• Thursday, October 01st, 2020

 

Tuhanku Adalah Allah
Oleh Agung Kuswantoro

Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa (QS. al-Ikhlas:1).

Kemarin (1 Oktober 2020), kita memperingati hari Kesaktian Pancasila. Hari ini, mari kita merefleksikan/merenung terkait Dasar Negara kita. Kita patut bersyukur kepada pendiri bangsa kita ini. Founding Father negara ini. Dimana, Pak Kiai dan orang pintar yang merumuskan negara ini. Salah satu “produk” dari pikiran Pak Kiai dan alim/orang yang pintar adalah Pancasila.

Ada satu sila yang mengingatkan kepada diri kita sebagai orang yang beragama yaitu sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Masa Esa. Artinya, negara Indonesia itu negara yang bertuhan. Bukan, negara yang komunis atau tanpa mengakui Tuhan.

Kita semua yang hadir disini adalah orang yang beragama. Orang yang ber-Tuhan. Tuhan kita adalah Allah. Kita harus yakin bahwa agama kita adalah agama yang terbaik. Innaddina ‘indallahil islam. Artinya. sesungguhnya agama yang mulia disisi Allah adalah agama Islam.

Bertuhan itu sangat penting. Tanpa menghadirkan tuhan dalam kehidupan, menjadikan seseorang akan gelisah, tidak tenang, dan pesimis. Proses mengenal Allah/Tuhan tiap orang itu berbeda-beda.

Nabi Adam AS sangat dekat dan intim mengenal Allah saat di Surga. Allah berkata dengan kalimat “Janganlah dekati pohon ini!” (QS. al-Baqarah: 35). Kalimat tersebut, menunjukkan bahwa Allah sewaktu di Surga sangat dekat dengan Nabi Adam AS. Namun, saat Nabi Adam AS melakukan maksiat, Allah berkata “Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu”. (QS. al-Baqarah: 26).

Kalimat di atas yang perlu digarisbawahi yaitu “surga itu”. “Itu” menunjukkan jauh. Jauh dari Allah. Beda saat Nabi Adam AS di Surga dengan kalimat “pohon ini”. “Ini” menunjukkan dekat. Dekat antara Allah dengan Nabi Adam AS. Itulah yang terjadi pada Nabi Adam AS.

Berbeda dengan Nabi Muhammad SAW dimana Malaikat Jibril mengatakan “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan (QS. al‘Alaq:1). Proses Nabi Muhammad SAW mengenal Allah, bukanlah hal yang mudah. Padahal, Nabi Muhammad SAW itu kekasih Allah. Dan, seorang Nabi serta Rosul.

Nabi Muhammad SAW ber-kholawat/bertapa/merenung di gua Hiro. Nabi Muhammad SAW menyendiri. Nabi Muhammad SAW menghindar dari keramaian atau kerumunan manusia. Ia melakukan “penyucian” batin. Di tempat yang gelap dan sempit. Datanglah malaikat Jibril yang menuntun agar membaca nama Tuhannya yaitu Allah. Selama “ritual” di gua Hiro, Nabi Muhammad SAW memusatkan perhatiannya kepada Tuhan. Ia mengesampingkan urusan lainnya. Bisa dikatakan proses ini adalah proses pencarian jati diri seorang manusia diangkat menjadi Rosul. Itulah yang terjadi dalam diri Nabi Muhammad SAW.

Ada pula, manusia yang mengenal Allah, saat sedang kesusahan hidup. Ustad Yusuf Mansur, contohnya. Ustad Yusuf Mansur menemukan Allah, saat dipenjara. Dalam buku “Mencari Tuhan Yang Hilang” dikisahkan, Ustad Yusuf Mansur sedang memberi makan kepada semut yang lapar. Ustad Yusuf Mansur berkata kepada semut: “Makanlah roti ini, wahai semut. Berdolah untuk aku yang juga lapar. Tuhanmu dengan Tuhanku itu, sama.”

Saat Ustad Yusuf Mansur memberi makan kepada semut, Ustad Yusuf Mansur, dalam kondisi lapar. Namun, Ustad Yusuf Mansur justru memberikan makanannya kepada makhluk lainnya. Peristiwa inilah yang mengilhami dan mempopulerkan Ustad Yusuf Mansur dengan konsep sedekah. Arti dari kisah tersebut adalah Ustad Yusuf Mansur mengenal Allah saat dalam keadaan susah.

Dari kisah-kisah di atas (Nabi Adam AS, Nabi Muhammad SAW, dan Ustad Yusuf Mansur) dapat diambil “benang merah”, bahwa mengenal Allah/Tuhan sejatinya harus sejak dini. Nabi Adam AS saat di Surga. Nabi Muhammad SAW saat mengasingkan diri ke gua Hiro. Ustad Yusuf Mansur, saat beribadah di penjara.

Bisa dikatakan mengenal Tuhan itu harus dikejar/dicari. Tidak mungkin Allah itu “ada” di depan kita secara tiba-tiba. Bedakan orang yang sudah dan belum mengenal Tuhan. Perhatikan perilaku, hati, dan ucapannya. Orang yang bertuhan, pasti lebih santun. Apapunlah agamanya. Terlebih beragama Islam.

Dengan bertuhan, maka ia beragama. Saat beragama, sejatinya ia sedang mencari Tuhan. Karen Amstrong – yang sempat mengaktifkan diri sebagai seorang biarawati Katolik Roma selama tujuh tahun – mengatakan bahwa, “Tuhan itu satu. Tuhan yang satu tak terjangkau oleh pikiran manusia, namun Dia dipersepsi secara berbeda-beda oleh berbagai kelompok manusia sepanjang sejarah”.

Di Kristen, ada trinitas:tuhan Bapak, Ibu, dan Anak. Budha, ada Sidarta Gautama. Hindu, ada Dewa. Ada pula tuhan para filosof, tuhan kaum mistik, dan tuhan para reformis (Amstrong, 2009).

Alhamdulillah atas izin Allah SWT, kita bertuhankan Allah. Ucapan terima kasih kita ucapkan kepada orang tua kita yang telah menuntun dan mengajarkan mengenai aqidah.

Saat penulis masih kecil diajarkan oleh guru bernama ustad Rofiq (almarhum) dan ustadah Hamidah dengan kalimat: “man kholaqos syamsa? Lalu dijawab: “allahulladzi kholaqo syamsa”. Ada lanjutannya yaitu “man kholaqol qomar?” dijawab: “Allahulladzi kholaqol qomar”.

Konsep penciptaan makhluk dikenalkan sejak dini, agar harapan tuhannya adalah Allah. Bukan, tuhan-tuhan yang lain. Terlebih saat ini, jabatan, HP, facebook, media sosial, orang, benda, uang dan sesuatu yang bergantung bisa dijadikan tuhan.

Nur Kholis Madjid memaknai “Lai laha illallah”, yaitu tiada tuhan, selain Tuhan. Tulisan tuhan yang pertama ditulis dengan huruf T kecil, sedangkan tulisan kedua ditulis denga huruf T besar. Berarti, “Tiada tuhan, selain Allah.”

Sebagai hamba Allah dan makhluk, kita selalu mengingatkan diri, bahwa kita adalah ciptaan Tuhan. Ada yang menciptakan. Ada Tuhan yang Maha Kuasa. Temuilah Dia, dimanapun berada. Karena, Allah ada dimana-mana. Allah ada di langit, bintang, matahari, bumi, dan tempat yang terjangkau. Itulah wujud sikap sebagai manusia yang beragama.

Demikian tulisan singkat ini, ada beberapa simpulan:

1. Indonesia adalah negara beragama. Memiliki Tuhan. Ketuhanan Yang Maha Esa.

2. Tuhan itu ada. Sebagai hamba, datangilah Dia dimanapun. Berusahalah agar kita diberi cahaya dan “dipeluk” hatinya. Nabi Adam menemukan Tuhan di Surga. Nabi Muhammad SAW menemukan Tuhan di gua Hiro dan Ustad Yusuf Mansur menemukan Tuhan di penjara.

3. Pelajaran tentang aqidah/ketuhanan perlu ditanamkan sejak kecil, agar hati ini mudah terisi “nilai-nilai” rohani. Kenalkan dari hal yang mudah, seperti ciptaan-Nya.

4. Teruslah mencari Allah, yakinlah Allah itu ada. Sambut Allah dengan perilaku, ucapan, dan hati yang santun. Allah tidak mungkin ada dalam diri yang bermaksiat atau dalam hamba dalam keadaan “kotor” dan berdosa. Mari, jemputlah Allah ditempat yang mulia.

Semoga bermanfaat catatan ini. Amiin. []

Semarang, 1 Oktober 2020
Ditulis Di UPT Kearsipan UNNES jam 14.00-14.45 WIB. Materi disampaikan di Masjid Rektorat UNNES jam 12.00 WIB pada hari Jumat, 2 Oktober 2020.

Daftar Pustaka:

Amstrong, Karen. 2009. Sejarah Tuhan. Bandung: Mizan.

Shihab, Quraisy. 2011. Membumikan al Qur’an Jilid 2. Jakarta: Lentera Hati.

Kitab Tafsir Jalalain.

Category: Uncategorized
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
Leave a Reply