• Saturday, February 05th, 2022

Menjaga hati (1): Meninggalkan Beban Kalbu/Hati

Oleh Agung Kuswantoro

 

Setelah pembahasan “Menata Diri” – dengan sembilan judul – lalu, kita akan belajar bersama dengan bab selanjutnya yaitu, menjaga hati. Dalam tema ini ada dua belas judul. Untuk judul pertama yaitu meninggalkan beban kalbu/hati.

 

“Beban” hati yang berlebihan itu harus dikurangi karena akan berdampak negatif, seperti stress dan strok – yang pada akhirnya – wafat lebih awal dari waktu yang diperkirakan/diharapkan.

 

Agama apapun mengajarkan dan mengajak umatnya untuk meninggalkan kalbunya yang berlebihan. Khususnya dalam Islam “melepaskan beban-beban” yang mengggunung it, bagaikan bulu yang beterbangan. Firman Allah: “Dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan”. (QS. Al-Qori’ah:4).

 

Para ahli manajemen berusaha mencari berbagai macam solusi dalam mengatasi kelebihan beban hati ini, diantaranya: mencari dan memilih tempat yang tenang; mengistirahatkan daban, pikiran, dan jiwa di dalam suasana zona nyaman; kalau perlu memutar lagu-lagu instrumentalia atau musik-musik meditasi – spiritual, memejamkan mata tetapi tidak sampai tidur.

 

Kita merasakan lembutnya petikan suara melodi, atau menikmati rekaman nyanyian burung, suara gemuruh ombak, percikan air mancur, atau nyanyian burung-burung malam.

 

Bayangkan sendiri kita berada di sebuah taman bunga charry blasem yang sedang mekar di lembang ngarai, atau membayangkan kita berada di sela-sela-sela rindangnya pepohonan di sebuah bukit  hijau, atau sedang menyaksikan matahari sore sedang tenggelam di peraduannya disebuah pulau terpencil. Imaginasi atau khayalan seperti ini terkadang diperlukan untuk mengecoh pikiran, perasaan, dan kalbu kita yang sedang galau.

 

Rencanakan relaksasi di sela-sela tugas, usahakan menghindari kebisingan, pecahkanlah persoalannya tahap demi tahap, tampakkan keindahan dan dekorasi menawan di sekitar kita, jangan terlalu serius bekerja sepanjang hari dan sepanjang masa, jauhilah hal-hal yang berlebihan, khususnya alkohol dan obat-obatan penenang, dan tentu yang tak kalah pentingnya seringlah tersenyum dan tertawa.

 

Berusahalah untuk memaafkan diri sendiri dengan mengingat, diri kita memang bukan malaikat, lupakanlah berbagai kekecewaan yang menumpuk di kalbu dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan (tawakal).

 

Kita yakinkan pada diri kita bahwa sesungguhnya Tuhan lebih menonjol sebagai Maha Pengampun (ar-Rahman) dan Maha Penyayang (ar-Rahim) dibanting Maha Pendendam (al-Muntaqim) dan Maha Penghukum (adh-Dharr). Dengan air mata tobat yang kita persembahkan kepada-Nya diharapkan bisa memadamkan api neraka Jahannam, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw:  “Sesungguhnya sehala sesuatu ada ukuran dan timbangannya, kecuali air mata, sebab ia bisa memadamkan lautan api neraka”. (HR. al-Baihaqi)

 

Air mata juga mengangkat azab. Pernah suatu ketika Sa’d ibn Ubadah sakit parah, Rasulullah Saw. pun menjenguknya bersama Abdurrahman ibn Auf, Sa’d ibn Abi Waqash, dan Abdullah ibn Sa’d mas’ud. Ketika Nabi Muhammad Saw, masuk menemuinya, Nabi Saw. melihat Sa’d ibn Ubadah dalam keadaan sakaratul maut. “Apakah sudah meninggal?” Tanya Nabi Saw. Para sahabat yang ada menjawab, “Belum, wahai Rasulullah,” Maka Nabi Saw. menangis, orang-orang pun ikut menangis melihat Nabi Saw. menangis. Lalu, Rasulullah Saw. bersabda, “Dengarkanlah  oleh kalian semua, sesungguhnya Allah tidak akan mengazab air mata yang jatuh, juga hati yang remuk. Tapi Dia akan mengazab ini (sambil menunjuk lidah beliau.”

 

Air mata tidak akan diazab sebab air mata adalah rahmat Allah Swt. Sebagaimana kisah bahwa suatu ketika Zainab mengirim utusan kepada Nabi Saw. memberitahu akan lelakinya dalam keadaaan sakaratul maut. Maka Nabi Saw. berkata pada utusan itu, “Kembalilah padanya (Zainab) dan katakana, Allah memiliki apa yang Dia ambil dan apa yang Dia beri dan ajal segala sesuatu ditentukan oleh-Nya, suruh dia bersabar dan muhasabah.” Tidak lama kemudian utusan ini kembali lagi menghadap Nabi Saw. mengatakan bahwa Zainab mengharap betul kehadirannya. Maka Nabi Saw. datang menuju rumah Zainab didampingi Sa’d ibn Ubadah dan Mu’adz ibn Jalal. Bayi itu diangkat diserahkan pada Nabi Saw. dalam keadaan nyawa ditenggorokan. Maka tumpahlah air mata Nabi Saw. Sehingga Sa’d bertanya kepada Nabi Saw. “Air mata apa ini, wahai Rasulullah?” Nabi Saw. menjawab, “Ini adalah air mata rahmat yang Allah anugerahkan ke dalam hati hamba-hamba-Nya.”

 

Maka pasrahkan jiwa raga ini kepada Allah Swt. juga seluruh harta kita. Ucapkan rasa syukur dan terima kasih di mulut dan di dalam hati atas kesadaran yang dikaruniakan kepada kita sebelum ajal menjemput.

 

Rasakan kita seolah-olah menjadi sosok manusia baru, putih cemerlang, dan mengesankan bagi semua.  Pada akhirnya, kita meninggalkan latihan atau meditasi ini dengan lafal syukur dan tahmid, Alhamdulillah wasy-syukru lillah kepada-Nya atas segala karunia yang baru saja diberikan kepada kita. Kita meninggalkan padepokan latihan dengan niat dan baik sangka kepada Allah Swt. Yang Maha Pemurah, kalau perlu bertekad untuk mengulangi pengalaman serupa di masa-masa mendatang.

 

Seusai pelatihan (riyadhah) kita belajar mengembangkan hobi dan kebiasaan produktif kita kembali. Sesudah itu buatlah planning untuk mengatur refreshing, kalau perlu bersama keluarga, atau dalam kesempatan lain retreat bersama segenap karyawan tanpa kecuali di kantor, khusus yang beragama Islam, lebih bagus lagi jika ditradisikan untuk berpuasa sunah Senin dan Kamis atau puasa-puasa sunah lainnya. Biasakan diri ke masjid untuk shalat berjamaah, mengamalkan sunah-sunah rawatib, baik qabliyyah maupun ba’diyyah. Wallahu ‘alam.

 

Semarang, 6 Februari 2022

Rujukan referensi: Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. 2021. Menjalani Hidup Salikin. Jakarta: Grasindo PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

Category: Uncategorized
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
Leave a Reply