Menjaga Kearifan “Lokal” Saat Ramadhan
Oleh Agung Kuswantoro
Indonesia adalah negara yang “kaya” akan sebuah kebudayaan. Termasuk, budaya dalam menyambut bulan Ramadhan.
Ada kebudayaan lokal yang melekat di pesantren yaitu budaya ngaji kitab saat bulan Ramadhan. Menurut saya budaya tersebut termasuk budaya lokal khas pesantren yang perlu dilestarikan.
Saya coba untuk “menjaga” dan “mempertahankan” budaya tersebut dimana pun berada. Saat ini, di Semarang, saya usahakan “menjaga” budaya tersebut.
“Ngaji” adalah sebuah budaya yang harus dipertahankan. Ngaji yang saya maksudkan adalah ngaji kitab. Guru (baca: Ustad) akan membacakan isi kitab, lalu santri mengabsahi (baca: menulis makna) dari yang dibacakan oleh Guru.
Empat tahun (2017-2020) saya melakukan hal tersebut di Masjid Nurul Iman, Gang Pete Selatan 1, Sekaran dengan kitab Safinatunnajah al-Barzanji, tafsir Yasin, Fathul Mu’in dan Taqrib.
Sekarang (2022) di Masjid Ulul Albab (MUA) usai sholat Subuh, saya ngaji kitab ‘Aqidatul ‘Awwam. Saya ngaji bersama jamaah yang lainnya. Ngajinya simpel, sederhana, dan singkat, yang terpenting materi tersampaikan dan ”mengena” bagi jamaah.
Muncul pertanyaan: “Sampai kapan saya “ngaji” seperti ini?” Jawabnya: Bisa jadi, sampai meninggal dunia. Karena, dengan mengaji saya menjadi tahu dan belajar. Melalui membaca, saya jadi memiliki pengetahuan dan referensi untuk bahan menulis.
Ulama kita mengajarkan untuk membaca kitab. Syukur, menulis/mengarang kitab. Karena, melalui karya ulama – kita kelak – akan menjadi “warisan” kepada generasi berikutnya.
Pertahankanlah, kearifan lokal seperti ini. Terlebih di bulan Ramadhan. Karena, bulan Ramadhan adalah bulan membaca “kitab” dan al Qur’an. Harapannya dengan cara seperti ini, kita akan lebih dekat kepada Allah. Amin. []
Semarang, 22 April 2022
Recent Comments