Seni “Menata” Hati
Oleh Agung Kuswantoro
Adalah Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA – Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta – yang mampu menyampaikan dan mempratikkan dari ilmu hati. Bagi orang awam, ilmu “menata” hati bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan sebuah kesadaran hati dan pikiran terlebih dahulu agar terpanggil dirinya menjadi pribadi yang salikin.
Kriteria salikin – (baca: bagus/baik) itu tergantung subjek yang menilai dari sebuah objek. Dalam konteks ini yang menilai adalah Allah, sehingga keimanan (baca: hatilah) yang dinilai oleh Allah. Bukan, penilaian fisik atau material dari sebuah objek.
Puncak “menata” hati adalah hidup menjadi salikin. Artinya: hidup yang baik. Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA memberikan tips agar hidup menjadi salikin yaitu dengan (1) menata hati; (2) menjaga hati; (3) meningkatkan iman; (4) berdamai dengan keadaan; (5) membawa kemaslahatan.
Pertama yang harus dilakukan oleh manusia agar hidup lebih salikin adalah niat. Niat adalah sifat kalbu, sedangkan perbuatan bukanlah sifat kalbu. Niat merupakan konsep matang dan penuh kesadaran diri dalam diri tentang suatu perbuatan yang dilakukan (hal. 2).
Misal: pentingnya, sebuah niat dari suatu perbuatan hubungan suami-istri/seksual yang berdampak pada perbuatan. Janganlah selalu menyalahkan tawuran remaja. Cobalah cek dari awal penciptaan remaja tersebut yaitu: orang tuanya, “Apakah telah melakukan niat dalam proses penciptaan awal/remaja tersebut?” Sehingga, niat inilah yang membedakan antara perbuatan manusia dan hewan.
Hewan dalam melakukan sesuatu itu, tanpa niat. Termasuk dalam perbuatan seksualitas. Sebagai manusia yang beragama, berislam, dan beriman dalam berhubungan badan/seksualitas harus niat. Jangan asal melakukan perbuatan seksualitas.
Jika manusia tersebut melakukan perbuatan tanpa niat, maka manusia tersebut “persis” seperti perbuatan hewan. Oleh karenanya, sangat tepat sekali, dalam kitab Arbain Nawawi hadist pertama mengatakan: “Sesungguhnya nilai amal itu ditentukan oleh niat dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan (balasan) sesuai dengan niatnya” (HR. al-Bukhori dan Muslim).
Setelah niat yang kuat untuk menjadi diri yang baik, langkah selanjutnya adalah meninggalkan beban hati dengan cara memasrahkan segala urusan dunia kepada Allah; hati diajak lebih “lembut” dalam menyikapi sebuah kehidupa;, rasa “cemas” terhadap suatu permasalahan harus mulai “dihapuskan”; “menanamkan” rasa rido Allah; dan merutinkan zikir adalah salah satu cara menjaga hati agar manusia lebih baik.
Puncak dari manusia yang salikin memiliki ciri: bersikap deramawan; berkata jujur; komunikasi santun; mengontrol pembicaraan; memuliakan tamu; menghindari tamak; dan menegakkan amar makruf (hal 231).
Melalui tahapan demi tahapan tersebut diharapkan kita termasuk manusia yang menjadi salikin. Bisa jadi, kita adalah manusia yang “biasa”. “Biasa” dimata Allah dan manusia. Namun, dengan kesadaran dan ketulusan hati akan perbaikan diri yang lebih baik. Insya Allah kita termasuk manusia yang salikin itu. Amin. [].
Semarang, 6 April 2022
Ditulis di Rumah jam 20.30 – 21.00 WIB
Recent Comments