• Wednesday, April 05th, 2023

Kajian Arbain Nawawi (56): Malu Adalah Cabang Keimanan
Oleh Agung Kuswantoro

Mari kita lanjutkan kajian hadis ke-20 dari kitab Arbain Nawawi. Ini adalah kajian terakhir, karena persiapan Idul Fitri, insya Allah kita lanjutkan usai lebaran. Sebelumnya, saya mohon maaf jika selama kajian ini ada kesalahan yang saya lakukan. Berikut kajiannya:

Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al-Anshari Al-Badri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya di antara perkataan kenabian terdahulu yang diketahui manusia ialah jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu!” (HR. Bukhari)

Hadits ini pendek dan singkat, tetapi memiliki beberapa pelajaran yang bisa kita petik, antara lain sebagai berikut:

Pertama, ad-da’wah bil lisan (seruan dengan perkataan) adalah salah satu bentuk ajakan para nabi sejak dahulu. Bahkan, secara khusus, dakwah “model” ini mendapatkan pujian dari Allah Swt sebagai ahsanu qaulan (perkatan paling baik) sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: “Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan seraya berkata, “Sungguh, aku termasuk orang-orang Muslim (yang berserah diri)?” (Fushishilat: 33)

Kedua, ketersambungan risalah para nabi. Hadits ini bukan satu-satunya pemberitaan dari Rasulullah Saw tentang perilaku dan perkataan para nabi terdahulu. Banyak penceritaan dari Rasulullah Saw tentang para nabi terdahulu baik secara global maupun secara rinci, yang rasulullah Saw sebutkan dalam hadits lainnya. Ini menunjukkan bahwa rantaian risalah kenabian sesama para nabi tidaklah terputus.

Ketiga, mengutip dan menyampaikan kalimat-kalimat yang berisi hikmah dan nasihat orang bijak terdahulu adalah perbuatan yang sangat baik, asalkan memiliki keaslian sumbernya. Dalam hadits ini, rasulullah Saw mengutip dari ucapan kenabian pada masa lalu. Padahal, jika Rasulullah Saw mau, bisa saja nasihat-nasihat yang semisal ini cukup datang dirinya saja karena ucapannya telah terjaga dari kesalahan.

Ini menjadi pelajaran bagi para khuthaba agar tidak segan-segan mengutip kalimat-kalimat mengandung hikmah – baik syair, pepatah, maupun semisalnya – dari orang lain. Lebih bagus lagi, jika kalimat-kalimat tersebut disandarkan kepada orang-orang yang mengucapkannya atau disebutkan sumbernya.

Keempat, hadits ini membimbing kita untuk tidak sembarangan dalam mengeluarkan kata-kata tidak perlu/gegabah dalam berperilaku. Letak kemuliaan dan kehormatan seseorang bisa terlihat dari apa yang dikatakan dan dilakukannya. Orang-orang besar dan mulia akan mengeluarkan kata-kata dan perbuatan yang mulia pula sebagaimana orang-orang kerdil akan mengucapkan perkataan yang tidak bermanfaat dan memalukan, serta perbuatan yang sia-sia pula.

Hendaklah rasa malu yang dimiliki seseorang menghalangi dirinya untuk berbuat yang merusak kemuliaan dan kehormatan diri, kecuali jika orang itu tidak ada lagi rasa malu, terserahlah apa mau yang dilakukannya, dia bebas. Perbuatan baik atau buruk sama saja di sisi orang yang tidak memiliki rasa malu.

Orang beriman senantiasa menjadikan rasa malu, seseorang tidak mau menampakkan auratnya. Karena rasa malu, seseorang mengurungkan niatnya untuk berkata-kata tidak sopan dan kotor. Karena rasa malu, seseorang tidak mau berkhalwat/menyendiri dengan bukan mahramnya. Karena rasa malu, seseorang tidak mau mengambil harta yang bukan haknya. Karena rasa malu, seseorang tidak mau bermaksiat. Kalaupun sudah tidak malu lagi kepada Allah Swt, malulah kepada malaikat (sang pencatat). Kalaupun tidak malu lagi kepada malaikat, malulah kepada manusia. Kalaupun tidak malu kepada manusia, malulah kepada keluarga di rumah. Kalaupun tidak malu lagi kepada keluarga, malulah kepada diri sendiri dan hendaklah jujur bahwa apa yang dilakukannya adalah kesalahan minimal meragukannya. Fitrah keimanan akan menolaknya, kecuali jika memang kita sudah tidak memiliki rasa malu lagi.

Catatan: Materi pernah disampaikan dalam kajian usai solat subuh di Masjid Ulul Albab UNNES.

Sumber rujukan:
Hasan, F.N. 2020. Syarah Hadist Arba’in An-Nawawi. Depok: Gema Insani.
Hassan, Q. 1982. Ilmu Musthalah Hadist. Bandung: Penerbit Diponegoro.
Kitab Azwadul Musthofawiyah karangan KH Bisri Mustofa, Rembang.
Kitab Majalis Saniah, Karangan Syeikh Ahmad Bin Syeikh Al-Fasyaini.
Suparta, M. 2016. Ilmu Hadist. Depok: PT Rajagrafindo Persada.
Tohhan, M. 1977. Taisir Mustholah al-Hadist. Riyad: Universitas Madinah.

Semarang, 5 April 2023 ditulis di Rumah, jam 04.00-04.15 Wib.

Category: Uncategorized
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
Leave a Reply