Idul Fitri Di Saat Pandemi Covid-19
Oleh Agung Kuswantoro
Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal” (QS. at-Taubah:51).
Malam Ahad (23/5/2020) umat Islam akan mengumandangkan takbir. Di penjuru dunia takbir, tahmid, dan tahlil bergema. Ramai dan hanyut, suara tersebut. Namun, untuk tahun ini, pelaksanaan Idul Fitri, ada yang berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Apa yang membedakan Idul Fitri tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya? Yaitu, Idul Fitri dalam suasana pandemi Covid-19. Kementerian Agama menganjurkan untuk sholat di rumah bagi daerah yang berzona merah, tidak berziarah ke makam, dan bersilaturahmi melalui media sosial.
Idul Fitri bukan dimaknai “pelonggaran” atau relaksasi, dan kebenaran mutlak. Namun, ada koridor atau aturan dalam pelaksaaan Idul Fitri. Makan, bukan sebanyak-banyaknya. Minum, bukan semengalirnya-ngalirnya. Dan, memakai baju dengan semahal-mahalnya. Hal ini, sangat keliru.
Nabi Muhammad SAW bersabda “Bahwa Idul Fitri, bukanlah untuk mereka yang berpakaian serba mewah. Tapi Idul Fitri itu bagi mereka yang ketaatan dan kepatuhannya meningkat”.
Makna hadis tersebut yaitu Idul Fitri, bukan dimaknai bebas tanpa batas. Bebas harus memperhatikan norma. Terlebih, dalam keadaan ada wabah pandemi Covid-19. Tetap menjaga protokoler kesehatan dengan cara memakai masker, menjaga jarak, tidak bersalaman, dan cuci tangan.
Hukumnya wajib menjaga protokoler kesehatan. Mengapa wajib menjaga protokoler kesehatan? Karena kita sedang berikhtiar. Covid-19 ini, sangat berat. Bisa melumpuhkan perekonomian dan sektor lainnya, seperti pariwisata, transportasi, pendidikan, sosial, dan budaya. Dan, belum ada tanda-tanda berakhir Covid-19 di dunia ini hilang.
Untuk menghadapi Covid-19 dibutuhkan ikhtiar/usaha yang diimbangi dengan sifat sabar. Sabar adalah salah satu hasil didikan di ‘sekolah’ Ramadhan. Sabar adalah salah satu ajaran pada bulan suci Ramadhan. Puasa itu harus sabar. Ada ketentuannya, kapan makan dan tidak makan. Itulah sabar. Nabi Muhammad SAW mengatakan “Tidaklah seseorang diberikan pemberian yang lebih baik dan luas daripada sifat sabar (HR. Bukhori dan Muslim).
Idul Fitri mengantarkan seseorang kepada “kemenangan sejati”. Kata Id , artinya kembali. Fitri, artinya suci. Kembali kepada kesucian, itu makna secara lafal Idul Fitri. Hakikat manusia adalah suci. Lahir, tanpa dosa. Kesuciannya, diwujudkan dengan suara tangis saat lahir. Namun, dalam perjalanan hidupnya, ia/manusia mengalami fluktuatif/naik turun, keimanan dan (buruk dan baik), akhlaknya. Tidak selalu naik iman dan selalu baik akhlaknya. Karena, memang tabiat sebagai manusia. Oleh karenanya, di hari yang baik ini, mari membuka diri kita untuk saling memaafkan. ‘Tiket’ memaafkan, hanya sederhana, yaitu ikhlas. Mulut bisa jadi, mudah mengatakan ikhlas atas kesalahan orang lain yang diperbuat kepadanya. Tetapi, hati belum tentu merelakan atas kesalahan orang tersebut kepadanya.
Ajaklah diri sendiri untuk memaafkan. Yang merasa muda minta maaf kepada orang tua. Anak meminta maaf kepada ibu. Adik meminta maaf kepada kakak. Dan, istri meminta maaf kepada suami. Dengan ucapan “Mohon maaf atas kesalahan yang saya lakukan baik yang disengaja dan tidak disengaja”. Lalu, sambutlah ucapan itu oleh suami, kakak, ibu, dan orang yang lebih tua akan mengatakan “Saya terima maafmu, Nak, Mas, Dik, dan sebutan lainnya, dengan lapang dada dan tulus”.
Meminta maaf, tidak harus melihat status seseorang. Imam meminta maaf kepada makmum. Presiden meminta maaf kepada rakyat. Ustad meminta maaf kepada santri. Dan, kiai meminta maaf kepada masyarakatnya.
Demikian juga, orang yang hidup meminta maaf atau mendoakan kepada yang telah meninggal. Bisa jadi yang meninggal adalah bapak, ibu, dan guru kita. Dimana, untuk saat ini, yang mendoakan masih hidup. Kelak, yang mendoakan pasti akan meninggal dunia pula.
Hanya surat al-Fatihah-lah yang bisa disampaikan oleh yang meminta maaf. Maaf bisa terucap, namun yang bersangkutan telah meninggal. Sehingga, hanya doa yang bisa disampaikan kepada almarhum tersebut.
Marilah menjadi hamba yang ‘bergelar’ fa’izin. Pada hari ini, ada beberapa orang sedang mendapatkan ‘gelar’ fa’izin. Arti fa’izin adalah bahagia. Bahagia, karena batinnya tenang. Batin tenang karena, telah “digodok” atau lulus setelah beribadah di bulan Ramadhan. Karena, belum tentu orang berpuasa dan beribadah dengan baik pada bulan Ramadhan.
Ada yang mengatakan, bahwa Idul Fitri itu bagi orang yang berpuasa. Hal ini, karena orang tersebut telah beribadah di bulan Ramadhan. Sedangkan, lebaran itu bagi orang siapa saja. Termasuk, bagi orang yang tidak berpuasa dan tidak beribadah di bulan Ramadhan. Karena, lebaran identik dengan budaya, yaitu budaya mudik, halal bihalal, dan salam-salaman.
Semoga ibadah kita selama bulan Ramadhan diterima oleh Allah SWT. Dan, Allah mengampuni segala dosa-dosa kita yang pernah kita lakukan pada bulan mulia tersebut. []
Ada beberapa simpulan dari tulisan ini, yaitu:
1. Idul Fitri tahun ini berbeda dengan tahun yang sebelum-belumnya. Berbeda karena adanya Covid-19. Karena berbeda, sehingga umat Islam harus sabar di era pandemi Covid-19. Sabar adalah “buah” atau hasil didikan dari ibadah puasa.
2. Idul Fitri, bukan bermakna kebebasan tanpa batas. Atau, relaksasi. Namun, Idul Fitri dimaknai kemenangan sejati atas maksiat dan perbuatan buruk yang telah ditinggalkan selama bulan Ramadhan.
3. Umat Islam harus ikhtiar agar tidak terjangkit/terkena virus Covid-19. Ikhtiar sebagai bentuk ketaatan dan kepatuhan kepada Allah SWT.
4. Semoga kita menjadi hamba yang ‘bergelar’ fa’izin. Artinya, hamba yang bahagia karena telah merelakan dan mengikhlaskan kesalahan dirinya, dan mengikhlaskan kesalahan orang lain yang telah dilakukan kepadanya.
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk sesama manusia. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1441 Hijriah. Mohon Maaf, lahir dan batin. []
Semarang, 22 Mei 2020
Ditulis di Kantor UPT Kearsipan UNNES jam 10.00 – 11.30 WIB.
Recent Comments