Archive for ◊ January, 2019 ◊

• Saturday, January 19th, 2019

Keluarga
Oleh Agung Kuswantoro

“Harta yang paling berharga adalah keluarga”. Itulah lirik sebuah lagu dari “Keluarga Cemara”.

Cerita keluarga yang menarik hati saya untuk mempelajarinya adalah keluarga Imron. Sebagaimana, nama surat dalam Alquran. Yaitu, Ali Imron.

Pak Imron memiliki anak yang sholihah bernama Maryam. Maryam, orangnya sangat suci dari maksiat. Apalagi, perbuatan zina. Bahkan, ia dituduh melakukan perzinaan karena ia telah mengandung/hamil.

Bayi yang dikandungnya bernama Isa. Isa ternyata menjadi seorang Nabi. Padahal, silsilah keluarga Pak Imron begitu sederhana. Namun, bisa menghasilkan anak yang sholihah yaitu Maryam. Kemudian, Maryam memiliki anak sholih bernama Isa. Isa lahir tanpa sosok ayah. Itu pula atas izin dan kekuasan Allah.

Sebaliknya, Kan’an anak seorang Nabi Nuh. Namun, karena tidak taat kepada Allah. Ia memilih tidak naik perahu. Ia ‘meninggal dunia’ dalam keadaan tidak beriman. Padahal, bapaknya seorang Nabi.

Itulah keluarga. Semua Allah sebagai “sutradaranya”. Tidak jaminan, orang tua itu hebat, ‘menghasilkan’ anak hebat. Sedangkan, orang biasa ‘menghasilkan’ anak biasa.

Rembang, 19 Januari 2019

• Thursday, January 17th, 2019

Mas Sri Rustanto, Selamat Berpulang
Oleh Agung Kuswantoro

Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun. Kalimat itulah yang saya ucapkan, saat saya mendengar berita duka atas wafat dia. Ia telah pulang. Saya mengenal dekat, ketika saya mendapat tugas tambahan di UPT Kearsipan UNNES sebagai koordinator sistem dan layanan kearsipan.

Pertama kali bertemu saya ke kantor UPT TIK untuk berkonsultasi terkait website UPT Kearsipan yang terkena virus. Kemudian, kita sering bertemu di parkiran Masjid Graha Wiyata Patemon. Hampir tiap pagi, ia mengantarkan anaknya berangkat sekolah. Ia mengatarkannya dengan mobil BMW milikinya. Anak satu-satu yang berjenis kelamin perempuan selalu ia gandeng dari parkiran Masjid hingga ke Sekolah.

Beberapa hari yang lalu, saya bertemu kepadanya di kantornya. Waktu itu, saya ingin berkonsultasi terkait password blog UPT kearsipan.

Sewaktu saya bertemu di parkiran Masjid Graha Wiyata Patemon, ia sempat menyamperi saya. Ia mengajak ‘salaman’. Ia mengatakan kepada saya , “Pak, ngantar anak”? saya menjawab, “iya”.

Ia sangat respek atas seseorang yang bertanya kepadanya. Ia sangat mudah dalam bergaul dan berkomunikasi. Sehingga, orang tak canggung untuk berteman kepadanya.

Sekarang, ia telah tiada. Mulai besok, saya tak bertemu dia di parkiran Masjid. Hanya doa yang selalu saya panjatkan di setiap tempat kita bertemu. Saya pasti tidak lupa dengan kenangan terakhir itu. Panjenengan mengajak saya bersalaman (baca:berdoa), saya pun akan selalu berdoa untukmu.

Tidak menyangka, ternyata Allah begitu cepat memanggilmu untuk pulang ke pangkuanNya. Insya Allah, ini cara Allah menunjukkan cinta kepadamu. Selamat jalan, kawan. Insya Allah, kau tenang di sana. Amin.

Semarang, 17 Januari 2019

• Tuesday, January 15th, 2019

Pindah (2): Suparjo Ke Lampung
Oleh Agung Kuswantoro

Pembicaraan kita kemarin mengenai “pindah”, berasal dari pikiran. Jadi, kalau mau berubah (baca:pindah) berawal dari pikiran dulu. Bukan, berawal pada tindakan. Jika berawal dari tindakan, maka yang ada hanya perintah atau menyuruh. Pendewasaan itulah awal dari “pindah”. Karena, ia sudah merenungkan akan kehidupannya.

Saya memiliki sahabat, yang kemarin baru keterima PNS. Ia bernama Suparjo. Ia melakukan “pindah” setelah berpikir dalam kehidupannya. Ia mau apa? Usianya masih muda. Alhamdulillah sudah menikah. Istrinya, orang Semarang, sedangkan ia berasal dari Lampung.

Ia sudah melakukan perpindahan, mulai dari kuliah di UNNES, hingga menikah. Saat “pindah”, pastinya ia kesusahan. Menikah saja, istrinya malahan berada di Wonogiri. Sedangkan, ia berada di Semarang. Sehingga, walaupun sudah menikah, kehidupannya terpisah.

Lalu, keduanya memutuskan untuk bersatu dalam kehidupannya. Istrinya memutuskan ke Semarang. Ia akan mencari pekerjaan di Semarang. Ia memilih menemani suami di Semarang, dibanding di Wonogiri. Segala persiapan perpindahan pun, dilakukan. Ada pindah barang dari kontrakan Wonogiri ke Semarang. Suparjo juga memindahkan barang-barangnya ke kontrakan baru di Semarang.

Semua serba ngontrak. Karena, mereka ingin hidup mandiri. Susah, pastinya mereka jalani. Saya melihat betul, saat mereka boyongan. Cukup modal motor metik mereka bolak-balik ambil barang. Terakhir, mereka pindah ke Lampung. Suparjo keterima PNS di Lampung. Ia “pindah” sendiri ke Lampung untuk pemberkasan PNS. Kalau pindah fisik dan barangnya, ia menggunakan motor metik. Pergi dari Semarang ke Lampung memakai motor metik dengan penuh bawaannya.

Rekoso? Ya, jelaslah. Barangnya full semotor. Belum, lagi kalau mau ngisi pertamax/pertalite, ia harus bongkar pasang. “Saya menanyakan kabar dia, sudah sampai ke Lampung?” Ia menjawabnya, “sudah”. Kemudian, menceritakan bahwa ia sempat bongkar pasang barangnya hingga tiga kali. Perjuangan sekali ya. Padahal, ia keterima PNS. Proses pindahnya sebegitunya.

Maknanya, “pindah” itu bukan hanya fisiknya, tetapi pikiran dan semangatnya. Fisik dan pikiran sehat, belum tentu ia mau “pindah”. Karena, “pindah” membutuhkan semangat yang kuat. Dalam proses “pindah”, pasti ada kesusahan. Ia akan menjalani kesusahannya. Sabar, kuncinya. Dan, tetap berdoa kepada Allah.

Jadi, “pindah” itu bukanlah hal mudah. Namun, jika tidak “pindah”, maka hidupnya ajeg/tetap. Hanya di situ saja. Tidak ada perubahan. Sama halnya, kita/lembaga dibutuhkan “pindah”. Minimal, “pindah” pikiran saja dulu. Fisiknya nanti. Sehingga, dibutuhkan orang yang mau berpikir dalam (sebelum) bertindak. Insya Allah, jika kita “pindah”, kita akan menjadi lebih baik.

Bersambung

Semarang, 14 Januari 2019