Kesalahan Manusia (Baca: Nabi Adam AS)
Oleh Agung Kuswantoro
“Dan Kami berfirman: “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim” (QS. Al-Baqoroh:35).
Idul Fitri tahun 1441 Hijriah ini diwarnai dengan “ramainya” silaturahmi melalui zoom. Pastinya, bukan karena sebab. Dimana, keadaan yang tidak memungkinkan untuk bertatap muka secara langsung. Namun, bersilaturahmi atau halal bihalal dengan media itu tidak menutup semangat untuk saling memaafkan.
Bicara maaf, maka tidak terlepas dari manusia. Maaf memiliki arti yaitu: (1) pembebasan seseorang dari hukuman (tuntutan, denda, dan sebagainya) karena suatu kesalahan; ampun; (2) ungkapan permintaan ampun atau penyesalan; (3) ungkapan permintaan izin untuk melakukan sesuatu (KBBI).
Menurut makna kamus, terlihat, jelas bahwa maaf itu ada kaitannya dengan hukuman, kesalahan, ampunan, dan penyesalan. Dengan kata lain, rasa atau perilaku yang mengalami hal tersebut ada pada manusia.
Mari, kita melihat hewan. Sangat jelas, hewan tidak ada rasa kesalahan dalam dirinya. Atau, kita melihat perbuatan setan yang notabene “produser” kesalahan. Dan, kita melihat Malaikat yang notabene makhluk yang paling taat.
Namun, saat kita melihat manusia, ada rasa salah, menyesal, dan rasa takut itu, pasti ada. Oleh karenanya, cara menghilangkannya adalah dengan meminta maaf.
Sebenarnya, jika manusia itu taat atau dekat dengan Allah SWT, pasti akan dekat dengan kebaikan. Manusia tersebut tidak terjerumuskan kepada perbuatan yang tidak baik. Namun, dalam perjalannya tergoda oleh setan.
Surat al-Baqoroh ayat 35 diatas mengajarkan kepada manusia untuk dekat kepada Allah SWT, sehingga terhindar akan kesalahan. Sangking dekatnya manusia –dalam ayat tersebut, Nabi Adam AS—mengatakan pohon dengan petunjuk “ini”. Dalam percakapan, kata “ini” menunjukkan dekat. Artinya, Nabi Adam AS sewaktu di surga itu sangat dekat terhadap Allah SWT.
Kemudian disambung pada ayat berikutnya: “Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: “Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan”. (QS. al-Baqoroh:36).
Penekanan dari ayat di atas adalah kalimat “surga itu”. Artinya apa? Nabi Adam AS telah turun ke bumi. Nabi Adam AS telah melakukan kesalahan yang diperbuat. Sehingga, Nabi Adam AS harus menerima hukuman dari Allah SWT. Adapun hukumannya adalah turun ke bumi. Kalimat yang digunakan Allah SWT kepada Nabi Adam AS adalah “itu”. Itu menunjukkan jauh. Berarti Allah SWT telah jauh dari kehidupan Nabi Adam AS karena telah melakukan kesalahan.
Saat Nabi Adam AS melakukan kesalahan, maka hilanglah nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT berupa keasyikan di dunia. Lepas, pula segala amalan baiknya. Termasuk, dipisahkannya dia dengan Siti Hawa. Artinya, saat manusia melakukan kesalahan, maka Allah SWT akan menjauh. Termasuk, dijauhkan dari kenikmatan yang diperolehnya.
Oleh karenanya, agar manusia dapat diterima maafnya, maka harus bertobat dulu. Melakukan perbaikan atau revisi atas kesalahannya. Artinya, jangan minta sesuatu yang bersifatnya material dulu. Namun, sucikan dulu raga dan batinnya. Dalam, bahasa agama suci ini adalah taubat.
Allah melanjutkan firmannya dalam ayat berikutnya:
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (QS. al-Baqoroh:37).
Makna dari ayat diatas adalah taubat sebagai kunci agar salah itu dimaafkan. Taubat dengan sungguh-sungguh. Taubat yang ada penyelesalan atas kesalahan, lalu perbaikan akan perbuatannya. Kemudian, tidak mengulangi perbuatan tersebut di lain hari.
Itulah korelasi antara salah, hukuman, dan taubat yang ada dalam surat al-Baqoroh ayat 35-37. Dimana, ada seorang manusia yang melakukan kesalahan, sehingga menjadikan Allah SWT jauh dari kehidupannya. Lalu, denga cara bertaubat, Allah SWT menerima atas kesalahannya.
Nah, bagaimana dengan saya dan Anda saat melakukan kesalahan? Tirulah cara Nabi Adam AS dalam mencari pembenaran atas sikap dan perilakunya. Ia menyadari dan menerima hukumannya. Lalu, mencari letak kesalahannya dan menemukan cara menebus kesalahannya, dengan cara bertaubat. Wallahu ‘alam.
Semarang, 28 Mei 2020
Ditulis di Rumah, jam 20.00-21-35 WIB.
Recent Comments