Terima Kasih Masjid Darussalam Pelutan Pemalang
Oleh Agung Kuswantoro
Kemarin, saya menulis tentang Darussalam (Desa yang Damai), menjadikan saya teringat sesuatu waktu kecil, dimana ada sebuah Masjid Darussalam di desa Pelutan, Pemalang. Masjid yang biasa saya gunakan untuk sholat Jumat sekitar tahun 1989 hingga 2001 di Pemalang. Masjid tersebut adalah saksi saya belajar beribadah ke masjid. Masjid tersebut terletak di samping rel kereta api.
Ada kenangan tersendiri saat sholat Jumat di Masjid yang akhirnya berpindah lokasi, dimana ketika sholat, hampir dan sering (bisa dipastikan) ada jadwal kereta lewat. Jadi, suara imam atau khatib “kalah” dengan suara kereta api yang bersamaan lewat di Masjid.
Namanya juga anak-anak, saat posisi sujud, anak-anak ikut melambaikan tangan (baca: dada) ke masinis. Masinis pun ikut melambaikan tangan ke anak tersebut yang ada di dalam masjid.
Kenangan berikutnya adalah masjid tersebut banyak didukung oleh kalangan karena (mungkin) jumlah masjid dalam suatu desa itu, sedikit. Jadi setiap waktu sholat, kajian atau kegiatan keagamaan selalu melibatkan semua tokoh agama di sekitar desa tersebut.
Imam, khotib, dan pengisi kajian didatangkan dari perwakilan desa yang pastinya memiliki kapasitas keilmuan masing-masing. Yang saya ingat dalam masjid tersebut menghadirkan muadzin yang bernama Ustad Wahidin (belakang rumah saya, Pelutan), Kiai Kastolani (rumahnya, Pagaran Pelutan sebagai khotib), Kiai Abdullah Sidiq sebagai imam yang rumahnya dari Kebondalem dan beliau pengasuh pondok pesantren Salafiyah Kauman, Pemalang; dan beberapa kiai lainnya yang terlibat dalam acara keagamaan. Artinya, masjid tersebut “didukung” oleh banyak tokoh masyarakat. Jadi, saya belajar secara langsung dengan tokoh-tokoh Masyarakat yang ahli dalam bidang agama tersebut.
Sekarang, masjid tersebut sudah berpindah tempat yang lebih representatif dimana sudah menjauh beberapa meter dari rel kereta api. Masjid tersebut berpindah tempat ke permukiman warga. Tidak terlalu jauh dengan lokasi lama, namun lebih dekat ke kampung.
Saya kurang tahu, alasan mengapa pindah. Mungkin jawabannya adalah karena menjauh dari rel kereta api agar anak-anak saat sujud sholat, lalu kereta api datang tidak melambaikan tangan (baca: dada). Nah, ini jawaban guyonan saja. Mungkin tepatnya, sholatnya agar lebih khusyuk dan bisa fokus mendengarkan suara khotib. Suara khotib “tidak tarung” dengan suara kereta api yang lewat.
Demikianlah ingatan saya, terkait masjid Darussalam, Pelutan, Pemalang. Terima kasih atas kesempatan diberikan tempat untuk beribadah. Semoga para muadzin, imam, khotib, dan pengisi pengajian di masjid tersebut yang sudah meninggal dunia: Ustad Wahidin, Kiai Kastolani, Kiai Abdullah Sidiq, dan kiai-kiai lainnya mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah. Surga adalah tempat kembali mereka. Alfatihah.
Terima kasih atas semuanya, Alhamdulillah.
Ditulis di Sulang, Rembang
4 Syawal 1445 H/ 13 April 2024 jam 04.55 – 05.04 Wib.
Recent Comments