Archive for ◊ August, 2021 ◊

• Friday, August 20th, 2021

Selalu Bersyukur Pada Masa Pandemi Covid-19
Oleh Agung Kuswantoro

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. Mereka itulah yang mendapatkan keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabbnya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. al-Baqarah:155-157).

Alhamdulillah atas izin Allah Swt kita masih diberikan kenikmatan untuk beribadah di rumah dan Masjid. Kita masih berkumpul dengan keluarga untuk mengaji dan beribadah bersama keluarga.

Dalam satu pekan ini, kita disibukkan dengan: (1) Perayaan 17 Agustus/Hari Kemerdekaan; (2) Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa baru (PKKMB); dan; (3) Perayaan 10 Muharrom.

Ada beberapa catatan dalam “aktivitas” di atas yaitu: pertama, bersyukur. Bersyukur karena sedang melakukan aktivitas tersebut dengan kondisi badan yang sehat dan lingkungan yang mendukung. Meskipun, dalam masa pandemi Covid-19 ini, kita masih bisa beraktivitas dengan protokol kesehatan yang ketat.

Sikap seorang muslim pada masa pandemi Covid-19 ini adalah menerima keadaan apa adanya. Kita sering mendengar kalimat “disyukuri saja”. Artinya, diterima saja, keadaannya. Maksudnya adalah semakin menerima keadaan, semakin baik dan akan ditambah rizkinya.

Keadaan pandemi Covid-19, bukan harus ditolak/dibuat resah dan susah. Keadaan pandemi Covid-19 ini harus diterima oleh siapapun, baik orang yang beriman dan tidak beriman.

Bentuk syukur orang beriman saat pandemi Covid-19 adalah masih melakukan aktivitas sesuai dengan bidang kepakaran dan pekerjaan kita, seperti: dosen disibukkan dengan tri dharmanya, tenaga kependidikan/tendik disibukkan dengan pekerjaan rutin fungsionalnya, pimpinan (Universitas, Fakultas, Biro, Bagian, dan unit kerja lainnya) disibukkan dengan agenda kegiatan yang harus dicapai.

Artinya: orang yang bersyukur itu masih sibuk dengan diri sendiri, pekerjaan, dan lembaganya. Ia sibuk untuk berinovasi: bagaimana caranya agar pekerjaan/kegiatannya dapat terselesaikan, walaupun masa pandemi Covid-19.

Aturan bakunya saat pandemi Covid-19 adalah dilarang berkerumum, maka muncullah inovasi “daring”. Ada PKKMB daring, rapat melalui zoom meeting, pembelajaran melalui elena, dan pekerjaan kantor yang bersifat “maya/virtual”.

Bagi seorang yang bersyukur, apapun keadaannya harus diterima. Karena dibalik setiap peristiwa, terkandung suatu hikmah yang (bisa jadi) kita tidak mengetahuinya. Bisa jadi kreativitas kita, muncul dalam keadaan seperti ini.

Kedua, selalu menggunakan hati. Yang membedakan seorang beriman dengan tidak beriman adalah keterlibatan hati. Salah satu indikator iman yaitu: pembenaran dalam hati. Jika seorang ilmuwan, (bisa jadi) masih dan sering menggunakan pembenaran akal saja.

Mari, kita lihat pembenaran hati yang sederhana. Pandemi Covid-19 ini atas izin Allah Swt. Makhluk/ciptaan Allah yang bernama Covid-19 adalah hasil ciptaan Allah. Sebagai orang beriman harus mempercayainya akan ciptaan Allah Swt tersebut. Yakinlah, ciptaan tersebut ada.

Kita harus pandai menyikapinya sesuai dengan keadaan dan sifat makhluk tersebut. Sama halnya: setan, jin, dan malaikat itu ciptaan Allah. Ciptaan itu ada adanya.

Alhamdulillah, hingga saat ini kita bisa menyikapinya. Misal dari mulut kita saatakan beraktivitas/bekerja menyatakan “Bismillahirrahmanirrahim” dan diakhiri dengan kalimat “Alhamdulillahirobbil ‘alamin”.

Dampak dari kalimat tersebut adalah malaikat mendekat, setan menjauh. Sederhana saja, melakukan aktivitas yang dengan hati melalui ucapan Bismillahirrahmanirrahim” dan “Alhamdulillahirobbil ‘alamin.

Jika kita melakukan dengan hati, maka pikiran dan ucapan pun akan lebih mudah dalam menjalankan setiap pekerjaan. Hati baik dulu, Insya Allah mulut dan pikiran akan baik juga.

Orang yang hatinya baik; maka ia akan “anggun” dalam berucap dan “santun” berbuat. Karena, didalam hatinya, ada nama Allah – sebagai Tuhan – yang selalu dibesarkan dalam aktivitasnya.

Sebaliknya: orang yang beraktivitas tidak menggunakan hati, orang tersebut biasanya: mudah marah, terprovokasi, ngersulo, mengajak yang tidak baik, mudah menyerah, menyalahkan keadaan dan “protes” terhadap ciptaan Allah.

Keadaan pandemi Covid-19 yang disalahkan; pekerjaan tidak selesai, pimpinan yang disalahkan, tujuan tidak tercapai, dan teman setim yang disalahkan. Itulah bentuk-bentuk bekerja yang tidak menggunakan logika hati.

Terakhir, ketiga. Sabar. Sabar adalah salah satu kunci orang yang beriman. Setiap awal, pasti ada akhir; setiap pertemuan, pasti ada perpisahan; setiap kelahiran, pasti ada kematian; dan setiap kehidupan, pasti ada kematian.

Dari fase-fase tersebut, ada sikap yang bernama “sabar”. Sabar ada dalam kesedihan dan kesenangan, pertemuan dan perpisahan, hidup dan mati.

Artinya: keadaan pandemi Covid-19, pasti akan berakhir. Bisa jadi, keadaan pandemi Covid-19 ini pertama kali seumur hidup, kita baru merasakan. Artinya: bisa jadi puluhan dan ratusan tahun lalu belum terjadi pandemi. Baru akhir tahun 2019 terjadi pandemi.

Sabar adalah kunci sebuah keberhasilan. Dalam sabar, ada usaha yang optimal dan harapan yang baik untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat.

Sabar orang yang beriman: selalu menjaga lisan, hati, dan perbuatan. Tenang hatinya adalah bagian dari orang yang bersabar.

Keberhasilan dalam suatu keadaan dapat dilihat “seberapa besar” sabar seseorang dalam menghadapi masalah. Nabi Muhammad SAW saat peristiwa 1 Muharram/Hijriah di Gua Tsur bersabar ketika ada orang yang ingin membunuhnya. Nabi Muhammad SAW tidak ketakutan. Tetapi, justru berdoa kepada Allah. Artinya, dalam kesabaran itu ada doa, harapan, dan tujuan yang ingin dicapai.

Sebagai penutup: penulis mengajak kepada pembaca untuk: (1) selalu bersyukur; (2) selalu menggunakan hati; dan (3) bersabar. Ketiga “kunci” ini adalah kesuksesan hidup kita di dunia dan di akhirat. Semoga bermanfaat khutbah ini.[]

Semarang, 19 Agustus 2021
Ditulis di Rumah jam 02.15 – 03.00 WIB.

• Tuesday, August 17th, 2021

Mengenalkan Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Salafiyah Kauman Pemalang ke Anak

Oleh Agung Kuswantoro

 

Waktu terus berjalan tiap hari itu kepastian. Umur pasti bertambah tiap hari itu juga, suatu kepastian. Namun, bagaimana memanfaatkan waktu dan umur yang pasti berjalan ini?

 

Sebagai orangtua dan orang yang ingin dan berharap anak memiliki masa depan yang baik di dunia dan akhirat, saya ingin mengenalkan Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah ke anak.

 

Adalah Mubin dan Syafa, kedua anak lelaki saya. Saya dan istri belajar menjadi orangtua yang mengenalkan ilmu ke anak. Saya dan istri, bukanlah orang yang pintar. Demikian juga iman. Iman saya dan istri masih jauh dari sempurna. Saya dan istri mengenalkan iman ke anak, semampunya. Sama-sama belajar.

 

Untuk kali ini, kami (saya dan istri) mengenalkan Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Salafiyah ke kedua anak saya. Melihat lingkungan masyarakat sekitar saya tinggal di Semarang, “kelihatannya” tidak mungkin untuk bisa belajar ilmu agama dan ilmu lainnya. Sehingga, perlu lingkungan lain yang mendukung dalam belajar.

 

Pesantren adalah solusi lingkungan itu. Saya adalah alumni di Salafiyah kauman Pemalang. Saya memang tidak mondok di Pondok Pesantren yang terletak di “jantung” kota Pemalang. Namun, saya pernah Madrasah dari Diniyah Wustho hingga Ulya (1995-2001).

 

Kehidupan saya juga tidak terlepas dari Madrasah Diniyah Salafiyah, dimana saya ngaji kitab di Pondok Pesantren Salafiyah mulai dari pagi hingga malam. Pagi hari ada jam ngaji/kajian jam 05.30- 06.00 WIB. Kemudian, saya sekolah umum (SMP 1 Pemalang dan SMA 3 Pemalang) pukul 07.00 -13.30 WIB.

 

Usai sekolah umum (SMP dan SMA), saya belajar di Madrasah Diniyah Salafiyah jam 14.00 WIB -17.00 WIB. Lalu, Pulang rumah sebentar. Jam 18.00-21.00 WIB saya ngaji/kajian lagi di Salafiyah dengan kitab-kitab klasik khas Pondok Pesantren, seperti: Mukhtarolhadis, Bulughul Marom, Fiqih Wadi’, Hidayatussibyan, Khulasoh Nurul Yaqin, Tafsir Jalalain, Juz ‘Amma, Jur Miyah, Amrithi, Alfiayah, Amtsilatu Tasrif, Faroid, Akhlaqul Lilbanin, Arbain Nawawi, dan kitab lainnya. Sedangkan pada kajian malamnya berupa kitab: Irsyadul ‘Ibad, Fathul Mu’in, Sullamultaufiq, Tanbihul Ghofilin, dan kitab lainnya.

 

Alhamdulillah, proses kehidupan mencari ilmu ini berlangsung antara rumah, sekolah umum, dan Madrasah Diniyah Salafiyah itu dekat. Rumah saya yang di Pelutan Pemalang kebetulan berada di perkotaan. Jadi, saya cukup bermodal sepeda ontel dan jalan kaki untuk transportasi diantara ketiga tempat tersebut.

 

Sebelum masuk Madrasah Diniyah Salafiyah, saya menjadi santri Madrasah Diniyah Hidayatussibyan selama 4 tahun di daerah Pelutan Wetan (Timur). Di Madrasah Diniyah Hidayatussibyan inilah, saya dikenalkan ilmu dasar mulai dari Tauhid, Fiqih, Bahasa Arab, Tajwid, Imla, Hadist, Akhlak, Alquran, Khot, dan ilmu-ilmu lain dengan kitab seperti ‘Aqidatul ‘Awwam, Hidatussibyan, Tarikhunnabi Muhammad, dan kitab lainnya.

 

Jadi, jika saya hitung 10 tahun, saya “menimba” (baca:menuntut) ilmu di Madrasah Diniyah. 4 tahun di Madrasah Diniyah Hidayatussibyan dan 6 tahun di Madrasah Diniyah Salafiyah Kauman Pemalang.

 

Rasanya, saya bersyukur sekali saya bisa berkenalan dengan Madrasah Madrasah; memahami dengan ilmu; dekat dengan Ustad/Ustadah dan Kiai Salafiyah di kota yang berjulukan “Ikhlas”.

 

Pastinya pula, hal ini terjadi karena tuntunan orangtua yang mengarahkan ke ilmu sebagai dasar hidup.  Sekarang, saya jadi orangtua. Mengingat masa lalu saya yang seperti itu, saya mencoba mengajak anak saya untuk berkenalan dengan ilmu, salah satunya melalui Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah.

 

Waktu yang singkat hanya 2 hari saya pulang kampung di Pelutan Pemalang, saya gunakan untuk “piknik” ilmu dengan berkunjung ke Madrasah Diniyah Salafiyah. Saya, istri, dan kedua anak saya datang ke Salafiyah pukul 15.45 WIB dimana ada pembelajaran kelas sedang berlangsung.

 

Memang moment/peristawa pembelajaran sedang berlangsung itulah yang kami cari untuk mengenalkan Madrasah Diniyah. Dimana, selama ini yang kami lakukan Madrasah Diniyah di Semarang itu berbeda sekali dengan Madrasah Diniyah yang “sesungguhnya”.

 

Minimal Madrasah Diniyah Salafiyah-lah sebagai contoh untuk anak saya mengenai “gambaran” sebuah Madrasah Diniyah. Dimana, banyak Santri-Santriwati lalu lalang membawa kitab, Santri-Santriwati yang saling merunduk saat bertemu Ustad-Ustadah dan Kiai, serta Ustad-Ustadah yang disiplin saat masuk ke kelas pada jam pembelajaran tiba.

 

Selain itu, kedua anak saya melihat berjejer kitab yang ada di ruang Ustad-Ustadah, mendengar Ustad-Ustad, Kiai dan Santri-Santriwati sedang melafalkan nadzom, dan melihat Santri-Santriwati mengabsahi kitab. “Pemandangan” seperti itulah yang langka untuk kedua anak saya.

 

Masuk ke Kelas

Pada saat saya datang ke Madrasah Diniyah, saya bertemu dan diajak diskusi oleh Kiai Romadlon, Ustad Syakhu, Ustad Salman Faris, dan Ustad yang lain di kantor. Saya menyampaikan apa adanya, jika kami datang ke sini adalah mengenalkan Madrasah Diniyah ke anak. Harapannya, kelak anak saya bisa mondok di Salafiyah.

 

Kiai Romadlon pun memberikan respon yang sangat bagus. Saya langsung diajak masuk ke dua kelas yaitu Kelas Putra dan Putri (Kelas III.2 Wustho dan Kelas III.1 Wustho).

 

Kelas yang diampu oleh Kiai Romadlon, saya diminta oleh beliau untuk berkenalan dan memberikan motivasi ke kelas. Saya pun meng-iya-kan dan menjalankan pesan ke Santri. Bukan di Madrasah Diniyah (baca:lembaga pendidikan), jika tanpa memberikan pertanyaan atau quiz. Dua kelas yang saya kunjungi, saya memberikan masing-masing satu pertanyaan.

 

Pertanyaan di kelas II Wustho Putra: coba lanjutkan nadzom Tajwid berikut ini:”Shifdza tsanaa kam jaada syahshung qod sama”. Terus saya berhenti, bilang ke Santi: “Siapa yang bisa tunjukkan jari?”. Adalah Santri Noval Romadon yang bisa melanjutkan dari salah satu bait syiir dari kitab Hidayatussibyan bab Ihfa.

 

Dilanjut di kelas III Wustho Putri, dimana waktu pelajarannya bahasa Arab yang sedang “kosong” pembelajaran karena Kiai Asrori belum lama ini meninggal dunia. Di kelas tersebut saya memberikan pertanyaan mengenai bahasa Arab dengan melanjutkan dari apa yang saya baca: “qola qoolaa qooluu”. Adalah Santriwati Kartika Maharani yang berhasil dan benar melanjutkan tasrifan qoola qoolaa qooluu hingga qultu qulna. Santri Noval Romadon dan Santriwati Kartika Maharani, saya hadiahi buku karangan saya yang berjudul “Bicara Islam di Sekitar Kita” (2020).

 

Alhamdulillah sekali saya bisa bertemu dengan orang-orang berilmu di Salafiyah, waktu itu. Padahal, kunjungan saya yang tanpa direncanakan—tidak diketahui akan untuk menemui siapa—dan ada/atau tidaknya pembelajaran di kelas Salafiyah.

 

Saya hanya niat, ingin melihat proses pembelajaran Madrasah Diniyah Salafiyah, ternyata mendapatkan hikmah yang sangat banyak. Tidak menyangka, bisa bertemu Kiai Romadlon, Ustad Syaikhu, Ustad Salman, dan Ustad lainnya.

 

Selain itu, melihat proses pembelajaran Madrasah Diniyah secara langsung di kelas dan saya terlibat dalam pembelajaran di dua kelas. Subhanallah, kalimat yang saya bisa terucap atas kejadian ini. Intinya, Allah yang mengatur.

 

Melalui tulisan ini yang ingin mengucapkan secara khusus kepada Kiai Romadlon yang telah memberikan kesempatan kepada saya, istri, dan kedua anak untuk melihat Madrasah Diniyah hingga masuk ke kelas mengenalkan saya ke Santri-Santriwati untuk memotivasi belajar Santri-Santriwati.

 

Terima kasih pula saya sampaikan kepada Ustad Syaihu, Ustad Salman, Nyai Uswatun, dan Ustad-Ustadah Salafiyah Kauman Pemalang yang telah menerima dan memberikan kesempatan kepada saya untuk “piknik” ilmu Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah. Semoga Allah meridoi dan memberkahi pertemuan ini. Amin. [].

 

Pemalang, 15 Agustus 2021

Ditulis di Rumah Pelutan Pemalang, jam 04.45-05.10 WIB. Diedit di Semarang, jam 20.00 WIB.

• Sunday, August 01st, 2021

Berkurban di Masa Pandemi Tahun 2021

Oleh Agung Kuswantoro

 

Idul Kurban tahun 2021/1442 Hijriah ini—jatuh pada tanggal 20 Juli 2021/10 Dzulhijjah 1442—berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Biasanya perayaan Idul Kurban itu sangat ramai. Ada penyembelihan hewan kurban dan Masjid ramai.

 

Kondisi yang sepi karena kondisi masih pandemi Covid-19. Edaran pemerintah dan MUI/Majlis Ulama Indonesia mengatakan agar Masjid tidak menyelenggarakan solat Id, dikarenakan menimbulkan kerumunan. Demikian juga penyembelihan hewan kurban dilakukan harus ketat dengan protokol kesehatan.

 

Bagi saya keadaan tersebut bisa dimaklumi dan dipahami secara bersama, karena keadaan sedang susah, maka tidak masalah menerima kondisi seperti itu. Namun, beberapa kalangan masyarakat kondisi Idul Kurban yang “sepi” terasa tidak menerima.

 

Mereka menginginkan sama dengan tahun-tahun sebelumnya yang ramai. Jadi, mereka tetap menginginkan Masjid tetap ramai, kumpulan orang saat menyembelih tetap dilaksanakan, anak-anak kecil berkumpul saat penyembelihan juga tetap ada. Mereka melakukan sama sekali, tanpa ada unsur protocol kesehatan. Mereka tanpa menggunakan masker, menjaga jarak, dan rajin mencuci tangan.

 

Keadaan Idul Kurban yang seperti ini, menurut saya adalah ujian bagi orang yang beriman dan berilmu di tengah kalangan beberapa masyarakat yang masih berpikiran dan melakukan Idul Kurban yang “acuh tak acuh” atau “cuek” di masa pandemi Covid-19.

 

Lalu, bagaimana sikap kita yang tidak setuju dengan sebagian masyarakat tersebut? Diam saja. Ya, tetap tidak melakukan solat Id di Masjid, tetapi solat di rumah. Tidak datang ke tempat penyembelihan, karena banyak orang berkerumun. Intinya tetap menjaga diri, keluarga, dan masyarakat dengan taat protokol kesehatan.

 

Doakan saja orang yang berbeda pendapat dengan kita agar kelak suatu saat menerima ilmu. Orang yang berilmu, pasti perilakunya berbeda dengan orang yang tidak berilmu. Orang berilmu lebih cenderung menggunakan pikirannya. Tidak banyak bicara. Diam. Sehingga, saat berbeda dalam perayaan Idul Kurban bukanlah sesuatu yang lebih. Namun, dianggap biasa. [].

 

Agung Kuswantoro, dosen pendidikan ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang dan penulis buku pendidikan serta bertema sosial. Email: [email protected]. HP/WA: 08179599354.

• Sunday, August 01st, 2021

“Vaksin” Literasi

Oleh Agung Kuswantoro

 

Berteman, tak asal berteman. Berkumpul, tak asal berkumpul. Masih ingatkah kalimat bijak: ”berkumpullah dengan penjual minyak wangi. Jika Anda tidak membeli minyak wanginya, maka tetap akan berbau wangi.” Kurang lebih seperti itu, kalimat hikmahnya.

 

Saya merasakan betul, bahwa dalam berkumpul dengan orang tidak asal kumpul. Cek dulu, orang ada dalam kumpulan tersebut. Minimal, “berbau” ilmulah orang yang ada dalam kumpulan tersebut. Jika orang yang berkumpul itu tidak berilmu, maka “maksiat” atau “ucapan” tak bermanfaat yang ada dalam kumpulan tersebut.

 

Maaf, bukan berarti saya itu milih-milih teman. Tapi, lebih selektif saja dalam memilih seorang teman. Karena, teman akan mengantarkan akan ke arah kebaikan dan keburukan. Jadi, berteman bukan berarti ke arah kebaikan. Namun, sangat mungkin ke arah negatif. Bisa juga, seperti itu. Belum lagi, waktu yang hilang saat berkomunikasi/berkegiatan dalam pertemanan tersebut.

 

Beberapa hari yang lalu saya menerima 5 buku antologi dari komunitas “Sahabat Pena Kita”. Komunitas ini sangat “kuat” dalam berliterasi. Orang yang tergabung dalam komunitas ini memiliki kewajiban menulis setiap bulan (setoran wajib dan sunah). Jika diantara anggotanya tidak mengirimkan setoran wajib selama tiga kali, maka dikeluarkan dalam komunitas tersebut. Hasil kumpulan dari para anggota tersebut, dibukukan dalam sebuah karya buku.

 

Saya baca isinya dari buku yang saya terima itu bagus sekali. Pesannya dari masing-masing penulis memiliki gaya/karakter dalam menulis dan menyampaikan pesannya. Background/latar budaya, pendidikan, dan kemampuan tiap penulis sangat terlihat sekali.

 

Saya sebagai orang awam dalam berliterasi, melihat keadaan seperti ini menjadikan semangat untuk saya agar lebih banyak mambaca dan mempertajam menulisnya. Karena, membaca tanpa menulis itu tetap kurang. Membaca saja, itu ada yang kurang. Kurangnya, ditulis dari apa yang dibaca. Sedangkan menulis tanpa membaca, pasti tulisannya terasa “hambar” tanpa pesan yang “kuat”.

 

Melalui komunitas inilah kita akan mendapatkan “vaksin” antar teman. Melihat tulisan teman yang diposting di grup, menjadikan “cambuk” untuk membaca dan membuat tulisan. Jadi, alur/prosesnya bisa membaca dulu, baru menulis. Atau, menulis dulu. Baru, membaca. Terserahlah memilih yang mana, asal sinergi antara membaca dan menulis.

 

Komunitas literasi adalah “vaksin” bagi anggota untuk semangat menjaga budaya membaca. Mengingat budaya membaca pada masa serba digital dan video, menjadikan malas untuk membaca. Orang cenderung lebih suka melihat dan mendengar. Padahal, membaca itu awal dari sebuah kemampuan untuk menjadi pintar/pandai.

 

Lihatlah perintah Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw dimana perintah pertama dari wahyu yang turun adalah membaca, membaca, dan membaca. Tahapan membaca dulu. Dalam membaca ada yang namanya mengeja. Setelah bisa mengeja, baru membaca per kata, kalimat, paragrf, subjudul, judul, dan tema.

 

Dalam membaca pun ada keterampilannya. Sehingga, bagi orang yang sering atau banyak membaca, maka menjadi “lincah” dalam membaca dan mudah menangkap pesan yang telah dibaca. Kemudian dilanjut dengan keterampilan menulis. Untuk tulisan ini, saya  tidak membahas dalam keterampilan menulis.

 

Kembali lagi ke tema “vaksin”. Jadi begini, dengan adanya teman yang “selektif” atau berilmu menjadikan kita belajar menjadi orang yang berilmu pula. Ilmu pun harus selektif. Karena, ada orang yang hanya pandai bicara, tapi lemah mempraktikkan dari yang diucapkan.

 

Artinya: ada orang yang pandai menulis, tapi tidak sesuai dengan kemampuan yang ditulis. Bisa jadi, ia meminta “pihak” lain untuk menuliskannya. Berarti, kurang pas jika ada orang yang seperti itu. Menurut saya.

 

Jadi, karaker anggota dalam sebuah komunitas juga perlu dipahami. Jangan asal gabung ke sebuah komunitas saja, tanpa ada komitmen yang kuat. Karena orang yang seperti ini, jelas tidak akan mendapatkan “vaksin” literasi.

 

Singkat cerita, bergabunglah dalam sebuah perkumpulan yang dekat dengan  keilmuan. Hindari sebuah perkumpulan yang tidak berdasarkan ilmu. Pahami karakter masing-masing gaya membaca dan menulis tiap anggota perkumpulan tersebut. Pasti, Anda akan merasa malu, jika tidak aktif melakukan sebuah kegiatan yang ada dalam perkumpulan tersebut. Temukan “gaya”Anda dalam setiap tulisan/karya yang diposting/ditampilkan dalam perkumpulan tersebut. Saat Anda “malas” membuat tulisan/karya. Lalu, melihat tulisan orang lain dalam perkumpulan tersebut, muncullah perasaan untuk membaca dan menulis (baca:berkarya) berarti Anda sudah “divaksin” dalam perkumpulan tersebut. [].

 

Semarang, 1 Agustus 2021

Ditulis di Rumah, jam 11.00 – 11.30 WIB malam.