Puasa Itu Wajib, Bagi Siapa?
Oleh Agung Kuswantoro
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (Q.S. al–Baqarah: 183).
Menurut Multazam Ahmad (2022) dalam Suara Merdeka edisi jumat 25 Maret 2022 mengatakan bahwa, kemungkinan besar akan terjadi perbedaan bagi umat Islam untuk melakukan amal ibadah puasa . Hal ini disebabkan, perbedaan metode untuk menentukan penentuan pengertian awal bulan.
Bagi Saudara kita (Muhammadiyah) yang bermadzab hisab, jauh hari sudah menentukan bahwa awal Ramadhan akan jatuh 2 April 2022 (Sabtu/besok), sedangkan dari kelayakan NU yang bermadzab hisab dan rukyah, masih akan menunggu hasil rukyah mengawali puasa Ramadhan yang akan jatuh pada 3 April 2022 (Ahad). Hadis Nabi: “Berpuasalah kamu sekaliah setelah melihat hilal, berbukalah kamu sekalian setelah melihat hilal, Apalagi terhalang sempurnakanlah bilangan bulan”)
Ada 2 metode yang berbeda, namun ada 1 tujuan yang sama yaitu menjadi hamba yang bertakwa, muncullah sebuah pertanyaan: “puasa itu, wajib untuk siapa?”
Dalam kitab Fathul Muin bab tentang puasa, disebutkan bahwa puasa itu wajib bagi mukallaf. Mukallaf dalam hal ini, dimaknai yaitu baligh dan berakal. Mukallaf secara hukum dan kenyataan. Secara hukum artinya, sudah sah sesuai dengan aturan. Secara kenyataan, artinya sudah memenuhi kriteria yang telah ditentukan.
Berbeda kasus mukallaf dalam hal ini, yaitu anak kecil dan orang gila. Anak kecil yang mampu berpuasa dari imsak hingga futur/magrib, maka secara hukum, tetap belum memenuhi. Karena, masih kecil. Orang berpuasa harus baligh. Orang berpuasa harus dewasa.
Demikian juga, (maaf) orang dewasa yang gila, ia sudah berumur, namun syarat mukallaf—dalam hal ini, yaitu berakal—itu tidak memenuhi. Jadi, walaupun ada orang dewasa yang gila itu, beribadah puasa. Maka, secara syarat/hukum itu, tidak memenuhi. Orang yang berpuasa itu, harus berakal.
Syarat mukallaf menjadi gugur/batal/tidak berlaku, ketika seorang wanita dewasa sedang haid, nifas, atau wiladah. Mengapa wanita yang haid, nifas, atau wiladah menjadi gugur secara hukum, walaupun yang bersangkutan itu mampu melakukan ibadah puasa? Para ulama mengatakan, bahwa puasa harus dilakukan dalam keadaan suci bagi seorang wanita. Bukan, dilakukan oleh wanita yang dalam keadaan “kotor”.
Orang sakit berpuasa
- H. Sukiman Rusli, SpPD – seorang dokter dan anggota Komisi Fatwa MUI DKI – dalam bukunya, “Berpuasa Di Saat Sakit dan Sehat”, mengatakan seorang pasien/orang yang sakit dapat memutuskan berpuasa atau batal harus menggunakan beberapa petunjuk yaitu (1) Berkonsultasi dengan dokter muslim yang mahir dan terpercaya, (2) Apabila dokter belum bisa membuat keputusan “apakah berpuasa atau batal”, maka pasien/orang tersebut, dapat membuat keputusan berdasarkan pengalaman pribadi pasien, saat pelaksanaan puasa sebelumnya. Sebaiknya pasien tersebut—dalam membuat keputusan—didukung oleh informasi/ilmu dari buku, majalah, atau pengajian, (3) Bila dokter tidak ada yang mahir dan pengalaman belum ada, maka pasien tersebut melaksanakan ibadah puasa saja. Pastinya, selama berpuasa mengamati organ tubuh dan gejala penyakit yang dirasakan. Nah, disinilah pasien dapat membuat keputusan untuk tetap melanjutkan berpuasa atau batal puasa (Rusli, 2018:139-140).
Dari penjelasan di atas, sungguh “terbalik” saat ada orang yang sehat berjenis kelamin laki-laki dan sudah memenuhi hukum untuk melaksanakan ibadah puasa (mukallaf), namun ia tidak berpuasa. Dan, laki-laki tersebut ada, di lingkungan kita. Ia merasa dirinya, tidak wajib berpuasa dengan alasan yang menurut dia, itu benar. Misal, dengan alasan yaitu:pekerjaan yang susah, berat, cuaca panas, dan fisik tidak mampu, dimana ia memutuskan tidak berpuasa. Namun, ia tetap sholat.
Bagaimana, para pakar menghadapi kasus di atas? Para ahli mengatakan, bahwa kebanyakan orang tidak melakukan puasa—walaupun sudah mukallaf/baligh/berakal—dikarenakan ia memiliki banyak dosa. Dosa yang banyak, itulah menutupi hatinya.
Ia melakukan perbuatan dosa dimulai dari pekerjaan yang tidak dirasa—berpotensi menjadi sebuah dosa—seperti:berbohong, berkata ah kepada orang tua, menyalahgunakan jabatan, menggosip (ghibah), mengadu domba/memprovokasi perbuatan buruk kepada orang lain, berprasangka buruk, mempercayai ramalan, dan dosa kecil lainnya.
Dosa-dosa kecil bisa menjadikan hati seseorang bisa sakit (qolbun marid), yaitu hati yang tidak bisa membedakan hak/benar dan batil/salah, sehingga ia tidak sadar telah melakukan dosa—baik dosa kecil—yang “bertumpuk” menjadi dosa besar.
Oleh karenanya, sebagai orang muslim harus melakukan ibadah puasa. Muslim adalah syarat orang diperbolehkan untuk melakukan ibadah puasa. Secara fiqih itu, cukup syarat berpuasa yaitu muslim saja. Akan tetapi, tidak cukup secara al-Qur’an, bahwa syarat berpuasa itu muslim. Syarat berpuasa secara al-Qur’an itu, harus beriman.
Secara tauhid ada istilah islam, iman, dan ihsan. Ketiga istilah tersebut, harus selalu beriringan. Ada orang islam, namun belum beriman akan keberadaan alam akhirat. Ada orang islam, namun untuk berbuat sedekah (baca: ihsan), ia masih eman-eman. Sehingga, kita harus belajar tingkatan islam, iman, dan ihsan. Kita ada pada level mana? Hanya, Anda sendirilah yang lebih yang bisa menjawabnya.
Dengan demikian, mengapa ada orang sehat, berakal, mampu, dan tidak ada masalah penyakit dalam dirinya itu—tidak melakukan puasa—dengan alasan yang menurut dia benar yaitu pekerjaan susah, banyak, cuaca panas, dan tidak kuat lapar adalah kurang tepat. Seharusnya, pendekatan hati yang digunakan. Bukan, pendekatan fisik. Karena pendekatan fisik secara kesehatan itu, tidak masalah. Namun, pendekatan hati orang tersebut, bermasalah. Bermasalahnya karena apa? Karena, dosa yang menutupi hatinya, sehingga akal mencari alasan, agar tidak berpuasa. Jelas hal ini tidak tepat. Oleh karenanya, kembalilah ke al-Qur’an, agar kita beriman. Berimanlah yang dipanggil oleh Allah untuk melakukan ibadah puasa (ya ayyulah aldzina amanu). Bukan, ya ayyuhal muslimun (wahai orang-orang islam). Karena, orang islam, belum tentu melakukan ibadah puasa. Baru setelah beriman yang berpuasa, akan naik kelas menjadi tattaqun orang bertakwa (QS. al-Baqoroh 183).
Demikian, khutbah singkat ini. Ada beberapa simpulan, yaitu:
- Kemungkinan besar dalam penentuan awal Ramadhan 1443 Hijriah/tahun ini: ada perbedaan pendapat. Ada yang besok (Sabtu) dan dua hari lagi (Ahad).
- Syarat berpuasa, fiqih menyebutkan dengan istilah mukallaf. Mukallaf artinya: berakal dan baligh. Namun, di lapangan: belum tentu orang mukallaf itu berpuasa.
- Ada orang islam dan mukallaf (baligh dan berakal), tetapi tidak berpuasa, dengan alasan pembenaran atas dirinya. Dalam konteks ini, itu tidak dibenarkan. Karena ia membenarkan dirinya.
- Bisa jadi, dosa yang banyak adalah penghambat orang sehat, dewasa, dan berakal (mukallaf) untuk tidak melakukan ibadah puasa. Orang yang tertutup hatinya, menjadikan penghalang dan malas untuk melakukan ibadah puasa. Agar terbuka hatinya, bertobatlah segera bagi orang yang telah sakit hatinya (qolbun marid).
- Ada orang yang sakit bisa berpuasa atas anjuran dokter yang sangat mahir dan beragama muslim, serta atas keyakinan dan keteguhan diri orang yang akan melakukan puasa. Dasarnya, konsultasi ke dokter dan keyakinan pasien.
Semoga bermanfaat khutbah ini. Amin. []
Semarang, 30 Maret 2022. Rencana akan disampaikan di Masjid Ulul Albab (MUA) Jumat, 1 April 2022. Materi ini pernah ditulis pada tanggal 6 April 2021 ditulis Di Rumah jam 03.00 – 03.30 WIB, kemudian dilanjutkan di Madrasah Aqidatul Awwam jam 05.00 – 05.15 WIB.
Recent Comments