Menjadi Orang Tua Bijak
Oleh Agung Kuswantoro
Pandemi Covid-19 menjadikan orang tua berkesempatan untuk berkumpul dengan anak yang di rumah. Kondisi pandemi Covid-19 yang mengharuskan mengurangi mobilitas dan mengurangi bekerja di kantor menjadikan orang tua melakukan aktivitasnya di rumah.
Demikian juga, anak yang sedang bersekolah mengharuskan Pembelajaran Jarak Jauh/PJJ, sehingga dapat dilakukan di rumah. Bertemunya antara orang tua dan anak di rumah saat pandemi Covid-19 adalah momentum yang “langka” bagi kedua orang tuanya yang sibuk bekerja. Saat inilah, waktu yang tepat agar menjadi orang tua yang bijak.
Adalah Ayah Edi yang mengajarkan kepada kita agar orang tua dalam mendidik tanpa ada teriakan dan bentakan. Kurangilah marah. Kalau bisa: Jangan marah. Adapun efek oroang tua yang marah yaitu: (1) menyebabkan tekanan darah; (2) “ledakan” marah memperbesar resiko serangan jantung; (3) resiko strok meningkat; (4) merusak paru-paru; (5) memicu stres dan kesedihan; (6) depresi; dan (7) memperburuk gangguan kecemasan (hal. 45-46).
Oleh karenanya dalam masalah marah, perlu ada manajemennya. Ada istilah anger management. Rumus dari anger management adalah pikiran, ucapan, dan respon harus baik. Ketika pikiran buruk, maka kalimat yang diucapkan menjadi buruk, kasar, dan menyakitkan. Dampaknya, respon orang yang mendengar menjadi negatif atau perbuatan yang menimbulkan konflik.
Setiap orang tua harus mengetahui, memahami, dan mempraktikkan anger management yang baik. Dimulai dari sesuatu yang baik. Minimal, pikirannya. Karena, pikiran akan berdampak pada perbuatan dan ucapan. Perbuatan adalah sesuatu yang dapat dilihat orang lain. Demikian juga, ucapan adalah sesuatu yang didengar oleh orang lain. Dampak dari pikiran, perbuatan, dan ucapan adalah respon atau reaksi orang lain dari apa yang dipikirkan, diperbuat dan diucapkan tersebut.
Menjadi orang tua yang bijak selain dengan memahami anger management, juga dapat dilakukan dengan komunikasi yang efektif antara anak dengan orang tua. Komunikasi yang baik dapat dilihat dari kalimat yang disampaikan orang tua kepada anak. Minimal orang tua menggunakan kalimat penghargaan dan penguatan.
Contoh kalimat penghargaan: “Wah, bagus sekali kamu melakukan itu”; “Terima kasih, kamu sudah menepati janji”; Papa berterima kasih, kamu mau berusaha”; “Mama bahagia, kamu sudah mau berubah”: “Papa bangga karena anak Papa berani jujur; dan kalimat-kalimat penghargaan lainnya.
Contoh kalimat penguatan: “Mama yakin kamu mampu mengatasinya. Tidak perlu khawatir”; Hati kecil Mama yakin kamu itu anak yang baik. Soalnya, sewaktu kecil kamu itu baik sekali”; “Anakku, tidak ada orang yang berhasil tanpa pernah gagal”, dan kalimat-kalimat penguatan lainnya.
Orang tua juga harus menghindari kalimat-kalimat negatif kepada anak, karena kalimat negatif akan meninggalkan kesan dan luka yang lama pada diri seorang anak. Bahkan, bisa jadi tertanam dalam benaknya sepanjang hidup (hal. 66).
Contoh kalimat negatif: “Begitu saja gak bisa, kamu bisanya apa sih?”; “Dasar anak bandel! Anak nakal! Ngak pernah nurut sama orang tua!”; “Sudah dibilangi berkali-kali, ngak berubah. Mau jadi apa, kamu nanti?”, dan kalimat-kalimat negatif lainnya.
Ada dua “kunci” agar kita menjadi orang tua yang bijak, tidak marah, dan membentak kepada anak adalah (1) mampu me-manage/mengelola marah dan (2) komunikasi yang efektif. Sekali lagi pikiran orang tua harus baik dulu terhadap anak, lalu katakan (baca:komunikasikan) yang lembut kepada anak. Semoga kita menjadi orang tua yang bijak itu. Amin. [].
Semarang, 23 Juli 2021
Ditulis di rumah, jam 19.00-19.30 WIB.
Recent Comments