Masjid, Iman, dan Ilmu
Oleh Agung Kuswantoro
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan (QS. al-Mujadilah:11)
Pandemi Covid 19 ini mengajarkan kepada sesorang menjadi hamba yang berilmu. Jika tidak tahu/paham, ikutilah yang lebih mengetahui/ahli/pakar. Demikian juga dalam suatu “tempat” dibutuhkan sebuah kepahaman oleh seseorang. Kepemahaman itulah yang disebut ilmu.
Tempat bisa dimaknai sekolah, mushola, masjid atau rumah. Saya mengambil contoh dalam hal ini yaitu masjid. Masjid sangat membutuhkan orang yang sangat berilmu. Di Mekkah ada Nabi Muhammad SAW. Dimana pada usia 35 tahun, Nabi Muhammad SAW sudah ikut andil/bersama dalam peletakan batu/Hajar Aswad. Waktu itu, Ka’bah habis terkena musibah banjir bandang, sehingga Ka’bah hanyut/rusak berat bangunannya.
Dalam tarikh/sejarah disebutkan, bahwa sejak kecil hingga remaja, Nabi Muhammad SAW belum aktif ke Masjid. Artinya, Nabi Muhammad SAW dalam beribadah itu secara sembunyi-sembunyi atau di rumah. Tidak beribadah di Masjidil Haram/Ka’bah. Ibadah Nabi Muhammad SAW banyak dilakukan di rumah bersama keluarga.
Lalu, muncul pertanyaan, “Mengapa Nabi Muhammad SAW tidak melakukan ibadah (baca: sholat) di Masjidil Haram?” Pada ahli menjawabnya: karena situasi saat itu belum memungkinkan untuk beribadah.
Lingkungan sekitar Masjidil Haram lebih banyak maksiatnya, saat itu. Penguasa/Raja/Presidennya masih dholim/belum mengajak kepada kebenaran. Kiri-kanan di Ka’bah/Masjidil Haram, masih banyak berhala. Dimana, para pemimpinnya sebagai pelaku dan pengambil kebijakan itu masih dalam keadaan yang maksiat atau “kotor”, hatinya.
Arti dari kejadian tersebut bahwa suatu tempat bisa menjadi lebih baik itu membutuhkan waktu yang lama. Nabi Muhammad SAW baru mulai aktif menginjakkan kaki ke Masjid, saat usia 35 tahun. Baru 35 tahun pula dakwah Nabi Muhammad SAW mulai menunjukkan hasilnya.
5, 10, 15, atau 20 tahun dari umur masjid didirikan belum tentu tertata dengan baik. Siapa imam, khotib, muadzin, belum tentu bisa istiqomah/langgeng dalam melakukan ibadah di suatu Masjid. Oleh karenanya, berdasarkan kisah tersebut, bahwa suatu Masjid dibutuhkan orang yang berilmu. Pertanyaannya sekarang adalah “Siapakah orang yang berilmu itu? Jawabnya adalah orang yang membuka ilmu-ilmu Allah melalui al-Qur’an, kitab, buku, atau referensi-referensi lainnya yang berkaitan dengan ilmu. Ia adalah kiai, ustad, dan tokoh masyarakat.
Di Masjidil Haram ada orang yang berilmu yaitu Nabi Muhammad SAW. Di Masjid Istiqlal Jakarta, ada orang yang berilmu yaitu Kiai Prof. Dr. Nazaruddin Umar, dan masjid dengan orang berilmu lainnya. Orang yang berilmu menjadi imam Masjid ditunjuk oleh penasihat, pemerintah, atau masyarakat setempat yang sholeh/baik berdasarkan kriteria-kriteria keilmuan.
Masjid, tanpa ada orang yang berilmu, pasti akan berjalan tanpa arah. Atau, Masjid tersebut akan “berhenti/mati” dalam syiar keislamannya. Ibaratnya, ada mobil, tanpa ada sopir. Mobil adalah masjidnya. Sopir adalah orang yang berilmu. Mobil agar bisa berjalan membutuhkan sopir. Tidak asal sopir, tapi sopir yang berilmu. Ia paham akan kondisi mobil dan arah dari tujuan mobil yang dituju. Itulah sopir yang berilmu.
Artinya, orang yang berilmu harus menuntun “jamaah” yang ada dalam Masjid tersebut. Tuntun jamaah agar paham dan benar dalam beribadah. Cek bacaan al-Fatihah, jamaahnya. Cek bacaan adzan, muadzinnya. Dan, cek kondisi masjidnya, apakah sudah suci dan bersih atau belum.
Resiko dari sopir yang akan melakukan perbuatan mengingatkan kepada penumpang adalah (bisa jadi) dikomentari negative atau mendapatkan perlakuan fisik yang buruk. Seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, saat membawa Hajar Aswad, dimana terjadi pertengkaran yang hebat diantara kepala desa/kepala suku. Kepala desa/kepala suku merasa hebat/kuat/pantas/terhormat untuk membawa Hajar Aswad, sehingga diantara mereka nyaris terjadi pertumpahan darah dalam kejadian tersebut.
Demikian tulisan singkat ini. Ada beberapa simpulan yaitu:
1. Mari kita semua menjadi hamba yang berilmu, agar tempat yang kita tempati itu lebih baik dari sekarang.
2. Dalam ilmu, adanya benar dan salah. Ilmu menuntun orang agar memahami akan sebuah kebenaran dan kesalahan.
3. Orang yang berilmu adalah orang yang rajin membuka al-Qur’an, hadist, kitab, buku, dan referensi-referensi/rujukan yang valid.
4. Orang yang berilmu, tak henti-hentinya menasehati ke arah kebenaran dan kebaikan kepada orang sekitar.
5. Terakhir, resiko orang berilmu adalah mendapat perlakukan yang tidak baik dari orang yang tidak sepaham/sependapat/tidak suka dengan suatu ilmu.
Semoga bermanfaat tulisan ini. Amin. []
Semarang, 1 Juni 2021
Ditulis di Rumah jam 21.30 – 21.50 WIB.
Recent Comments