Perubahan Perencanaan Kebijakan
Oleh Agung Kuswantoro
Membaca slide materi dari Prof. Agus Hermanto dan buku ajar yang diberikan oleh Prof. Fakhrudin tentang kebijakan publik dibidang pendidikan dan konsep perencanaan pendidikan, menjadikan saya bertanya mengenai perubahan rencana yang telah ditentukan. Sehingga, berdampak pada sebuah kebijakan yang berubah.
Misal, pada saat ini, tidak ada Ujian Nasional. Awalnya Ujian Nasional sudah ditetapkan pada bulan April 2020. Namun, dengan wabah Covid-19 menjadikan kebijakan pun berubah.
Lalu, bagaimana “aktor” kebijakan publik itu bekerja? Aktor yang dominan dalam hal ini adalah pemerintah. Pemerintah (baca: Presiden) mengambil “aktor utama” dalam penentuan rencana kebijakan. Kemudian, didukung oleh “aktor” lainnya yaitu DPR. Baru setelah itu, ada pengajuan RUU/pengajuan perubahan atas sebuah kebijakan. Lalu, muncullah sebuah tindakan. Dimana, harus ada sidang komisi/gabungan komisi terkait perubahan kebijakan tersebut.
Selama proses pembuatan kebijakan meliputi empat tahapan yaitu (1) analisis kebijakan; (2) pengetahuan kebijakan, (3) implementasi kebijakan, dan (4) evaluasi kebijakan.
Dalam keadaan seperti ini, siapakah yang berwenang menetapkan suatu kebijakan pelaksana (baca: kebijakan pada lingkup daerah)? jawabnya, adalah Gubernur, Bupati, dan Walikota.
Sehingga, di Jakarta, Tegal, Kota Surabaya, ada pemberlakuan PSBB (Pemberlakuan Sosial Berskala Besar) dengan tujuan mencegah penyebaran korona yang semakin luas di Indonesia. Itulah “aktor” yang nyata dalam kebijakan pelaksana.
Namun, yang sangat lebih penting lagi adalah dampak perubahan rencana akan mengakibatkan pada perubahan anggaran pula. Pos-pos anggaran akan bergeser pada penanganan kebijakan baru yaitu wabah Covid-19. Dan, dampak ekonominya.
Oleh karenanya, pasti akan ada “kebijakan-kebijakan” yang bersifat tidak sesuai dengan perencanaan. Beberapa kebijakan alternatif akan muncul, seperti mengaktifkan Asrama Haji Manyaran, Semarang akan menjadi Rumah Sakit Khusus Korona.
Atau, tes perguruan tinggi dimana nilai UN, tidak menjadi dasar satu-satunya untuk menjaringan seleksi mahasiwa baru. Dan, kebijakan-kebijakan alternatif lainnya dibidang pendidikan.
“Aktor-aktor” tersebut harus “lincah” dalam menghadapi perubahan tersebut. Karena, keadaan darurat, maka kebijakan juga akan darurat. Yuk, dukung “aktor-aktor” tersebut dalam membuat kebijakan yang berubah, karena keadaan. Adanya perubahan atas rencana yang telah dilakukan adalah sebuah keharusan yang harus dipilih, demi kebaikan rakyat Indonesia ini. []
- Semarang, 25 April 2020
Ditulis Di Rumah jam 21.00 – 21.30 WIB. Setelah Sholat Tarawih.
Recent Comments