Kiai Masruchi: Fathul Mu’in dan Ihya Ulumudin
Oleh Agung Kuswantoro
Mendapatkan kabar duka dalam suatu grup alumni Salafiyah Kauman Pemalang, yaitu meninggalnya Kiai Masruchi Muhtar, hati menjadi tertugun. Diam.
Alhamdulillah, saya termasuk orang yang “mengidolakannya” dengan mengaji Fathul Mu’in saat itu usia saya sekitar 16 tahun. Saya sudah mulai dikenalkan kitab Fathul Mu’in. Beliaulah yang mengenalkan/mengajarkan kitab fikih klasik tersebut.
3 tahun saya mengaji yang diasuh oleh beliau di serambi pondok pesantren putri Salafiyah Kauman Pemalang. Ketertarikan saya dengan beliau adalah (tidak serta merta) menggunakan bahasa Jawa, layaknya orang dalam mengabsahi kitab. Namun, beliau mengabsahinya dalam bahasa Indonesia.
Sekitar tahun 1998/1999 saya mengaji kitab Fathul Mu’in dengan contoh metode saat itu, mengingat latar belakang pekerjaan beliau sebagai ketua hakim pengadilan agama kabupaten Pemalang. Beliau pun mahir dalam nahwu – sorof, dan ilmu kekiaian saat itu. Contoh – contoh yang belia sampaikan juga sangat akademik/logis. Pernah menjelaskan makna/manfaat petir, dikaitkan dengan surat arro’du. Penjelasan ilmiah seperti inilah yang saya temukan dalam diri, beliau.
Beliau sangat tidak senang, jika ada santri yang datang terlambat, saat ngaji. Baginya, mengaji sangat penting bagi santri, sehingga jangan sampai terlambat.
Kemudian, pada tahun sekitar 2001, saya mengikuti kajian Ihya Ulumuddin di Masjid Agung Pemalang. Adapun pengasuh kajiannya adalah beliau, jika tidak salah ingat, beliau mendapatkan jatah jilid ketiga dari kitab Ihya Ulumuddin, sedangkan jilid pertama adalah Kiai Dimyati, Kedawung, Comal. Sekali lagi, tidak salah.
Yang tak pernah saya lupakan dari beliau, adalah kalimat “dan sebagainya”, dan sebagainya”. Ciri khas kalimat yang diucapkan saat khutbah dari contoh yang disampaikan. “Dan sebagainya”, dan sebagainya” sebagai ujung perumpamaan yang ia sampaikan saat khutbag.
Khutbahnya bisa dikatakan “berisi” dan “bergizi”. Gaya beliau pun saat berkhutbah, beberapa saya tiru dalam hidup saya. Bahkan, saat mengaji bab solat Jumat pada kitab Fathul Mu’in dijabarkan oleh beliau dengan detail cara yang fasih dalam berkhutbah dan praktik cara membawa tongkat.
Memang, saya terinspirasi sekali dengan beliau. Apa pun yang berkaitan dengan fikih kehidupan, saya merujuk pada beliau, terutama masalah perceraian. Beliau sangat pakar sekali.
Kini beliau telah tiada. Hanya penerus-peneruslah yang bisa melanjutkan “estafet” dakwahnya. Saya ingin mengucapkan terima kasih banyak kepada beliau karena telah menjadikan saya bisa mencintai ilmu agama dan kritis terhadap fenomena sekitar. Padahal untuk itu, saya hanya niat ngaji saja yang belum tentu paham apa yang beliau sampaikan. Seiring berjalannya waktu, saya pun mencoba memahami apa yang disampaikannya waktu itu (saat SMP hingga SMA).
Terima kasih pula saya sampaikan kepada pondok pesantren Salafiyah, Kauman Pemalang atas momen/peristiwa dimana saya bisa mengenal beliau. Hanya doa dan tahlil yang saya ucapkan untuk beliau. Solat ghoib adalah “obat kangen” saat mendengar kabar pertama beliau “berpulang”.
Selamat jalan guru “kehidupan” saya. Sekali lagi terima kasih atas ilmunya yang telah diberikan kepada saya, santri-santri, jamaah di Salafiyah Kauman Pemalang dan Masjid Agung Pemalang. Nasihat semangat mengaji dari Bapak, insya Allah tidak “luntur“ dalam hidup saya. Amin. []
Semarang, 20 November 2022
Ditulis di Rumah Jam 00.40 – 01.00 Wib.
Recent Comments