ARSIP : Teori dan Praktis
Oleh Agung Kuswantoro
Hari ini (24-25 November 2018) bertempat di hotel Ibis Malioboro Yogyakarta, saya diajak berdiskusi oleh para praktisi kearsipan dari Perguruan Tinggi dan Perbankan. Mereka difasilitasi oleh PT Media Citra Mandiri. Selama dua hari, kita akan belajar kearsipan. Mereka berasal dari Bank Bali (2 orang), Fakultas Kedokteran Universitas Warmadewa Bali (2 orang), Fakultas Kedokteran Univeristas Muhammadiyah Jakarta (2 orang), Bank Papua (2 orang), Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara (1 orang), dan Fakultas Kedokteran Muslim Indonesia (1 orang), dan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (3 orang).
Saya akan memberikan gambaran kearsipan yang sesimpel mungkin. Mengapa? Karena, mengelola arsip itu ‘asyik’. Jangan sampai ada anggapan bahwa arsip itu susah. Archieve is easy, prinsipnya itu. Sehingga, saya menyampaikannya pun dengan bahasa yang ‘renyah’ dan ‘gurih’. Kalau, bisa dengan menggunakan bahasa mereka. Sehingga, mereka bersemangat dalam pelatihan selama dua hari ini. Misal, mereka dari ranah praktisi, maka saya berbicaranya juga praktis. Bukan, teoritis. Toritis saya gunakan di dunia kampus.
Definisi Arsip secara sederhana adalah segala ‘sesuatu’ yang diterima atau dibuat oleh sebuah lembaga baik pemerintah atau lembaga swasta yg mengandung informasi yg utuh, autentik dan dapat terpercaya (reliabel). Setelah ‘sesuatu’ itu digunakan, maka ia harus disimpan sesuai dengan jadwal retensi arsip atau JRA. Karena JRA inilah yg menentukan apakah arsip tersebut bisa disimpan, atau akan dimusnahkan. Jika, ia tidak mengandung informasi yang utuh, autentik dan dapat dipercaya, maka ia bukan arsip. Melalui pemahaman itu, ternyata tidak harus arsip itu berwujud kertas. Bisa CD, flasdisk, DVD, hardisk, foto, dan lainnya. Intinya, ‘sesuatu’ itu memiliki nilai guna informasi.
Karena memiliki nilai guna itulah, maka harus disimpan. Disimpan di mana? Sesuai dengan UU 43/2009 maka arsip dapat disimpan pada rak, filling cabinet, mobile file dan tempat yang lainnya.
Untuk penyimpanan arsip aktif bisa pada filling cabinet dan menggunakan map gantung atau folder gantung dan untuk penyimpanan arsip inaktif bisa menggunakan boks arsip yang diberi label dan di tempatkan atau disimpan pada rak-rak arsip. Sedangkan untuk arsip statis, sebuah lembaga–bukan lembaga kearsipan–wajib menyerahkan arsipnya kepada lembaga kearsipan pusat, lembaga kearsipan Daerah/Kota. Tujuannya untuk menyimpan arsip statisnya.
Mengapa seperti itu? Karena, ia harus diselamatkan. Jika kita membutuhkan, maka ia cepat ditemukan. Ia tidak (langsung) dipanggil, muncul dengan segera. Tetapi, harus dicari. Karena ia harus dicari, maka perlu dikelola. Pertanyaannya, bagaimana cara mengelolanya?
Mari kita perhatikan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan. Arsip dibagi menjadi dua yaitu arsip dinamis dan statis. Pengelolaan arsip dinamis terdiri dari pengelolaan Arsip aktif yang dikelola di unit pengolah di central file. Pemberkasan arsip aktif berdasarkan klasifikasi arsip. Pengelolaan Arsip inaktif itu tanggung jawab unit kearsipan dan disimpan di record center. Penataannya meliputi pengaturan fisik arsip, pengolahan informasi arsip, dan penyusutan daftar arsip inaktif. Pengelolaan arsip vital yaitu identifikasi, perlindungan, pengamanan, penyelamatan Dan pemulihan arsip.
Sedangkan arsip statis dikelola di lembaga kearsipan pusat. Dalam hal ini ANRI atau lembaga kearsipan daerah. Adapun aktivitas penataannya yaitu akuisisi arsip statis, pengelolaan arsip statis, preservasi arsip statis, dan akses arsip statis
Siapa unit kerja? Lihatlah SOTK organisasi. Bisa berwujud lembaga, fakultas, badan, unit pelaksana teknis, dan sub unit kerja lainnya. Sedangkan, unit kearsipan adalah lembaga yang bertugas menangani kearsipan di organisasi tersebut.
Itu dulu cerita singkat saya, semoga bermanfaat tulisan sederhana. Semoga kita bisa belajar bersama.
- Yogyakarta, 24 November 2018
Recent Comments