• Thursday, February 15th, 2024

Sholat dan Masjid

Oleh Agung Kusantoro

28 Rojab 1445 Hijriah (9 Februari 2024), saya posisi di Rembang, dimana masyarakatnya sangat kental dengan agama Islam. Sebelumnya, saya menyempatkan ziarah ke makam kiai Qostur dan kiai Chozin (ke-2 nya, pakde saya). Pada malam harinya, saya mendapatkan kabar dari NUO (Nasaruddin Umar Office) bahwa masjid Istiqlal oleh Unesco dijadikan masjid percontohan penyelenggaraan ibadahnya (penyelenggaraan sholat dan kajian-kajiannya). Lalu, saya berpikir—tepat pada 27 Rojab 1445 Hijriyah (8 Februari 2024)—dimana pada peristiwa tersebut sholat diwajibkan sejumlah 5 kali sehari.

Pikiran saya tertuju adalah sholat dan masjid. Kedua ini (sholat dan masjid) adalah sebuah keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan. Ada sholat, maka ada masjid. Tidak ada masjid, maka tidak ada sholat. Pertanyaannya adalah masjid seperti apa yang bisa mengaitkan dengan sholat?

Dalam pengamatan saya: tidak semua masjid mampu menyelenggarakan dengan baik sholatnya. Ada masjid namun belum tentu, ada imamnya. Ada masjid, namun belum ada makmum/jamaah yang akan sholat. Masjid lebih cenderung sebagai tempat melakukan sebuah aktivitas/kegiatan tertentu. Namun belum terlaksana kegiatan penyelenggaraan sholatnya. Saat sholat jamaah rowatib tiba, justru yang datang sedikit/kurang dari 3 orang. Bahkan, tidak ada penyelenggaraan sholat saat rowatib saat waktu sholat tiba. Namun, kegiatan/peristiwa yang tidak ada hubungannya dengan masjid dengan ramai-ramai datang ke masjid.

Hal seperti inilah ynag belum “sreg” dalam hati saya, dimana fungsi masjid yang utama adalah melaksanakan sholat. Tugas utama takmir adalah menyelenggarakan pelaksanaan sholat 5 waktu sehari dengan baik sehingga jamaah nyaman beribadah, mungkin contohnya adalah masjid Istiqlal.

Di masjid Istiqlal, sebelum sholat, jamaah sudah disajikan lantunan ayat suci al Qur’an secara oral dari manusia (bukan suara kaset MP3), kemudian disajikan suara tarkhim secara oral manusia (bukan kaset MP3), lalu adzan. Setelah itu, pengumuman siapa imam dan muadzin. Kemudian, pengumuman mengenai memakai pakaian yang baik saat sholat dan mengisi barisan depan karena sholat akan segera dimulai. Setelah itu sholat, kemudian kajian setelah sholat.

Bayangkan satu sholat saja, seperti itu. Lalu, betapa nikmatnya sholat lima waktu di masjid Istiqlal? Subhanallah.

Mungkin cara seperti inilah PBB melalui Unesco menjadikan masjid Istiqlal sebagai contoh/model dalam penyelenggaraan ibadah – kajian yang baik dan terbuka untuk umum.

Mari perhatikan masjid di sekitar kita. Baru mau ke masjid, atau “baru” melakukan ibadah saja, “sudah” ada masukan: agar ini, itu dari seseorang; padahal yang memberi masukan tidak pernah pergi atau melaksanakan ibadah sholat lima waktu di masjid tersebut. Inilah fenomena yang saya pernah lihat dan amati.

Harapan dan doa saya di peringatan Isro Mikroj tahun 2024 ini: semua masjid-masjid yang kita rasakan dan jumpai bisa seperti masjid Istiqlal sebagai contoh terbaik saat ini.  Semoga kita bisa melaksanakan sholat di masjid sebagaimana ajaran guru kita. Amin. []

Ditulis di Rembang,9 Februari 2024

Jam 04.45 – 05.04 Wib. 28 Rojab 1445 H.

Category: Uncategorized
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.
Leave a Reply