Mengenalkan Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Salafiyah Kauman Pemalang ke Anak
Oleh Agung Kuswantoro
Waktu terus berjalan tiap hari itu kepastian. Umur pasti bertambah tiap hari itu juga, suatu kepastian. Namun, bagaimana memanfaatkan waktu dan umur yang pasti berjalan ini?
Sebagai orangtua dan orang yang ingin dan berharap anak memiliki masa depan yang baik di dunia dan akhirat, saya ingin mengenalkan Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah ke anak.
Adalah Mubin dan Syafa, kedua anak lelaki saya. Saya dan istri belajar menjadi orangtua yang mengenalkan ilmu ke anak. Saya dan istri, bukanlah orang yang pintar. Demikian juga iman. Iman saya dan istri masih jauh dari sempurna. Saya dan istri mengenalkan iman ke anak, semampunya. Sama-sama belajar.
Untuk kali ini, kami (saya dan istri) mengenalkan Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Salafiyah ke kedua anak saya. Melihat lingkungan masyarakat sekitar saya tinggal di Semarang, “kelihatannya” tidak mungkin untuk bisa belajar ilmu agama dan ilmu lainnya. Sehingga, perlu lingkungan lain yang mendukung dalam belajar.
Pesantren adalah solusi lingkungan itu. Saya adalah alumni di Salafiyah kauman Pemalang. Saya memang tidak mondok di Pondok Pesantren yang terletak di “jantung” kota Pemalang. Namun, saya pernah Madrasah dari Diniyah Wustho hingga Ulya (1995-2001).
Kehidupan saya juga tidak terlepas dari Madrasah Diniyah Salafiyah, dimana saya ngaji kitab di Pondok Pesantren Salafiyah mulai dari pagi hingga malam. Pagi hari ada jam ngaji/kajian jam 05.30- 06.00 WIB. Kemudian, saya sekolah umum (SMP 1 Pemalang dan SMA 3 Pemalang) pukul 07.00 -13.30 WIB.
Usai sekolah umum (SMP dan SMA), saya belajar di Madrasah Diniyah Salafiyah jam 14.00 WIB -17.00 WIB. Lalu, Pulang rumah sebentar. Jam 18.00-21.00 WIB saya ngaji/kajian lagi di Salafiyah dengan kitab-kitab klasik khas Pondok Pesantren, seperti: Mukhtarolhadis, Bulughul Marom, Fiqih Wadi’, Hidayatussibyan, Khulasoh Nurul Yaqin, Tafsir Jalalain, Juz ‘Amma, Jur Miyah, Amrithi, Alfiayah, Amtsilatu Tasrif, Faroid, Akhlaqul Lilbanin, Arbain Nawawi, dan kitab lainnya. Sedangkan pada kajian malamnya berupa kitab: Irsyadul ‘Ibad, Fathul Mu’in, Sullamultaufiq, Tanbihul Ghofilin, dan kitab lainnya.
Alhamdulillah, proses kehidupan mencari ilmu ini berlangsung antara rumah, sekolah umum, dan Madrasah Diniyah Salafiyah itu dekat. Rumah saya yang di Pelutan Pemalang kebetulan berada di perkotaan. Jadi, saya cukup bermodal sepeda ontel dan jalan kaki untuk transportasi diantara ketiga tempat tersebut.
Sebelum masuk Madrasah Diniyah Salafiyah, saya menjadi santri Madrasah Diniyah Hidayatussibyan selama 4 tahun di daerah Pelutan Wetan (Timur). Di Madrasah Diniyah Hidayatussibyan inilah, saya dikenalkan ilmu dasar mulai dari Tauhid, Fiqih, Bahasa Arab, Tajwid, Imla, Hadist, Akhlak, Alquran, Khot, dan ilmu-ilmu lain dengan kitab seperti ‘Aqidatul ‘Awwam, Hidatussibyan, Tarikhunnabi Muhammad, dan kitab lainnya.
Jadi, jika saya hitung 10 tahun, saya “menimba” (baca:menuntut) ilmu di Madrasah Diniyah. 4 tahun di Madrasah Diniyah Hidayatussibyan dan 6 tahun di Madrasah Diniyah Salafiyah Kauman Pemalang.
Rasanya, saya bersyukur sekali saya bisa berkenalan dengan Madrasah Madrasah; memahami dengan ilmu; dekat dengan Ustad/Ustadah dan Kiai Salafiyah di kota yang berjulukan “Ikhlas”.
Pastinya pula, hal ini terjadi karena tuntunan orangtua yang mengarahkan ke ilmu sebagai dasar hidup. Sekarang, saya jadi orangtua. Mengingat masa lalu saya yang seperti itu, saya mencoba mengajak anak saya untuk berkenalan dengan ilmu, salah satunya melalui Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah.
Waktu yang singkat hanya 2 hari saya pulang kampung di Pelutan Pemalang, saya gunakan untuk “piknik” ilmu dengan berkunjung ke Madrasah Diniyah Salafiyah. Saya, istri, dan kedua anak saya datang ke Salafiyah pukul 15.45 WIB dimana ada pembelajaran kelas sedang berlangsung.
Memang moment/peristawa pembelajaran sedang berlangsung itulah yang kami cari untuk mengenalkan Madrasah Diniyah. Dimana, selama ini yang kami lakukan Madrasah Diniyah di Semarang itu berbeda sekali dengan Madrasah Diniyah yang “sesungguhnya”.
Minimal Madrasah Diniyah Salafiyah-lah sebagai contoh untuk anak saya mengenai “gambaran” sebuah Madrasah Diniyah. Dimana, banyak Santri-Santriwati lalu lalang membawa kitab, Santri-Santriwati yang saling merunduk saat bertemu Ustad-Ustadah dan Kiai, serta Ustad-Ustadah yang disiplin saat masuk ke kelas pada jam pembelajaran tiba.
Selain itu, kedua anak saya melihat berjejer kitab yang ada di ruang Ustad-Ustadah, mendengar Ustad-Ustad, Kiai dan Santri-Santriwati sedang melafalkan nadzom, dan melihat Santri-Santriwati mengabsahi kitab. “Pemandangan” seperti itulah yang langka untuk kedua anak saya.
Masuk ke Kelas
Pada saat saya datang ke Madrasah Diniyah, saya bertemu dan diajak diskusi oleh Kiai Romadlon, Ustad Syakhu, Ustad Salman Faris, dan Ustad yang lain di kantor. Saya menyampaikan apa adanya, jika kami datang ke sini adalah mengenalkan Madrasah Diniyah ke anak. Harapannya, kelak anak saya bisa mondok di Salafiyah.
Kiai Romadlon pun memberikan respon yang sangat bagus. Saya langsung diajak masuk ke dua kelas yaitu Kelas Putra dan Putri (Kelas III.2 Wustho dan Kelas III.1 Wustho).
Kelas yang diampu oleh Kiai Romadlon, saya diminta oleh beliau untuk berkenalan dan memberikan motivasi ke kelas. Saya pun meng-iya-kan dan menjalankan pesan ke Santri. Bukan di Madrasah Diniyah (baca:lembaga pendidikan), jika tanpa memberikan pertanyaan atau quiz. Dua kelas yang saya kunjungi, saya memberikan masing-masing satu pertanyaan.
Pertanyaan di kelas II Wustho Putra: coba lanjutkan nadzom Tajwid berikut ini:”Shifdza tsanaa kam jaada syahshung qod sama”. Terus saya berhenti, bilang ke Santi: “Siapa yang bisa tunjukkan jari?”. Adalah Santri Noval Romadon yang bisa melanjutkan dari salah satu bait syiir dari kitab Hidayatussibyan bab Ihfa.
Dilanjut di kelas III Wustho Putri, dimana waktu pelajarannya bahasa Arab yang sedang “kosong” pembelajaran karena Kiai Asrori belum lama ini meninggal dunia. Di kelas tersebut saya memberikan pertanyaan mengenai bahasa Arab dengan melanjutkan dari apa yang saya baca: “qola qoolaa qooluu”. Adalah Santriwati Kartika Maharani yang berhasil dan benar melanjutkan tasrifan qoola qoolaa qooluu hingga qultu qulna. Santri Noval Romadon dan Santriwati Kartika Maharani, saya hadiahi buku karangan saya yang berjudul “Bicara Islam di Sekitar Kita” (2020).
Alhamdulillah sekali saya bisa bertemu dengan orang-orang berilmu di Salafiyah, waktu itu. Padahal, kunjungan saya yang tanpa direncanakan—tidak diketahui akan untuk menemui siapa—dan ada/atau tidaknya pembelajaran di kelas Salafiyah.
Saya hanya niat, ingin melihat proses pembelajaran Madrasah Diniyah Salafiyah, ternyata mendapatkan hikmah yang sangat banyak. Tidak menyangka, bisa bertemu Kiai Romadlon, Ustad Syaikhu, Ustad Salman, dan Ustad lainnya.
Selain itu, melihat proses pembelajaran Madrasah Diniyah secara langsung di kelas dan saya terlibat dalam pembelajaran di dua kelas. Subhanallah, kalimat yang saya bisa terucap atas kejadian ini. Intinya, Allah yang mengatur.
Melalui tulisan ini yang ingin mengucapkan secara khusus kepada Kiai Romadlon yang telah memberikan kesempatan kepada saya, istri, dan kedua anak untuk melihat Madrasah Diniyah hingga masuk ke kelas mengenalkan saya ke Santri-Santriwati untuk memotivasi belajar Santri-Santriwati.
Terima kasih pula saya sampaikan kepada Ustad Syaihu, Ustad Salman, Nyai Uswatun, dan Ustad-Ustadah Salafiyah Kauman Pemalang yang telah menerima dan memberikan kesempatan kepada saya untuk “piknik” ilmu Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah. Semoga Allah meridoi dan memberkahi pertemuan ini. Amin. [].
Pemalang, 15 Agustus 2021
Ditulis di Rumah Pelutan Pemalang, jam 04.45-05.10 WIB. Diedit di Semarang, jam 20.00 WIB.
Recent Comments