Muslimin dan Musyrikin
Oleh Agung Kuswantoro
Seperti baisa tiap hari Senin dan Selasa, pembelajaran di Madasah, materinya adalah fiqih. Adapun, kajiannya adalah Sholat.
Kelas C dan D, saya gabungkan. Kelas C mempraktikkan Sholat mulai dari niat hingga bacaan sunah setelah surat Alfatihah.
Kelas D menyimak dan memperhatikan dari praktik kelas C. Tiap santri kelas D menuliskan di buku mengenai kekurangan dari yang dipraktekkan kelas C.
Hasil pengamatan kelas D mengatakan bahwa, ada santri sholatnya tertawa, banyak gerakan (menggoyang-goyangkan badan), dan pandangan mata ke arah sana-sini.
Saya membenarkan hasil pengamatan oleh santri-santri kelas D. Kemudian, saya membahas dan mendiskusikan kepada mereka.
Saya bertanya kepada mereka (kelas C). Bolehkah sholat itu tertawa? Bolehkah sholat itu menggoyang-goyangkan badan? Dan, bolehkah sholat memandang ke sana-sini?
Jawaban mereka sepakat tidak boleh. Sebenarnya mereka mengetahui perbuatan tersebut itu tidak boleh. Namun, mereka melakukannya.
Dalam praktiknya, (dulu) mereka melakukan perbuatan tersebut. Namun, semenjak ada Madrasah, saya mengenalkan mengenai hal-hal yang diperboleh dan dilarang dalam sholat. Sehingga perlu mereka mempraktikkannya, agar mereka memahaminya.
Ada satu yang terlewat dari pengamatan santri kelas D yaitu bacaan doa Iftitah. Dimana, antara musyrikin dan muslimin dibaca sama semua yaitu musyrikin.
Inni wajahtu wajhi lilladzi fatarossama wati wal ardo, khanifam muslimau wama ana minal musyrikin. Inna sholati dan seterusnya, berakhir dengan wa ana minal muslimin.
Saya langsung meminta tolong kepada masing-masing santri untuk melafalkan doa Iftitah satu kalimat, mulai dari inni wajahtu hingga wama ana minal musyrikin.
Mereka menulis dengan tulisan Arab mengenai satu kalimat tersebut. Saya menuliskannya di papan. Kemudian, mereka menulis di buku. Lalu, mereka membaca atas tulisan mereka.
Apa yang terjadi? Antara yang ditulis dengan yang dilisankan, mereka cenderung hafalan. Bacaan panjang – pendeknya tidak jelas. Misal, wajahtu. Tu-nya dibaca panjang. Wajjah dibaca wajah, tanpa tasdid.
Mereka saat melafalkan cenderung halafan. Dan, akhir dari kalimat itu dibaca muslimin. Kedua juga muslimin.
Saya mengatakan kepada mereka untuk membaca tulisannya. Mereka tetap membaca muslimin semua. Lalu, ada santri yang mengatakan bahwa, hapalanku salah.
Inilah yang saya tekankan, bahwa melalui mengaji mereka jadi lebih memahaminya. Dengan cara menulis, lalu membacanya. Kemudian, mengartikannya.
Penekanannya, bukan hafalannya. Hafalan sah-sah saja. Namun, kaidah tajwid akan hak-hak huruf harus diperhatikan. Ketepatan kata, juga harus diperhatikan. Musyrikin dulu, baru muslimin. Misalnya, seperti itu.
Yuk buka kitab fiqih kita. Lalu, tulis bacaan sholat itu. Pahami maknanya. Dan, perhatikan hak-hak huruf tersebut. Tujuannya agar kita mengetahui dan memahami betapa dahsyat bacaan sholat itu. Waallahu’alam.
Semarang, 26 November 2018
Recent Comments