Menyingkapi Makna Spiritual Isra Mikraj
Oleh Agung Kuswantoro
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”(QS al-Isra [17]: 1).
Insya Allah, Senin (27 Januari 2024 bertepatan tanggal 27 Rajab 1446) umat Islam akan merayakan Isra Mikraj. Peristiwa Isra Mikraj adalah perjalanan spiritual Nabi Muhammad Saw dari Masjid Haram ke Masjid Aqsha yang sangat dramatik dan fantastik. Dalam tempo singkat-kurang dari semalam (minal layl), Nabi berhasil menembus lapisan-lapisan spiritual yang amat jauh bahkan hingga ke puncak (Sidratil Muntaha).
Shihab (2012) mengatakan, bahwa sebelum hijrah ke Madinah ada peristiwa yang sangat penting yaitu isra mikraj. Isra mikraj merupakan bagian dari kisah/Tarikh Nabi Muhammad Saw pada periode Mekkah, dimana sebelumnya terjadi pemboikotan dan blokade ekonomi terhadap Nabi Muhammad Saw dan keluarganya oleh musyrik Mekkah dan peristiwa meninggalnya Abu Tholib dan Siti Khodijah.
Abu Tholib dan Siti Khodijah adalah ke-2 tokoh yang berperan besar dalam kehidupan dan perjuangan Nabi Muhammad Saw. ke-2 nya wafat pada tahun yang sama, bahkan minggu yang sama setelah 10 tahun dari pengangkatan menjadi Nabi. Sehingga pada tahun tersebut dinamai “Am al-Huzn” (tahun kesedihan).
Lalu muncullah peristiwa Isra Mikraj. Setelah Isra Mikraj, muncullah peristiwa hijrah dan memasuki periode Madinah. Walaupun terjadi dalam sekejap, tetapi memori Rasulullah Saw berhasil menyalin pengalaman spiritual yang amat padat di sana. Kalau dikumpulkan seluruh hadis Isra Mikraj (baik sahih maupun tidak), maka tidak cukup sehari-semalam untuk menceritakannya. Mulai dari perjalanan horizontalnya (ke Masjid Aqsha) sampai perjalanan vertikalnya (ke Sidratil Muntaha). Pengalaman dan pemandangan dari langit pertama hingga langit ketujuh dan sampai ke puncak Sidratil Muntaha. Ada pertanyaan yang mengusik. Mengapa Allah SWT memperjalankan hambanya di malam hari (laylan), bukan di siang hari (naharan), sebagaimana firman-Nya pada paragraph pembuka.
Dalam bahasa Arab kata laylan mempunyai beberapa makna. Ada makna literal berarti malam, lawan dari siang. Ada makna alegoris (majaz) seperti gelap atau kegelapan, kesunyian, keheningan, dan kesyanduan; serta ada makna anagogis (spiritual) seperti kekhusyukan (khusyu’), kepasrahan (tawakkal), kedekatan (taqarrub) kepada Allah.
Dalam syair-syair klasik Arab, ungkapan laylan lebih banyak digunakan makna alegoris ketimbang makna literalnya. Seperti ungkapan syair seorang pengantin baru: “Ya layla thul, ya shubhi qif” (wahai malam bertambah, panjanglah; wahai Subuh, berhentilah). Kata laylan di dalam bait itu berarti kesyahduan, keindahan, kenikmatan, dan kehangatan; sebagaimana dirasakan oleh para pengantin baru yang menyesali pendeknya malam.
Didalam syair-syair sufistik orang bijak (hukama) juga lebih banyak menekankan makna anagogis kata laylan. Para sufi lebih banyak menghabiskan waktu malamnya untuk mendaki (taraqqi) menuju Tuhan. Mereka berterima kasih kepada laylah (malam) yang selalu menemani kesendirian mereka. Perhatikan ungkapan Imam Syafii: Man thalabal ula syahirallayali (barangsiapa yang mendambakan martabat utama banyaklah berjaga di waktu malam), bukan sekadar berjaga. Kata al-layali di sini berarti keakraban dan kerinduan antara hamba dan Tuhannya.
Arti laylan dalam ayat pertama surah al-Isra di atas menunjukkan makna anagogis, yang lebih menekankan aspek kekuatan spiritual malam. Kekuatan emosional-spiritual malam hari yang dialami Rasulullah, dipicu oleh suasana sedih yang sangat mendalam, karena sang istri, Khadijah, dan sekaligus pelindungnya telah pergi untuk selama-lamanya. Rasulullah memanfaatkan suasana duka di malam hari sebagai kekuatan untuk bermunajat kepada Allah SWT. Kesedihan dan kepasrahan yang begitu memuncak membawa Rasulullah menembus batas-batas spiritual tertentu, bahkan sampai pada jenjang puncak yang bernama Sidratil Muntaha. Di sanalah Rasulullah di-install (diisi) dengan spirit luar biasa sehingga malaikat Jibril sebagai panglima para malaikat juga tidak sanggup menembus puncak batas spiritual tersebut. Kehebatan malam hari juga digambarkan Tuhan di dalam al-Qur’an:
“Dan pada sebahagian malam hari shalat tahajudlah kalian sebagai suatu ibadah tambahan bagi kalian: mudah-mudahan Tuhan kalian mengangkat kalian ke tempatyang terpuji.”(QS al-Isra [17]: 79).
Juga ada ayat yang berbunyi demikian:
“Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).”(QS al-Dzariyat [51]: 17-18).
Kata laylan dalam ayat-ayat di atas, mengisyaratkan malam sebagai rahasia untuk mencapai ketinggian dan martabat utama di sisi Allah SWT di malam hari. Ayat pertama (QS al-‘Alaq [96]: 1-5) diturunkan di malam hari. Ayat-ayat tersebut sekaligus menandai pelantikan Muhammad SAW sebagai Nabi di malam hari. Tidak lama kemudian turun ayat dalam surah Al-Muddatstsir yang menandai pelantikan Nabi Muhammad, sekaligus sebagai Rasul menurut kalangan ulama ‘Ulumul Qur’an.
Peristiwa Isra dan mikraj, ketika seorang hamba mencapai puncak maksimum (sidratil-muntaha) juga terjadi di malam hari. Yang tidak kalah pentingnya ialah laylan al-qadr khair min alf syahr (malam lailatul qadr lebih mulia dari seribu bulan), bukannya siang hari Ramadlan (naharal-qadr).
Umar (2019) mengatakan
Surah al-Isra [17] diapit oleh dua surah yang serasi yaitu al-Nahl [16] dan al-Kahfi [18]. Surah al-Nahl dianggap simbol kecerdasan intelektual, karena berkaitan dengan dunia keilmuan (kisah lebah). Surah al-Kahfi sebagai simbol surah kecerdasan spiritual, karena berkaitan dengan cerita keyakinan dan spiritualitas (kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa, Ashabul Kahfi dan Dzulkarnain).
Sedangkan surah Al-Isra sering dijadikan sebagai simbol kecerdasan emosional, karena di dalamnya diceritakan pengaruh kematangan emosional dan prestasi puncak seorang hamba. Itulah sebabnya, ketiga surah yang menempati pertengahan juz al-Qur’an disebut dengan surah tiga serangkai, yaitu surah IQ EQ, SQ (Intellectual Quotient, Emotional Quotient, Spiritual Quotient).
Keutamaan di malam hari, juga banyak membuat anak manusia menjadi lebih sadar (insyaf) dari perbuatan masa lalu yang kelam dan hitam. Malam hari banyak menumpahkan air mata tobat para hamba yang menyadari akan kesalahannya. Malam hari paling tepat untuk dijadikan momentum menentukan cita-cita luhur.
Mungkin inilah salah satu keistimewaan pondok pesantren yang memanfaatkan malam hari untuk memperbaiki akhlak dan budi pekerti santrinya. Sementara di sekolah-sekolah umum, jarang sekali memanfaatkan malam hari untuk pembinaan budi pekerti. Padahal, Allah sudah mengisyaratkan bahwa pada umumnya shalat itu ditempatkan di malam hari. Hanya shalat Zuhur dan Ashar di siang hari, selebihnya di malam hari (shalat Maghrib, Isya, Tahajjud, Witir, Tarawih, Fajr, Subuh). Ini isyarat bahwa pendekatan pribadi secara khusus kepada Tuhan lebih utama di malam hari.
Sebenarnya peristiwa Isra Mikraj mempunyai dua macam peristiwa. Pertama, perjalanan horizontal dari Masjid Haram ke Masjid Aqsha. Dan kedua, perjalanan vertikal dari Masjid Aqsha ke Sidratil Muntaha. Perjalanan Isra mungkin masih bisa dideteksi dengan sains dan teknologi, tetapi perjalanan Mikraj sama sekali di luar kemampuan otak pikiran manusia.
Perjalanan Mikraj ini, juga masih diperdebatkan banyak ulama, apakah dengan fisik dan roh Rasulullah atau hanya rohaninya saja. Mayoritas ulama Sunni memahami bahwa yang diperjalankan Tuhan ke Sidratil Muntaha ialah Nabi Muhammad SAW secara utuh, lahir dan batin. Sementara pendapat lain memahami hanya rohaninya saja. Yang pasti, perjalanan singkat itu berhasil merekam berbagai pemandangan spiritual bagi Rasulullah SAW, dan hendaknya bisa dijadikan pelajaran dan hikmah bagi umat Islam. Sebab, perjalanan malam hari itu, telah membangkitkan semangat baru Rasulullah dalam menyebarkan dakwah Islam. []
Sumber:
Shihab, Q. 2012. Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw: dalam Sorotan al Qur’an & Hadits – Hadist Shohih. Tangerang: Penerbit Lentera Hati.
Umar, N. 2019. Khutbah-Khutbah Imam Besar. Bandung: Penerbit : Iman Real.
Recent Comments