Menata Diri (5): Tabungan Spiritual
Oleh Agung Kuswantoro
“Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan (QS. al-Baqarah:110)
Mohon maaf, lama belum posting tulisan lagi dengan tema “Menata Diri”, dikarenakan saya harus izin dulu kepada Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA—selaku guru saya—dalam belajar ini. Materi-materi/kajian “Menata Diri” ini bersumber dari beliau, sehingga saya perlu mendapatkan izin terlebih dahulu agar mendapatkan keberkahan. Alhamdulillah beliau mengizinkan atas apa yang saya lakukan. Kembali ke materi kita hari ini.
Tabungan. Bicara tabungan tak lepas dari sisa pendapatan atas pengeluaran yang dikeluarkan. Jika ada kelebihan pengeluaran, maka baru bisa “dialihkan” sisa kelebihan tersebut untuk disimpan/ditabung. Jadi, tidak semua pendapatan itu menjadi tabungan. Malahan, bisa jadi seseorang tidak punya dengan tabungan, karena pengeluarannya lebih besar dari pemasukannnya.
Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA dalam buku “Menjalani Hidup Salikin” (2021) mengatakan: perlunya tabungan spiritual. Karena, bicara tabungan tidak selalu berpikiran uang (baca: dunia). Tetapi, tabungan juga sangat dibutuhkan oleh “jiwa” (baca: hati) agar lebih tenang dan tentram untuk urusan ukhrawi.
Lalu, muncul pertanyaan: “Apa pemasukan dan pengeluaran dalam tabungan spiritual?”
Wujud “setoran” tabungan spiritual adalah ibadah khusus dan sosial. Ibadah khusus seperti: salat, zikir, puasa, zakat, haji, tadarus, mengikuti pengajian dan ibadah sebagai penghambaan kepada Allah. Sedangkan, ibadah sosial seperti: melestarikan lingkungan hidup, membantu fakir miskin, membersihkan fasilitas umum, berkata jujur, dan ibadah lain yang berfungsi sebagai kekhalifahan seorang hamba/manusia.
Wujud “penarikan” tabungan spiritual adalah perbuatan meninggalkan perintah Allah, seperti: meninggalkan salat, puasa Ramadan, zakat, haji bagi yang mampu, dan meninggalkan perintah ibadah lainnya.
Orang tersebut/”menarik” tabungan spiritual itu lebih rajin melakukan perbuatan: zina, berbohong, hasud, munafik, memfitnah, membuka aurat, makan makanan haram, tidak menepati janji, dan perbuatan buruk lainnya.
Ayat pada paragraf satu di atas, ada amalan sebagai wujud “setoran” tabungan spiritual, yaitu: menjalin hubungan silaturahim, sedekah (wajib – sunah) membaca al-Qur’an, dan anak-anak sholeh karena kelak anak-anak akan menjadi syafaat di hari akhirat.
Perbuatan-perbuatan tersebut, Insya Allah akan menjadi “koin” pahala dan “simpanan” syafaat kelak. Hal ini selaras dengan firman Allah: “(Ingatlah) pada hari (ketika) setiap jiwa mendapatkan (balasan) atas kebajikan yang telah dikerjakan dihadapkan kepadanya, (begitu juga balasan) atas kejahatan yang telah dia kerjakan. Dia berharap sekiranya ada jarak yang jauh antara dia dengan (hari) itu”. (QS. Ali-Imran: 30).
Dampak positif dari “penyetoran” tabungan spiritual adalah “suasana” batin lebih tenang, adem, tentram, segar, dan bahagia. Perasaan menjadi aman, nyaman, dan tidak sumpek, seperti orang-orang yang ikhlas menerima dirinya berupa: kelebihan dan kekurangannya.
Sebaliknya, dampak “kosong” atau “minimnya” setor tabungan spiritual adalah kemrungsung, sumpek, lemas, selalu dihantui rasa takut, curiga, dan “malas”, tidak percaya diri, dan menjauhinya orang lain kepada orang tersebut.
Jika kita “menyetor” tabungan spiritual, maka mengantarkan kepada penyadaran kepada kehidupan akhirat yang abadi. Karena namanya saja tabungan, sehingga menikmati hasil menabung spiritual adalah di alam akhirat. Adapun bekal terbaik menuju akhirat agar selalu stabil bisa “setor” tabungan spiritual adalah takwa.
Sebagai penutup, saya mengajak kepada diri sendiri (syukur orang lain) yaitu “isilah” (baca: setorlah) tabungan spiritual secara rutin dengan bekal takwa. Jangan sampai tabungan spiritual yang sudah ada itu, berkurang karena kita melakukan perbuatan maksiat.
Nikmatilah “selalu” tabungan spiritual kelak di Akhirat. Adapun nikmat “saldo” dari tabungan spiritual di dunia berupa ketenangan, kedamaian, ketentraman, dan keselamatan batin kita. Semoga perasaan-perasaan tersebut dimiliki oleh kita. Pertanda kita sudah memiliki tabungan spiritual. Amin. [].
Yogyakarta, 31 Oktober 2021
Ditulis di Wonosari dan Kota Yogyakarta jam 04.00 – 04.50 WIB.
Materi disadur/bersumber dari buku Menjalani Hidup Salikin (2021) karangan Prof, Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA. Jakarta. Grasindo PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Recent Comments