Kajian Arbain Nawawi (44): Tetangga
Oleh Agung Kuswantoro
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakanlah tetangganya.” Maksudnya adalah berbuat baik kepadanya (tetangga), tidak menyakitinya (baik dengan lisan maupun tangan), tidak mengganggu ketenangannya dengan “kegaduhan” di rumah, membantunya jika mengalami kesulitan (baik diminta maupun tidak), berbuat baik kepada anak-anaknya, menutupi aib dan kekurangannya, memberikan makanan jika dia kelaparan, memberikan pakaian jika dia tidak memiliki pakaian, dan sejenisnya. Ini semua merupakan bukti kesempurnaan iman (Hasan, 2020). Hal tersebut selaras dengan surah an-Nisa ayat 36:“Sembahlah Allah dan janganlah engkau mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, serta tetangga dekat dan tetangga jauh.”
Dalam ayat tersebut muncul pertanyaan: “Apakah yang dimaksud dengan tetangga dekat (al-jaar dzil qurba) dan tetangga jauh (al-jaarul junub)? Ada beberapa keterangan dari para imam mufassir.
Pertama, Abdullah bin Abbas menjelaskan “tetangga dekat” adalah antara dirimu dan dirinya ada hubungan kekerabatan. “Tetangga jauh” adalah yang bukan ada hubungan kekerabatan antara dirimu dan dirinya.
Kedua, Abu Ishaq dari nauf al-Bikali berkata, :”tetangga dekat” adalah Muslim. “Tetangga jauh” adalah Yahudi dan Nasrani.
Ketiga, Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas’ud berkata, “tetangga dekat” adalah perempuan “(istri)”. Mujahid juga berkata tentang firman-Nya, “tetangga jauh” adalah rekan dalam perjalanan.
Terkait macam-macam tetangga, dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah saw, sabda, “Tetangga ada tiga macam. Pertama, tetangga yang memiliki satu hak, dia mendapatkan hak bertetangga saja. Kedua, tetangga yang memiliki tiga hak dan dia memiliki hak tetangga yang paling utama. Adapun tetangga yang memiliki satu hal adalah tetangga musyrik, tidak ada hubungan kasih sayang dengannya (tidak senasab). Baginya, hanya hak tetangga. Adapun yang memiliki dua hak tetangga adalah tetangga Muslim, dia memiliki hak sebagai orang Islam dan hak sebagai tetangga. Adapun yang memiliki tiga hak adalah tetangga Muslim yang memiliki ikatan kasih sayang (senasab). Dia memiliki hak tetangga, hak Islam, dan hak saudara senasab.
Catatan: Menurut Kiai Hasan (2020) terkait hadist macam-macam tetangga tersebut, bahwa Imam Nuruddin al-Haitsami rahimahullah berkata, “Diriwayatkan oleh al-Bazzar; dari syekhnya (gurunya), Abdullah bin Muhammad al-Haritsi, dan dia adalah wadhaa’ (pemalsu hadits). Oleh karena itu, hadits ini telah didhaifkan (al-Fawaid al-Majmu’ah fi al-Ahadits Maudhu’ah, Nomor 134). Imam al-Iraqi mengatakan bahwa hadits ini dikeluarkan oleh al-Hasan bin Sufyan dan al-Bazzar (dalam kitab Musnad mereka), Abu Syekh (dalam kitab ats-Tsawab), Abu Nu’aim (dalam kitab al-Hilyah, dari hadits Jabir, dan Ibnu Adi dari Ibnu Umar – kedua jalur ini adalah dhaif. Lihat kitab Takhrij al-Ihya’, 4/ 498, Nomor 1. 998). Imam Muhammad Thahir al-Hindi al-Fatani (dalam kitab Tadzkirah al-Maudhu’at, hlm, 203), dan Syekh al-Albani dalam berbagai kitabnya (Dha’if al-Jami’. No. 2.674, dan as-Silsilah adh-Dha’ifah, Nomor 3.493, dan lainnya). Wallahu ‘alam.
Bersambung.
Sumber rujukan:
Hasan, F.N. 2020. Syarah Hadist Arba’in An-Nawawi. Depok: Gema Insani.
Hassan, Q. 1982. Ilmu Musthalah Hadist. Bandung: Penerbit Diponegoro.
Kitab Azwadul Musthofawiyah karangan KH Bisri Mustofa, Rembang.
Kitab Majalis Saniah, Karangan Syeikh Ahmad Bin Syeikh Al-Fasyaini.
Suparta, M. 2016. Ilmu Hadist. Depok: PT Rajagrafindo Persada.
Tohhan, M. 1977. Taisir Mustholah al-Hadist. Riyad: Universitas Madinah.
Semarang, 5 November 2022
Ditulis di Rumah jam 04.00-04.10 Wib.
Recent Comments