘alam.

 

Semarang, 21 Februari 2022

 

Sumber referensi:

al-Quranul Karim.

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. 2021. Menjalani Hidup Salikin. Jakarta: Grasindo PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

• Saturday, February 12th, 2022

Nikah (3): Hukum Nikah

Lanjutan kajian kitab Kifayatul Akhyar bab Nikah yang kemarin: https://agungbae123.wordpress.com/2022/01/29/nikah-2-siap-dan-tidak-belum-siap-menikah/

 

Dalil yang dipakai dasar untuk tidak mewajibkan, firman Allah: “fangkihuu maa thaaba lakum minannisaa-i”.Artinya: “Maka kawinlah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi”. (an-Nisa’: 3)

 

Ayat tersebut mengandung kebolehan memilih, sekiranya wajib, mesti tidak boleh memilih. Orang yang sudah ingin sekali menikah, tetapi belum mempunyai bekal, lebih baik menikah, mudah-mudahan Allah memberinya kecukupan (kekayaan).

 

Orang yang tidak memerlukan nikah ada 2 macam, yaitu: (1) sebab tidak mempunyai bekal; dan (2) sebab keadaan jasmani. Sebab jasmani seperti: sakit-sakit terus, ada anggota badan yang tidak berfungsi sehingga tidak sehat dan lain-lain. Orang  yang demikian, makruh untuk menikah. Wallahu ‘alam.

 

Bersambung

Semarang, 13 Februari 2022

• Saturday, February 05th, 2022

Menjaga hati (1): Meninggalkan Beban Kalbu/Hati

Oleh Agung Kuswantoro

 

Setelah pembahasan “Menata Diri” – dengan sembilan judul – lalu, kita akan belajar bersama dengan bab selanjutnya yaitu, menjaga hati. Dalam tema ini ada dua belas judul. Untuk judul pertama yaitu meninggalkan beban kalbu/hati.

 

“Beban” hati yang berlebihan itu harus dikurangi karena akan berdampak negatif, seperti stress dan strok – yang pada akhirnya – wafat lebih awal dari waktu yang diperkirakan/diharapkan.

 

Agama apapun mengajarkan dan mengajak umatnya untuk meninggalkan kalbunya yang berlebihan. Khususnya dalam Islam “melepaskan beban-beban” yang mengggunung it, bagaikan bulu yang beterbangan. Firman Allah: “Dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan”. (QS. Al-Qori’ah:4).

 

Para ahli manajemen berusaha mencari berbagai macam solusi dalam mengatasi kelebihan beban hati ini, diantaranya: mencari dan memilih tempat yang tenang; mengistirahatkan daban, pikiran, dan jiwa di dalam suasana zona nyaman; kalau perlu memutar lagu-lagu instrumentalia atau musik-musik meditasi – spiritual, memejamkan mata tetapi tidak sampai tidur.

 

Kita merasakan lembutnya petikan suara melodi, atau menikmati rekaman nyanyian burung, suara gemuruh ombak, percikan air mancur, atau nyanyian burung-burung malam.

 

Bayangkan sendiri kita berada di sebuah taman bunga charry blasem yang sedang mekar di lembang ngarai, atau membayangkan kita berada di sela-sela-sela rindangnya pepohonan di sebuah bukit  hijau, atau sedang menyaksikan matahari sore sedang tenggelam di peraduannya disebuah pulau terpencil. Imaginasi atau khayalan seperti ini terkadang diperlukan untuk mengecoh pikiran, perasaan, dan kalbu kita yang sedang galau.

 

Rencanakan relaksasi di sela-sela tugas, usahakan menghindari kebisingan, pecahkanlah persoalannya tahap demi tahap, tampakkan keindahan dan dekorasi menawan di sekitar kita, jangan terlalu serius bekerja sepanjang hari dan sepanjang masa, jauhilah hal-hal yang berlebihan, khususnya alkohol dan obat-obatan penenang, dan tentu yang tak kalah pentingnya seringlah tersenyum dan tertawa.

 

Berusahalah untuk memaafkan diri sendiri dengan mengingat, diri kita memang bukan malaikat, lupakanlah berbagai kekecewaan yang menumpuk di kalbu dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan (tawakal).

 

Kita yakinkan pada diri kita bahwa sesungguhnya Tuhan lebih menonjol sebagai Maha Pengampun (ar-Rahman) dan Maha Penyayang (ar-Rahim) dibanting Maha Pendendam (al-Muntaqim) dan Maha Penghukum (adh-Dharr). Dengan air mata tobat yang kita persembahkan kepada-Nya diharapkan bisa memadamkan api neraka Jahannam, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw:  “Sesungguhnya sehala sesuatu ada ukuran dan timbangannya, kecuali air mata, sebab ia bisa memadamkan lautan api neraka”. (HR. al-Baihaqi)

 

Air mata juga mengangkat azab. Pernah suatu ketika Sa’d ibn Ubadah sakit parah, Rasulullah Saw. pun menjenguknya bersama Abdurrahman ibn Auf, Sa’d ibn Abi Waqash, dan Abdullah ibn Sa’d mas’ud. Ketika Nabi Muhammad Saw, masuk menemuinya, Nabi Saw. melihat Sa’d ibn Ubadah dalam keadaan sakaratul maut. “Apakah sudah meninggal?” Tanya Nabi Saw. Para sahabat yang ada menjawab, “Belum, wahai Rasulullah,” Maka Nabi Saw. menangis, orang-orang pun ikut menangis melihat Nabi Saw. menangis. Lalu, Rasulullah Saw. bersabda, “Dengarkanlah  oleh kalian semua, sesungguhnya Allah tidak akan mengazab air mata yang jatuh, juga hati yang remuk. Tapi Dia akan mengazab ini (sambil menunjuk lidah beliau.”

 

Air mata tidak akan diazab sebab air mata adalah rahmat Allah Swt. Sebagaimana kisah bahwa suatu ketika Zainab mengirim utusan kepada Nabi Saw. memberitahu akan lelakinya dalam keadaaan sakaratul maut. Maka Nabi Saw. berkata pada utusan itu, “Kembalilah padanya (Zainab) dan katakana, Allah memiliki apa yang Dia ambil dan apa yang Dia beri dan ajal segala sesuatu ditentukan oleh-Nya, suruh dia bersabar dan muhasabah.” Tidak lama kemudian utusan ini kembali lagi menghadap Nabi Saw. mengatakan bahwa Zainab mengharap betul kehadirannya. Maka Nabi Saw. datang menuju rumah Zainab didampingi Sa’d ibn Ubadah dan Mu’adz ibn Jalal. Bayi itu diangkat diserahkan pada Nabi Saw. dalam keadaan nyawa ditenggorokan. Maka tumpahlah air mata Nabi Saw. Sehingga Sa’d bertanya kepada Nabi Saw. “Air mata apa ini, wahai Rasulullah?” Nabi Saw. menjawab, “Ini adalah air mata rahmat yang Allah anugerahkan ke dalam hati hamba-hamba-Nya.”

 

Maka pasrahkan jiwa raga ini kepada Allah Swt. juga seluruh harta kita. Ucapkan rasa syukur dan terima kasih di mulut dan di dalam hati atas kesadaran yang dikaruniakan kepada kita sebelum ajal menjemput.

 

Rasakan kita seolah-olah menjadi sosok manusia baru, putih cemerlang, dan mengesankan bagi semua.  Pada akhirnya, kita meninggalkan latihan atau meditasi ini dengan lafal syukur dan tahmid, Alhamdulillah wasy-syukru lillah kepada-Nya atas segala karunia yang baru saja diberikan kepada kita. Kita meninggalkan padepokan latihan dengan niat dan baik sangka kepada Allah Swt. Yang Maha Pemurah, kalau perlu bertekad untuk mengulangi pengalaman serupa di masa-masa mendatang.

 

Seusai pelatihan (riyadhah) kita belajar mengembangkan hobi dan kebiasaan produktif kita kembali. Sesudah itu buatlah planning untuk mengatur refreshing, kalau perlu bersama keluarga, atau dalam kesempatan lain retreat bersama segenap karyawan tanpa kecuali di kantor, khusus yang beragama Islam, lebih bagus lagi jika ditradisikan untuk berpuasa sunah Senin dan Kamis atau puasa-puasa sunah lainnya. Biasakan diri ke masjid untuk shalat berjamaah, mengamalkan sunah-sunah rawatib, baik qabliyyah maupun ba’diyyah. Wallahu ‘alam.

 

Semarang, 6 Februari 2022

Rujukan referensi: Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. 2021. Menjalani Hidup Salikin. Jakarta: Grasindo PT Gramedia Widiasarana Indonesia.