Menata Diri (9)/Edisi Terakhir: Merasa Di-CCTV Oleh Allah Swt
Oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA.
Sikap mawas diri atau pengawasan melekat (muraqabah) merupakan salah satu ciri kalbu yang sehat. Ketika kita merasa selalu diawasi Allah Swt. dan malaikatnya yang ditempatkan didalam diri kita, saat itu kita sadar untuk mengontrol diri dengan mengawasi diri kita agar tidak melakukan sesuatu yang tidak wajar. Kesadaran yang tumbuh didalam kalbu karena merasa diawasi oleh Allah Swt. perlu dipertahankan, guna tujuan dan perjalanan hidup kita tercapai. Betapa tidak, CCTV Tuhan pasti jauh lebih canggih daripada ciptaan manusia.
Pemandangan pada hari kiamat: ketika orang ditanya tentang dosa dan kejahatannya di dunia, mereka berusaha menyangkal. Namun, penyangkalan tidak ada manfaatnya karena anggota badan yang pernah terlibat melakukan perbuatan itu berteriak memberikan kesaksian dan pengakuan: “Akulah yang melakukannya”, Misalnya, kaki mengatakan, “Aku yang melangkahkan kaki ke tempat maksiat itu”. Tangan mengungkapkan, “Aku yang memegang atau menandatanganinya,” Tenggorokan mengatakan, “Aku yang menelannya,” Perut berteriak, “Aku yang menampungnya,” dan seterusnya.
Ini semua menggambarkan kepada kita bahwa tidak ada kemungkinan kita bisa menyembunyikan kesalahan di hari Kiamat. Ada ulama yang menggambarkan bahwa darah yang mengalir dalam tubuh kita, tidak lain adalah tinta yang mencatat semua perbuatan kita, begitu seseorang meninggal maka darah tubuhnya lenyap entah kemana.
Hal tersebut membuktikan bahwa Allah Swt. selalu mengintai dan mengawasi secara aktif seluruh perbuatan hamba-Nya. Ini sesuai dengan hadist Nabi Saw. ketika suatu saat ia ditanya Jibril tentang pengertian ihsan. Nabi Saw. Menjawab: “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Kalau engkau tidak melihat-Nya, yakinlah bahwa engkau dilihat oleh-Nya (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dalam hadist lain disebutkan, “Kalau engkau tidak melihat Allah, yakinlah engkau dilihat oleh-Nya.” Ini menunjukkan tentang muraqabah. Dalam sebuah ayat Allah swt. Berfirman:“Sesungguhnya Allah selalu mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa’[4]: 1)
Jika seorang hamba sudah tahaqquq dengan ayat ini maka ia telah merasakan maqam muraqabah. Ia merupakan maqam yang mulia, di mana pondasinya adalah ilmu dan hal. Dengan ilmu artinya hamba mengetahui bahwa Allah Swt. selalu mengawasi dirinya terhadap semua perbuatan yang dilakukannya, mendengar semua yang diucapkannya, bahkan apapun yang terbetik di dalam benaknya. Adapun hal adalah menetapnya pengetahuan ini dalam kesadaran hamba di dalam kalbunya. Sehingga kesadaran inilah yang dominan dan menguasai dirinya tanpa pernah lali.
Jika keduanya sudah membaur dalam diri maka buahnya adalah malu (al-haya) kepada Allah Swt. sehingga memastikan dengan sifat ini, hamba jauh dari segala bentuk kemaksiatan dan semangat dalam ibadah. Adapun mereka para murraqabin buah yang didapat dari keduanya adalah musyahadah. Dalam musyahadah ini buah yang didapat pertama adalah an ta’budallaha ka’annaka tarahu (menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya) kedua, buah yang didapat selanjutnya fa in lam takun tarahu (jika engkau telah tiada (fana) maka engkau akan melihat-Nya).
Menurut bahasa, muraqabah berarti murashadah, yaitu mengintai, hampir sama maknanya dengan pengawasan. Menurut istilah para ahli hakikat, muraqabah ialah seorang hamba yang senantiasa menyadari bahwa segala gerak-geriknya berada dalam pengawasan Allah Swt. Muraqabah juga sering diartikan dengan memelihara rahasia (hati) untuk selalu merasa diawasi oleh al-Haqq (Tuhan) dalam setiap gerak-geriknya. Pada hakikatnya muraqabah adalah bentuk simpati Allah swt. kepada kita, tentang apa kekurangan dan kelebihan kita, benar tidak perbuatan kita, apakah sudah sesuai dengan ajaran yang telah dituntunkannya atau belum.
Muraqabah merupakan sumber segala kebaikan. Seseorang tidak akan sampai pada derajat muraqabah kecuali setelah mengadakan muhasabah (evaluasi) terhadap dirinya mengenai apa yang telah dilakukan pada masa lalu dan bagaimana memperbaiki ke depannya. Perbedaannya, muhasabah adalah introspeksi ke dalam, dari diri kita sendiri, menyaksikan diri kita sendiri melakukan apa. Sedangkan muraqabah lebih bersifat eksternal faktornya, penilaian dari luar diri kita, CCTV-nya Tuhan yang menyaksikan kita. Sehinga dalam muraqabah ini ketika melakukan sesuatu, seorang hamba sadar bahwa dirinya direkam.
Maka dampaknya kemudian hamba melakukan perbaikan dan koreksi atas perbuatannya dengan tobat jika ia melakukan dosa dan kesalahan. Jika yang dilakukan adalah kebajikan dan ketaatan maka muraqabah menjadi semangat baru untuk berbuat yang lebih baik.
Di kalangan ulama tasawuf mengartikan muraqabah kepada Allah dalam segala lintasan pikirannya, Allah akan memeliharanya dalam segala tingkah lakunya. Ibn “Atha’illah mengatakan bahwa ketaatan yang paling utama adalah muraqabah kepada yang Haqq (Tuhan) sepanjang masa. Abu Hafsh (al-Haddad) pernah mewasiatkan kepada murid dan sahabatnya, Kalau engkau duduk bersama orang lain, jadilah penasihat terhadap diri dan hatimu, serta janganlah kamu sampai tertipu oleh perkumpulan mereka sebab mereka hanya bisa mengawasi lahiriahmu, sedang Allah mengawasi batinmu.”
Sebagian ahli hikmah berkata, “Merasa malulah kepada Allah sesui kedekatan dan pengetahuanmu kepada-Nya, persiapkanlah dirimu untuk dunia sesuai dengan kebutuhan tinggalmu di sana, taatilah Allah sesuai kebutuhanmu kepada-Nya, dan berterimakasihlah kepada-Nya sesuai nikmat yang dianugerahkan kepadamu.”Bukankah seluruh perbuatan-perbuatan kita direkam oleh Allah Swt.? sebagaimana firman-Nya:“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun niscaya Dia akan melihat. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarah pun niscaya Dia akan melihat.” (QS. Al-zalzalah [99]: 7-8).
Orang yang selalu sadar bahwa dirinya selalu dipantau oleh Allah Swt. maka orang ini tergolong muraqib (orang yang bermuraqabah) yang akan menempuh shirath al-mustaqim. Muraqib adalah orang ang sempurna takwanya, dosa sekecil zarahpun akan dihindari. Bahkan, sebagian yang ia anggap halal ia jauhi khawatir ternyata haram sehingga menjadi hijab. Abdullah ibn Mas’ud pernah berkata, “Orang mukmin melihat dosanya bagaikan gunung yang besar, sehingga takut menjatuhi dirinya. Sedangkan orang kafir melihat dosanya bagaikan lalat di hidung yang dapat terbang dengan usiran tangan.
Selain dengan muhasabah, agar kita senatiasa muraqabah yaitu dengan muhadharah artinya kita menghadirkan jiwa, menghadirkan perasaan, eling menghadirkan spiritual mood kita, sehingga suasana batin kita selalu hadir dihadapan Allah Swt. batinnya selalu basah dengan kedekatan (taqarub) pada Allah swt. dalam keadaan apapun dan di mana pun. Sehingga kita dengan sendirinya memiliki proteksi diri yang kuat, tidak mudah tergoda oleh siapapun dan keadaan yang bagaimanapun.
Orang yang senantiasa muraqabah akan selalu respons dengan pemberian Allah Swt., apabila diberi nikmat dia mengucap, “alhamdulillah,” apabila ditimpa musibah ia mengucap,”Inna lillah,” apabila melihat keajaiban ia mengucap, “Subhanallah,” semuanya ia kembalikan kepada Allah Swt. orang yang senantiasa muraqabah setiap langkahnya teratur, terukur, setiap ucapannya berakhlak. Sedangkan, yang tidak mengindahkan tatakrama muraqabah akan sembrono, ceplas-ceplos, bahkan berpotensi menjadi racun di masyarakat.
Dengan demikian, sikap mawas diri yang biasa kita lakukan selain akan memberikan keuntungan duniawi, sudah pasti juga akan menjanjikan tempat yang istimewa di mata Allah Swt di akhirat kelak. Mawas diri tidak pernah mendatangkan penyesalan, sebaliknya kesemberonoan hiduplah yang paling banyak mendatangkan penyesalan.
Semarang, 28 Januari 2022
Dikutip dari buku: Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. 2021. Menjalani Hidup Salikin. Jakarta: Grasindo PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Recent Comments