• Friday, January 21st, 2022

Menata Diri (8): Menjaga Rasa Malu
Oleh KH. Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA

Mohon maaf, saya belum menuliskan lanjutan tema menata hidup, sehingga saya menyajikan tulisan dari KH. Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA selaku guru dan sumber rujukan utama dalam tema tersebut. Berikut tulisannya:

Mungkin ada benarnya anggapan orang yang mengatakan, manusia modern lebih cenderung menyingkirkan rasa malu. Padahal, semodern apapun dan sebesar apapun perubahan yang ada di sekitar kita, mestinya rasa malu itu sebagai harga diri utama kita paling permanen menyertai sepanjang perjalanan hidup kita. Rasa malu boleh pergi seiring dengan roh meninggalkan jasad kita. Hal itu Karena malu diterjemahkan dari bahasa Arab istahya’ yang diambil dari al-hayath yang artinya hidup. Orang yang memiliki rasa malu (istahya) itu lantaran kuatnya dimensi hayath di dalam dirinya, sehingga dapat merasakan hal-hal yang sensitive. Jadi, malu lahir karena kuat dan lembutnya perasaan seseorang. Makanya hidup tanpa rasa malu adalah mayat berjalan, demikian sebuah syair Arab melukiskannya.

Ilustrasi kisah Nabi Yusuf dengan perempuan istana dapat dijadikan pelajaran. Dikisahkan dalam Al-qur’an: Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tiada melihat tanda (dari) Tuhannya. (QS. Yusuf [12]: 24).

Sesungguhnya, tanda (burhan) yang dilihat, ialah bahwa wanita itu melemparkan pakaian ke sebuah patung yang ada di dalam rumahnya lalu menutupi wajah patung itu. Yusuf as. bertanya padanya, “Apa maksudmu berbuat begini?” Jawabnya, “Sesungguhnya aku merasa malu pada Tuhanku ini, jika dia melihatku, “Kata Yusuf, “Sesungguhnya aku lebih malu lagi kepada Allah”.

Selanjutnya, ditegaskan pula dalam firman Allah dalam al-Qur’an: “Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dalam keadaan malu-malu.” (QS. Al-Qashash [28]: 25)

Sesungguhnya, dia merasa malu, sebab ada seorang yang menawarkan kepadanya jamuan, maka ia malu untuk tidak memenuhinya. Rasa malu termasuk salah satu sifat bagi tuan rumah sebagai penjamu. Ini menunjukkan kesempurnaan iman. Riwayat lain mengatakan bahwa kedua putri Syuaib as. pulang lebih awal dari biasanya. Maka Nabi Syuaib bertanya, “Apa yang membuatmu pulang terburu-buru?” Keduanya menjawab, “Kami menjumpai seorang lelaki saleh yang kasihan pada kami dan membantu mengambilkan air. Maka Nabi Syuaib berkata pada salah satu putrinya (yang tertua). “Pergilah. Ajak dia menemuiku”. Dalam perjalanan, Musa as. mengikuti putri Nabi Syuaib dari belakang. Tiba-tiba angin berembus dan menyingkap baju putri Nabi Syuaib. Sehingga ia pun malu. Maka Nabi Musa as. Berkata, “Berjalanlah di belakangku dan tunjukkan aku arahnya ke mana”.

Kisah Nabi Yusuf yang diabadikan di dalam Al-Qur’an di atas menarik untuk dijadikan pelajaran bahwa dalam segala perbuatan yang memalukan hanya akan membawa penyesalan dan keberanian untuk berkata “tidak” kepada hal-hal yang memalukan akan mendatangkan keajaiban positif dari Allah SWT untuk yang bersangkutan. Dalam habis Nabi Saw. Dikatakan: “Rasa malu merupakan bagian dari iman.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Menurut riwayat riwayat lengkapnya, suatu ketika ada orang yang memarahi saudaranya yang tidak punya malu. Ia berkata, “Mungkin kamu akan malu, setelah kamu tahu bahayanya.” Mendengar itu Rasulullah Saw. berkata, “Biarlah dia. Rasa malu merupakan bagian dari iman.” Rasa malu mencegah orang dari berbuat keburukan. Di dalamnya tercakup banyak sekali kebaikan sehingga ia terhitung cabang dari iman. Dikatakan sebagai cabang iman lantara malu mampu mencegah orang dari melakukan kemaksiatan sebagaimana iman. Al-Qadhi “Iyadh mengatakan malu adakalanya merupakan sifat bawaan dan adakalanya diupayakan. Jika malu merupakan sifat bawaan maka untuk memanfaatkannya di jalan syar’i harus didahului dengan upaya, ilmu dan niat. Di sinilah malu menjadi bagian dari iman. Apabila keduanya ada dalam diri seseorang maka itu akan menjadi sumber kebaikan yang kuat.

Jadi, orang yang beriman ialah orang-orang yang mampu memproteksi diri dari hal-hal yang memalukan. Semua dosa, maksiat, dan kedurhakaan adalah memalukan. Bukan saja malu terhadap manusia tetapi yang lebih penting ialah malu terhadap Allah Swt., Zat Yang Maha Melihat. Yang membedakan antara orang-orang yang beriman dan yang tidak ialah perbuatannya. Jika ada yang mengaku beriman tetapi masih doyan dengan dosa berarti ada kemunafikan di dalam diri yang bersangkutan.

Dzun Nun al-Mishri, seorang ulama Tasawuf mengatakan, “Pecinta akan berbicara dan pemalu akan diam.” Al-junaid pernah ditanya tentang rasa malu. Ia menjawab, “Malu adalah suatu keadaan yang membuat orang melihat anugerah dan melihat kekurangan diri. Inilah yang kemudian melahirkan malu.”. Ibn Atha’illah mengatakan, “Ilmu yang peling besar adlaah rasa gentar dan malu”.

Seorang laki-laki terlihat shalat di luar masjid, lalu ditanya mengapa tidak masuk dan shalat di dalam saja? Ia menjawab, “Aku malu masuk ke dalam rumah-Nya karena aku telah berdosa kepada-Nya.”Seorang laki-laki terlihat tidur di tempat binatang buas, lalu ditanya, “Apakah tidak takut tidur disini?” Ia menjawab, “Ketahuilah, bahwa aku malu untuk takut selain diri-Nya. Allah Swt. Telah mewahyukan kepada Nabi Musa as., “Nasihatilah dirimu jika engkau menghiraukan nasihat itu, maka nasihatilah sesama manusia, jika tidak, maka malulah kepada-Ku untuk menasihati manusia.” Disebutkan, jika seorang duduk untuk menasihati sesama manusia, maka malaikat akan memanggilnya, “nasihatilah dirimu sebagaimana engkau menasihati sesama saudaramu, jika tidak, maka malulah kepada Tuhan-Mu, sebab Dia melihatmu.”

Al-Fudhail mengatakan, “Diantara tanda celaka seseorang adalah kerasnya hati, bengisnya mata, kurangnya rasa malu, besarnya hasrat duniawi, dan panjang angan-angan.” Rasa malu sekarang seperti menjadi barang langka. Yang banyak kita saksikan ialah memamerkan perbuatan memalukan. Jika perbuatan memalukan menjadi pemandangan umum di dalam masyarakat maka ancaman siksa Tuhan akan dekat. Siksaan Tuhan bukan hanya dalam bentuk banjir, gempa bumi, gunung meletus, tsunami, wabah penyakit menular, angin puting beliung, dan lain-lain, tetapi juga diutusnya pemimpin zalim, berkembangnya kriminalitas yang menimbulkan kecemasan dan rasa takut, diberikan anak-anak durhaka, dan perasaan publik yang gelisah dan tidak tenang.

Dikutip dari buku: Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. 2021. Menjalani Hidup Salikin. Jakarta: Grasindo PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Category: Uncategorized
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
Leave a Reply