Menjaga Hati (2): Memikrajkan Kalbu dengan Ibadah Malam
Oleh Nasaruddin Umar
Alhamdulillah kita semua masih diberi panjang umur, sehat, dan diberi kelancaran dalam urusan kehidupan. Mari saatnya mengaji agar hidup lebih berarti. Ada dua kajian yang biasa saya bagi yaitu kajian fiqih (bab nikah) dan kajian akhlak (tentang hati).
Untuk kajian ini bertema akhlak. Masih melanjutkan kemarin yaitu menjaga hati. Saya kaitkan dengan bulan Rajab, dimana ada peristiwa Isra Mikraj. Pemahaman kita selama ini Mikraj diartikan sebagai perjalanan lahir dan batin Nabi Saw. dari Masjidil Haram ke Sidratul Muntaha setelah transit di Masjid al-Aqsha, sebagaimana disebutkan dalam ayat: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sungguh Dialah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui”. (QS. Al-Isra’: 1)
Dalam kaidah Ulumul Qur’an dikatakan, apabila ada satu surah atau ayat yang diawali dengan kata subhana atau tabaraka yang berarti “Maha Suci Tuhan”, maka ayat atau surah itu menunjukkan adanya keajaiban didalamnya, yang tidak cukup hanya dianalisis secara rasional tetapi dibutuhkan penghayatan dan perenungan lebih mendalam.
Banyak hal yang menarik untuk dikaji mengenai keberadaan ayat tersebut di atas. Selain diawali dengan kata subhana, ayat ini juga kemudian dipilih menjadi nama surah (surah al–Isra’). Surah al-Isra’ diapit oleh dua surat yang serasi yaitu surah an-Nahl dan surah al-Kahf. Surah an-Nahl sering diangkat sebagai simbol kecerdasan rasional, karena didalamnya diungkapkan menghasilkan madu sebagai obat mujarab untuk berbagai penyakit yang masih menyimpan berbagai misteri didalamnya. Sedangkan surah al-Kahf, yang biasa disebut surah kecerdasan spiritual, karena didalamnya digambarkan berbagai cerita yang menantang keyakinan dan spiritualitas kita, misalnya kisah Nabi Khidhir dan Nabi Musa yang penuh dengan tantangan.
Sementara surah al-Isra’ sendiri sering dijadikan simbol kecerdasan emosional karena didalamnya diceritakan pengaruh kematangan emosional dan prestasi puncak seorang hamba. Itulah sebabnya ketiga surah yang menempati pertengahan bagian al-Qur’an biasa disebut tiga surah serangkai, yaitu surah Intellectual Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Spiritual Quotient (SQ).
Surah al-Isra’ sering dianggap sebagai jembatan (wasilah/bringing) yang menjembatani antara kecerdasan rasional dan kecerdasam spiritual. Peristiwa Isra ialah perjalanan horizontal dari Baitullah, Mekkah ke Masjid Al Aqsha, Palestina, dan Mikraj ialah perjalanan vertikal dari Masjid Aqsha ke Sidratil Muntaha.
Perjalanan Isra’ mungkin masih bisa dijelaskan dengan logika dengan menghubungkannya dengan kendaraan supersonic yang berkekuatan super cepat, namun Mi’raj hanya bisa didekati dengan iman.
Allah Swt. memperjalankan hamba-Nya di malam hari (lailan), bukan di siang hari (naharan). Kata lailan mempunyai beberapa makna. Ada makna literal berarti malam, lawan dari siang. Ada makna alegoris seperti gelap atau kegelapan, kesunyian, keheningan, dan kesyahduan; ada makna anagogis (spiritual) seperti kekhusyukan (khusyu’), kepasrahan (tawakkal), kedekatan (taqarrub) kepada Ilahi. Dalam syair-syair klasik Arab, ungkapan lailah lebih banyak digunakan makna alegoris (majaz) ketimbang makna literalnya, seperti ungkapa syair seorang pengantin baru, berikut ini:
Wahai malam bertambah penjanglah, wahai tidur menyingkirlah
Wahai Subuh berhentilah jangan lagi terbit.
Kata lail dalam syair di atas, berarti: kesyahduan, keindahan, kenikmatan, kehangatan, ketenangan, kerinduan, keakraban, sebagaima dirasakan oleh para pengantin baru, yang menyesali pendeknya malam.
Dalam syair-syair sufistik juga lebih banyak menekankan makna anagogis kata lail. Para sufi lebih banyak menghabiskan waktu malamnya untuk mendaki (tarraqi) menuju Tuhan. Mereka berterima kasih kepada lail (malam) yang selalu menemani kesendirian mereka. Perhatikan ungkapan Imam Syafi’i berikut: “Dan barangsiapa yang mendambakan martabat utama banyaklah berjaga di waktu malam”.
Kata al-laydh disini berarti keakraban dan kerinduan antara hamba dan Tuhannya. Malam hari memang menampilkan kegelapan, tetapi bukankah kegelapan malam itu menjanjikan keheningan, kesenduan, kepasrahan, kesyahduan, kerinduan, ketenangan, dan kekhusyukan?
Suasana batin seperti ini amat sulit diwujudkan di siang hari. Seolah-olah yang lebih aktif disiang hari ialah unsur rasionalitas dan maskulinitas kita sebagai manusia dan ini mendukung kapasitas manusia sebagai khalifah di muka bumi. Sedangkan di malam hari yang lebih aktif ialah unsur emosional-spiritual dan femininitas kita dan ini mendukung kapasitas kita sebagai hamba (abid). Dua kapasitas manusia ini menjadi penentu keberhasilan hidup seseorang. Sehebat apapun prestasi sosial seseorang tetapi gagal membangun dirinya sebagai hamba yang baik maka itu sia-sia. Hal yang sama juga terjadi pada sebaliknya. Kekuatan malam hari untuk memikrajkan kalbu ditandai dengan penetapan waktu shalat itu lebih banyak di malam hari. Hanya shalat dhuhur dan asar di siang hari, selebihnya di malam hari seperti shalat maghrib, isya, tahajud, witir, tarawih, fajar, dan subuh. Malam hari memiliki semacam The Power of Night yang bisa memikrajkan kalbu setiap orang.
Lalu, setelah Allah Swt menceritakan peristiwa Isra’ Mikraj maka Allah Swt. menjelaskan, “Li nuriyahu min ayatina (agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda Kami)”. Seolah-olah Allah Swt. akan menjelaskan bahwa salah satu tujuan atau inti Isra’ Mikraj ialah untuk melihat atau menyaksikan tanda-tanda (ayat)-Nya. Ayat dan ‘alam di dalam Al-Qur’an sering disinonimkan artinya kedalam Bahasa Indonesia yaitu “tanda”. Orang-orang yang belum pernah mikraj seoalah-olah sulit menyaksikan tanda-tanda Allah Swt. dalam pandangan tafsir Isyari, melihat tanda Tuhan tidak menyaksikan diri-Nya bertajalli di setiap sesuatu (al’ayan).
Jika seseorang melihat pohon hanya sebatas pohon, gunung sebatas gunung, langit sebatas langit, bulan sebatas bulan, alam sebatas alam, tetapi tidak mampu menghadirkan “wajah” Tuhan dibaliknya, maka sesungguhnya orang itu masih berada dalam tahap Iqra’ pertama. Jika seseorang sudah mampu melahirkan kesadaran akan keberadaan Tuhan dibalik segala sesuatu maka orang itu, maka ia sudah menembus Iqra’ ketiga atau keempat.
Yang tak kalah penting ialah ayat Isra Mikraj ini diakhiri dengan “Innahu huwas-sami’ul-bashir”. Allah Swt. menegaskan dirinya Maha Mendengar dan Maha Melihat. Potongan terakhir ayat ini mengingatkan kita dalam sebuah hadist Nabi Saw. yang menyatakan bahwa orang yang sudah sampai kepada maqam tertentu dapat meminjam pendengaran (as-samah) dan penglihatan (al-bashirah) Allah untuk mendengar dan untuk melihat.
Orang yang mampu menggunakan pendengaran dan penglihatan Tuhan dalam pandangan tasawuf disebut sudah berada dalam tingkat al-Qurb an-Nawafil. Maqam yang paling tinggi bagi seorang hamba ialah orang yang sudah mampu menggunakan telinga (al-udzun) Allah untuk mendengar dan mata (al-‘ain) Allah untuk melihat. Maqam ini disebut al-Qurb al-Fara’idh.
Jika seseorang mampu menggunakan pendengaran dan penglihatan, apalagi telinga dan mata Allah Swt untuk mendengar dan melihat, maka sudah barang tentu yang bersangkutan sudah tidak lagi memiliki alam gaib. Ini juga menunjukkan bahwa tipis tebalnya alam gaib tidak sama bagi setiap orang.
Semakin tinggi maqam seseorang semakin transparan alam gaib itu, dan semakin rendah maqam maka semakin tebal alam gaib itu. Ajakan Allah Swt. untuk mikraj sesungguhnya untuk membuka rahasia kepada hamba-Nya. Mikraj dapat dilakukan antara lain dengan shalat, sebagaimana dikatakan dalam hadist, “ash-Shalat mikraj al-mu’minin (Shalat itu mikrajnya orang-orang yang beriman).”
Orang-orang yang tidak pernah naik ke atas (mikraj, taraqqi) maka mereka akan terkurung didalam tempurung bumi, tidak pernah menyaksikan etalase yang dipamerkan Allah Swt. di langit. Orang-orang yang terkungkung di perut bumi hanya akan menyaksikan segala keindahan itu hanya yang ada di bumi atau di dunia ini. Mereka inilah yang akan mengejar bayang-bayang dunia yang tidak pernah di raihnya. Mereka ini juga yang sering menghalalkan segala cara untuk meraih cita-citanya. Mereka yang rela membangun istana di atas puing-puing kehancuran orang lain sambil terbahak-bahak. Berbeda dengan orang-orang yang sering menyaksikan langit, pandangannya tidak lagi terpanah kepada daya tarik yang ditampilkan bumi dan dunia. Karena sudah sering menyaksikan keindahan etalase langit. Berbahagialah orang-orang yang selalu mikraj, tentu tidak lagi akan diperbudak oleh dunia dan materi. Dalam kalam hikmahnya Ibnu “Atha’illah berpesan: “Janganlah beranjak sekadar dari ciptaan menuju ciptaan lain, hingga engkau tampak seperti kuda penggiling: Berputar terus sehingga tujuannya adalah tempat pemberangkatanntya itu. Tapi beranjaklah dari ciptaan menuju Sang Maha Pencipta”.
Cara pandang kita terhadap ayat 1 surah al-Isra’ masih lebih mnenekankan aspek denotatif-eksoterik. Terbukti peringatan isra’ Mikraj yang secara rutin diperingati dan dirayakan dengan tanggal merah yang meliburkan seluruh sekolah, kampus, dan kantor-kantor secara nasional. Isra’ Mikraj lebih diperkenalkan sebagai peristiwa makrokosmos berupa perjalanan Nabi Saw. dari Masjidil Haram ke Masjidil al-Aqsha, Palestina, sampai ke Sidratil Muntaha, kemudian Rasulullah Saw. pulang membawa oleh-oleh berupa shalat lima waktu. Pembahasan ini sama sekali tidak salah, namun tidak ada salahnya jika Isra’ Mikraj juga dipahami sebagai upaya untuk meng-upgrade kalbu kita yang tadinya kasar menjadi lembut dan yang tadinya selalu berorientasi kepada hal-hal duniawi ke hal-hal spiritual ukhrawi. Wallahu ‘alam.
Semarang, 21 Februari 2022
Sumber referensi:
al-Quranul Karim.
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. 2021. Menjalani Hidup Salikin. Jakarta: Grasindo PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Recent Comments