Author Archive

• Wednesday, March 30th, 2022

Puasa Itu Wajib, Bagi Siapa?

Oleh Agung Kuswantoro

 

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (Q.S. alBaqarah: 183).

 

Menurut Multazam Ahmad (2022) dalam Suara Merdeka edisi jumat 25 Maret 2022 mengatakan bahwa, kemungkinan besar akan terjadi perbedaan bagi umat Islam untuk melakukan amal ibadah puasa . Hal ini disebabkan, perbedaan metode untuk menentukan penentuan pengertian awal bulan.

 

Bagi Saudara kita (Muhammadiyah) yang bermadzab hisab, jauh hari sudah menentukan bahwa awal Ramadhan akan jatuh 2 April 2022 (Sabtu/besok), sedangkan dari kelayakan NU yang bermadzab hisab dan rukyah, masih akan menunggu hasil rukyah mengawali puasa Ramadhan yang akan jatuh pada 3 April 2022 (Ahad). Hadis Nabi: “Berpuasalah kamu sekaliah setelah melihat hilal, berbukalah kamu sekalian setelah melihat hilal, Apalagi terhalang sempurnakanlah bilangan bulan”)

 

Ada 2 metode yang berbeda, namun ada 1 tujuan yang sama yaitu menjadi hamba yang bertakwa, muncullah sebuah pertanyaan: “puasa itu, wajib untuk siapa?”

 

Dalam kitab Fathul Muin bab tentang puasa, disebutkan bahwa puasa itu wajib bagi mukallaf. Mukallaf dalam hal ini, dimaknai yaitu baligh dan berakal. Mukallaf secara hukum dan kenyataan. Secara hukum artinya, sudah sah sesuai dengan aturan. Secara kenyataan, artinya sudah memenuhi kriteria yang telah ditentukan.

 

Berbeda kasus mukallaf dalam hal ini, yaitu anak kecil dan orang gila. Anak kecil yang mampu berpuasa dari imsak hingga futur/magrib, maka secara hukum, tetap belum memenuhi. Karena, masih kecil. Orang berpuasa harus baligh. Orang berpuasa harus dewasa.

 

Demikian juga, (maaf) orang dewasa yang gila, ia sudah berumur, namun syarat mukallaf—dalam hal ini, yaitu berakal—itu tidak memenuhi. Jadi, walaupun ada orang dewasa yang gila itu, beribadah puasa. Maka, secara syarat/hukum itu, tidak memenuhi. Orang yang berpuasa itu, harus berakal.

 

Syarat mukallaf menjadi gugur/batal/tidak berlaku, ketika seorang wanita dewasa sedang haid, nifas, atau wiladah. Mengapa wanita yang haid, nifas, atau wiladah menjadi gugur secara hukum, walaupun yang bersangkutan itu mampu melakukan ibadah puasa? Para ulama mengatakan, bahwa puasa harus dilakukan dalam keadaan suci bagi seorang wanita. Bukan, dilakukan oleh wanita yang dalam keadaan “kotor”.

 

Orang sakit berpuasa

  1. H. Sukiman Rusli, SpPD – seorang dokter dan anggota Komisi Fatwa MUI DKI – dalam bukunya, “Berpuasa Di Saat Sakit dan Sehat”, mengatakan seorang pasien/orang yang sakit dapat memutuskan berpuasa atau batal harus menggunakan beberapa petunjuk yaitu (1) Berkonsultasi dengan dokter muslim yang mahir dan terpercaya, (2) Apabila dokter belum bisa membuat keputusan “apakah berpuasa atau batal”, maka pasien/orang tersebut, dapat membuat keputusan berdasarkan pengalaman pribadi pasien, saat pelaksanaan puasa sebelumnya. Sebaiknya pasien tersebut—dalam membuat keputusan—didukung oleh informasi/ilmu dari buku, majalah, atau pengajian, (3) Bila dokter tidak ada yang mahir dan pengalaman belum ada, maka pasien tersebut melaksanakan ibadah puasa saja. Pastinya, selama berpuasa mengamati organ tubuh dan gejala penyakit yang dirasakan. Nah, disinilah pasien dapat membuat keputusan untuk tetap melanjutkan berpuasa atau batal puasa (Rusli, 2018:139-140).

 

Dari penjelasan di atas, sungguh “terbalik” saat ada orang yang sehat berjenis kelamin laki-laki dan sudah memenuhi hukum untuk melaksanakan ibadah puasa (mukallaf), namun ia tidak berpuasa. Dan, laki-laki tersebut ada, di lingkungan kita. Ia merasa dirinya, tidak wajib berpuasa dengan alasan yang menurut dia, itu benar. Misal, dengan alasan yaitu:pekerjaan yang susah, berat, cuaca panas, dan fisik tidak mampu, dimana ia memutuskan tidak berpuasa. Namun, ia tetap sholat.

 

Bagaimana, para pakar menghadapi kasus di atas? Para ahli mengatakan, bahwa kebanyakan orang tidak melakukan puasa—walaupun sudah mukallaf/baligh/berakal—dikarenakan ia memiliki banyak dosa. Dosa yang banyak, itulah menutupi hatinya.

 

Ia melakukan perbuatan dosa dimulai dari pekerjaan yang tidak dirasa—berpotensi menjadi sebuah dosa—seperti:berbohong, berkata ah kepada orang tua, menyalahgunakan jabatan, menggosip (ghibah), mengadu domba/memprovokasi perbuatan buruk kepada orang lain, berprasangka buruk, mempercayai ramalan, dan dosa kecil lainnya.

 

Dosa-dosa kecil bisa menjadikan hati seseorang bisa sakit (qolbun marid), yaitu hati yang tidak bisa membedakan hak/benar dan batil/salah, sehingga ia tidak sadar telah melakukan dosa—baik dosa kecil—yang “bertumpuk” menjadi dosa besar.

 

Oleh karenanya, sebagai orang muslim harus melakukan ibadah puasa. Muslim adalah syarat orang diperbolehkan untuk melakukan ibadah puasa. Secara fiqih itu, cukup syarat berpuasa yaitu muslim saja. Akan tetapi, tidak cukup secara al-Qur’an, bahwa syarat berpuasa itu muslim. Syarat berpuasa secara al-Qur’an itu, harus beriman.

 

Secara tauhid ada istilah islam, iman, dan ihsan. Ketiga istilah tersebut, harus selalu beriringan. Ada orang islam, namun belum beriman akan keberadaan alam akhirat. Ada orang islam, namun untuk berbuat sedekah (baca: ihsan), ia masih eman-eman. Sehingga, kita harus belajar tingkatan islam, iman, dan ihsan. Kita ada pada level mana? Hanya, Anda sendirilah yang lebih yang bisa menjawabnya.

 

Dengan demikian, mengapa ada orang sehat, berakal, mampu, dan tidak ada masalah penyakit dalam dirinya itu—tidak melakukan puasa—dengan alasan yang menurut dia benar yaitu pekerjaan susah, banyak, cuaca panas, dan tidak kuat lapar adalah kurang tepat. Seharusnya, pendekatan hati yang digunakan. Bukan, pendekatan fisik. Karena pendekatan fisik secara kesehatan itu, tidak masalah. Namun, pendekatan hati orang tersebut, bermasalah. Bermasalahnya karena apa? Karena, dosa yang menutupi hatinya, sehingga akal mencari alasan, agar tidak berpuasa. Jelas hal ini tidak tepat. Oleh karenanya, kembalilah ke al-Qur’an, agar kita beriman. Berimanlah yang dipanggil oleh Allah untuk melakukan ibadah puasa (ya ayyulah aldzina amanu). Bukan, ya ayyuhal muslimun (wahai orang-orang islam). Karena, orang islam, belum tentu melakukan ibadah puasa. Baru setelah beriman yang berpuasa, akan naik kelas menjadi tattaqun orang bertakwa (QS. al-Baqoroh 183).

 

Demikian, khutbah singkat ini. Ada beberapa simpulan, yaitu:

  1. Kemungkinan besar dalam penentuan awal Ramadhan 1443 Hijriah/tahun ini: ada perbedaan pendapat. Ada yang besok (Sabtu) dan dua hari lagi (Ahad).

 

  1. Syarat berpuasa, fiqih menyebutkan dengan istilah mukallaf. Mukallaf artinya: berakal dan baligh. Namun, di lapangan: belum tentu orang mukallaf itu berpuasa.

 

  1. Ada orang islam dan mukallaf (baligh dan berakal), tetapi tidak berpuasa, dengan alasan pembenaran atas dirinya. Dalam konteks ini, itu tidak dibenarkan. Karena ia membenarkan dirinya.

 

  1. Bisa jadi, dosa yang banyak adalah penghambat orang sehat, dewasa, dan berakal (mukallaf) untuk tidak melakukan ibadah puasa. Orang yang tertutup hatinya, menjadikan penghalang dan malas untuk melakukan ibadah puasa. Agar terbuka hatinya, bertobatlah segera bagi orang yang telah sakit hatinya (qolbun marid).

 

  1. Ada orang yang sakit bisa berpuasa atas anjuran dokter yang sangat mahir dan beragama muslim, serta atas keyakinan dan keteguhan diri orang yang akan melakukan puasa. Dasarnya, konsultasi ke dokter dan keyakinan pasien.

 

Semoga bermanfaat khutbah ini. Amin. []

 

Semarang, 30 Maret 2022. Rencana akan disampaikan di Masjid Ulul Albab (MUA) Jumat, 1 April 2022. Materi ini pernah ditulis pada tanggal 6 April 2021 ditulis Di Rumah jam 03.00 – 03.30 WIB, kemudian dilanjutkan di Madrasah Aqidatul Awwam  jam 05.00 – 05.15 WIB.

• Wednesday, March 30th, 2022

Menghapus Kecemasan Hati

Oleh Nasaruddin Umar

 

Setelah Kajian Menata Diri selesai, kita lanjut pada kajian hati lainnya. Untuk kali ini mengkaji “Menghapus Kecemasan Hati”. Nabi Saw. dalam sabdanya menyebutkan: “Sesungguhnya Allah  telah menetapkan ketentuan-ketentuan atas makhluk-Nya lima puluh ribu tahun sebelum langit dan bumi diciptakan.” (HR. Muslim)

 

Demikian Nabi Muhammad Saw. jika yang menghidupkan, yang mematikan, dan yang memberi rezeki itu adalah Allah Swt., lalu mengapa ada rasa takut kepada sesama? Qadha itu sudah selesai diciptakan Tuhan, termasuk alam semesta ini telah selesai diatur, tidak ada sesuatu yang bergerak di dunia ini, kecuali atas izin Allah Swt.

 

Qadha merupakan ilmu Allah yang terdahulu, yang dengannya Allah menetapkan segala sesuatu sejak azali. Sedangkan qadhar, terjadinya penciptaan sesuatu sesuai ukuran dan timbangan perkara yang telah ditentukan sebelumnya. Qadha ketentuan yang bersifat umum dan global sejak zaman azali, sedangkan qadhar adalah bagian-bagian, mikro, dan perincian-perincian dari ketentuan tersebut. Jika beberapa gelas jatuh dari ketinggian tertentu maka qadhanya gelas-gelas itu pasti pecah, akan tetapi serpihan masing-masinggelas berbeda-beda satu sama lain. Pecahnya gelas-gelas yang jatuh merupakan qadha, tetapi serpihan pecahan masing-masing gelas berbeda-beda satu sama lain, itu disebut qadhar Allah Swt. berfirman: “dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula).” (QS. al-Anam [6]: 59)

 

Tidak gugur sehelai daun dari tangkainya melainkan sudah tercatat di Lauh Mahfuzh. Lalu mengapa harus risau, sedih, dan putus asa? Bukankah depresi, insomania dan abses merupakan akibat dari putus asa dan ketakutan yang berlebihan untuk jatuh dan gagal? Kekhawatiran, kecemasan, kegelisahan, dan ketakutan terhadap kemiskinan adalah bagian dari perdayaan setan kepada  manusia, sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran: “Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. al-Baqarah [2] 268)

 

Setan akan menakut-nakuti manusia jika banyak sedekah akan jatuh miskin. Sehingga setan memerintahkan sifat keji seperti bakhil, pelit, dan kikir. Karena itu, kita tidak perlu memperhatikan orang-orang yang menyebarkan berita bohong. Kecemasan hidup dan ketakutan menghadapi masa depan, seperti prakiraan-prakiraan akan terjadinya bencana dan ramalan-ramalan yang banyak mencemaskan kebanyakan orang, tidak lebih dari keyakinan-keyakinan yang tak berdasar. Nabi Saw. pernah mengingatkan kita:“ Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka jika ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya maka tanamlah.” (HR. al-Bukhari)

 

Yang penting bagi kita, serahkan segalanya perjuangan ini kepada Allah Swt, bukannya menyerahkan kemalasan dan keputusasaan kepada-Nya. Kita harus berusaha menghilangkan sikap ketergantungan kepada makhluk dan mengalihkan sepenuhnya kepada Allah Swt. Yang membuat kesuntukan dan kegusaran itu adalah sikap bergantung kepada orang lain, keinginan mencari simpati mereka, keinginan untuk dipuji, dan keinginan untuk  tidak dicela. Kalau kita sudah mulai memperbaiki jalan pikiran maka segalanya akan berubah. Kita perlu berusaha melapangkan hati. Jika hati sudah lapang maka semua problem menjadi kecil, seperti dikatakan oleh al-Mutanabbi dalam sebuah bait syairnya, “Masalah kecil menjadi besar di mata orang yang kecil, dan masalah besar menjadi kecil di mata orang besar.”

 

Selanjutnya, lawan diri sendiri. Hanya orang-orang yang berani melawan dirinya sendiri yang mampu merasakan ketenangan. Ketenangan bukan hanya miliknya orang kaya atau pejabat tetapi ketenangan juga bisa dirasakan oleh orang-orang miskin. Ketenangan lebih merupakan akibat daripada sebab. Ketenangan adalah pemberian (given/kasab) dari Tuhan. Ketenangan menyangkut urusan jiwa (state of mind). Uang, kekayaan, dan jabatan belum tentu menghadirkan ketenangan. Kenyamanan bisa dibeli di hotel berbintang, kelezatan bisa dibeli di restoran mewah, keindahan bisa disaksikan di obyek-obyek wisata, akan tetapi ketenangan tidak bisa dibeli dengan uang.

 

Orang-orang arif sering mengatakan bahwa puncak kebahagiaan adalah ketenangan batin. Tanpa kekayaan dan kebahagiaan batin maka sesungguhnya hanya kekayaan dan kebahagiaan semu.

 

Dengan demikian, kita tidak bisa memandang enteng orang miskin harta atau materi, sebab tidak sedikit diantara mereka yang menemukan kebahagiaan batin. Sebaliknya, kita juga tidak bisa takjub sepenuhnya kepada para pemilik kekayaan materi sebab itu belum tentu mereka merasa bahagia dan tenang. Manusiawi memang jika orang-orang menghendaki kedua-duanya, karena kita juga diajari doa oleh Allah Swt. Sendiri, Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qina ‘adzabannar (Ya Allah anugerahkanlah kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat, dan jauhkanlah kami dari api neraka). Manusia ideal menghendaki  kebahagiaan dunia akhirat.

 

Adapun resep untuk melapangkan kalbu menurut para arifin ialah :1) Tauhid atau pengetahuan makrifah perlu terus dikembangkan, terutama pengetahuan tentang qadha dan qadr, yang menjadi bagian dari rukun iman kita, 2) Memperbanyak amal saleh, karena amal saleh mengokohkan keimanan dan kepercayaan diri, 3) Menumbuhkan keberanian dan ketegaran di dalam menjalankan prinsip, karena hanya dengan demikian kita bisa survive, 4) Melapangkan dada, karena hanya dengan berlapang dada kita akan tenang di dalam menghadapi tantangan dan permasalahan hidup, 5) Menjauhi tindakan berlebihan, walaupun itu boleh (mubah), baik dalam bicara, makan minum dan bergaul, 6) Senantiasa merenungi keindahan alam semesta ciptaan Allah Yang Maha Agung, untuk memperindah budi pekerti, melembutkan hati, dan mencerahkan  pikiran, dan yang paling penting ialah 7) Senantiasa mengingat Allah Swt (dzikrullah), karena dengan mengingat Allah maka hati akan tenang, seperti dijanjikan Allah di dalam ayatnya:“(yaitu ) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram,”(QS. ar-Ra’d [13]: 28).

 

Mari bersimpuh di hadapan Tuhan. Berdzikir, tafakkur, shalat, dan tadarus. Jika suasana batin dibiarkan berlalu menghabisi dan menyita sepanjang hidup kita, tanpa pernah diselingi dengan rasa faqir (miskin di mata Tuhan), apa lagi karena deposito dan kekayaan yang begitu melimpah sampai bisa diwarisi tujuh generasi, dikhawatirkan akan melahirkan generasi lemah (dha’if) di mata Allah. Bahkan tidak mustahil akan membebani kita di akhirat kelak. Kita perlu mengingat bahwa jika kehidupan di akhirat setara dengan 1000 tahunnya dunia, maka kalau ada orang dikaruniai usia 70 tahun maka itu artinya sekitar 3 menitnya akhirat. Maukah kita menukar hanya 3 menit dengan keabadian akhirat, masya Allah.

 

Semarang, 30 Maret 2022

Ditulis di Rumah jam 20.00-20.30 WIB.

 

Tulisan tersebut berasal dari: Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. 2021. Menjalani Hidup Salikin. Jakarta: Grasindo PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

• Wednesday, March 30th, 2022

E-Arsip Pembelajaran Digunakan di SMK Negeri 2 Kediri Untuk Pembelajaran OTKP

Oleh Agung Kuswantoro

 

Adalah Ibu Suryanti, S.Pd berasal dari SMK Negeri 2 Kediri, Jawa Timur yang telah dan masih menggunakan produk saya dan Trisna Novi Azhari dalam Pembelajaran Kearsipan Elektronik.

 

Ia/Ibu Suryanti, Alhamdulillah sangat aktif dan komunikatif sekali dalam menggunakan produk yang kami ciptakan tersebut.

 

Ia pernah meminta surat keterangan atau izin untuk digunakan dalam karya tulis Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan menggunakan produk e-arsip pembelajaran tersebut.

 

Ia juga membuat video tutorial dari produk e-arsip pembelajaran tersebut. Ia meminta pendapat saya terkait hasil video yang dibuatnya. Saya pun mengomentari video tersebut sebagai masukan materi, karena akan disebarluaskan melalui Youtube dan digunakan untuk pembelajaran siswanya. Jadi, konten/”pesan” dari video itu harus benar.

 

Pertemuan saya dengannya, dimulai saat ia mengikuti pelatihan e-arsip pembelajaran yang diselenggarakan di SMK Negeri 1 Magetan, Jawa Timur (tahun 2017).

 

Usai kegiatan tersebut, ia belajar secara mandiri dengan buku petunjuk/tutorial yang saya berikan saat pelatihan.

 

Saya sangat bersyukur sekali ada seorang guru yang menerima dan menyebarluaskan hasil penelitian saya tersebut. Semoga hasil/luaran penelitian saya tersebut memberikan kemanfaatan kepada sesama dan lembaga.

 

Semoga Ibu Suryanti tetap semangat untuk membikin konten-konten video e-arsip pembelajaran dan pembelajaran administrasi perkantoran yang lainnya. Sukses untuk Ibu Suryanti, S. Pd dan SMK Negeri 2 Kediri. []

 

Catatan: Alhamdulillah saya pun dapat surat keterangan dari Sekolah yang ditandatangani oleh Ibu Suryanti, S.Pd. dengan diketahui oleh Kepala Sekolah.

 

Semarang, 27 Maret 2022

Ditulis di Rumah, jam 18.20 – 18.35 WIB.

• Wednesday, March 23rd, 2022

Asas Penyimpanan Kearsipan

Oleh Agung Kuswantoro

Jum’at – Sabtu (18-19/2/2022) selama 8 jam, saya berdiskusi persuratan dan kearsipan dengan teman-teman dari KOPERTAIS IX (Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta Jawa Tengah. Ada 51 lembaga yang hadir. Saya dapat tugas dari UNNES bersama Pak Eko Febrianto (Arsiparis dan Koordinator Umum BUHK UNNES).

 

Diskusi yang sangat panjang itu pada intinya adalah membahas asas penyimpanan arsip. Dimana dimulai dari penciptaan arsip (baca: surat) yang diantara lembaga yang hadir belum memiliki tata naskah dinas. Padahal, Tata Naskah Dinas adalah “pintu gerbang” sebuah surat/arsip diciptakan dengan valid. Jika tata naskah dinasnya dalam suatu lembaga itu tidak ada, maka bisa dipastikan belum tertib dan rapi dalam pembuatan suratnya. Lembaga apapun, untuk mempunyai administrasi yang rapi, tertib dan akuntabel; hendaknya memulai dari “pintu gerbang” itu

 

Terlebih dalam KOPERTIS IX Jawa Tengah terdiri dari lembaga yang berbeda-beda. Ada yang pihak yayasannya kuat, sedang, dan lemah. Artinya: untuk mewujudkan suatu tata kelola persuratan dan kearsipan yang baik perlu didukung oleh sumber daya dan komitmen pimpinan yang kuat.

 

Nah, saya “menawarkan obat” atas permasalahan ini yaitu asas penyimpanan kearsipan (sentralisasi, desentralisasi, dan kombinasi). Dengan memahami asas-asas ini, harapannya tiap lembaga dapat mempraktikkanannya. Ambillah salah satu diantara ketiga asas tersebut. Pastinya, masing-masing asas penyimpanan arsip mamiliki kelebihan dan kelemahan.

 

Di sinilah letak kekuatan kita untuk mengukur kelebihan dan kelemahan lembaga kita. Lalu, ambil salah satu asas penyimpanan arsip yang sesuai dengan karakteristik lembaga kita. Coba saja melakukan dari hal yang kecil ini. Insya Allah dampaknya, luar biasa! []

 

Semarang, 23 Maret 2022

Ditulis di Rumah jam 13.00 – 13.15 WIB.

 

• Sunday, March 20th, 2022

Nikah (5): Bagaimana Memandang Perempuan yang Hampir Baligh dan Memandang Anak Perempuan Kecil?

 

Mari kita lanjutkan kajian kita. Setelah hukum memandang pada kajian ke-4 https://agungbae123.wordpress.com/2022/02/25/h-4-memandang/, kita belajar bersama mengenai memandang perempuan yang hampir baligh. Ada pertanyaan: “Bagaimana memandang perempuan yang hampir baligh?”

 

Menurut kitab Kifayatul Akhyar, ada perbedaan pendapat mengenai memandang perempuan yang hampir baligh. Ada mengatakan: memandang perempuan yang hampir baligh sama saja dengan memandang perempuan yang sudah baligh.

 

Laki-laki yang memandang perempuan dengan tidak ada syahwat, bagaikan memandangnya binatang jantan pada binatang betina dari jenis yang lain yang tidak bisa hubungan nikah, seperti: pandangan orang yang sudah sangat tua dan lain-lain.

 

Lalu, Bagaimana laki-laki memandang anak perempuan yang masih kecil? Imam Rafi’i mengatakan bahwa: hukum memandang anak perempuan yang masih kecil, diperselisihkan, dan pendapat yang benar: hukumnya boleh, asal tidak memandang kemaluannya.

 

Bagaimana hukumnya perempuan memandang laki-laki lain? Hal ini ada beberapa pendapat, yang benar menurut Rafi’i: perempuan boleh memandang laki-laki lain selain antara pusar sampai kedua lututnya.

 

Pendapat yang lain mengatakan: perempuan hanya boleh melihat tubuh laki-laki pada anggota tubuh yang mana laki-laki boleh melihat dari perempuan. Menurut Nawawy: Pendapat tersebut yang paling benar, sesuai dengan firman Allah: “Wa Qul Lilmu’minaati Yaghdludlna Min Ab-Shaarihinna”. Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya” (Qs. An-Nur: 31)

 

Sabda Nabi Saw: “Afa’amyaa Waani Antumaa Alastumaa Tubshiraa-Nihi. Artinya: “Apakah engkau buta apakah kamu tidak melihatnya?”

 

Pada intinya. Yuk, jaga pandangan mata kita. Mata agar berfungsi sesuai dengan fungsinya yaitu melihat yang sesuai yang dipandang. Wallahu ‘alam.

 

Semarang, 21 Maret 2022

Ditulis di Rumah, jam 05.00-05.20 WIB.

Sumber rujukan: Kitab Kifayatul Akhyar.

• Thursday, March 03rd, 2022

Masjid dan Saya
Oleh Agung Kuswantoro

Hari Raya Nyepi yang jatuh hari ini (3 Maret 2022), saya manfaatkan untuk berkunjung ke Rembang. Rembang adalah tempat daerah istri saya berasal.

Salah satu tempat yang saya sukai dari dulu hingga sekarang adalah Masjid/Musolla (saya menggunakan istilah Masjid untuk tulisan selanjutnya). Biasanya, saat saya pulang kampung di Pemalang, saya selalu menyempatkan pergi ke Masjid Agung Pemalang untuk salat berjamaah. Demikian juga, saat ini saya pulang ke Rembang, Alhamdulillah masih menyempatkan pergi ke Masjid Agung Rembang untuk salat berjamaah.

Salat Subuh adalah salah satu salat yang saya sukai. Saya selalu berusaha agar salat subuh bisa dilakukan berjamaah di Masjid. Saat salat subuh di Masjid Agung Pemalang, saya banyak bertemu dengan santri-santri Salafiyah Kauman Pemalang yang sedang berdikir menunggu salat subuh tiba.

Sedangkan, saat salat subuh di Masjid Agung Rembang, saya banyak bertemu jamaah—yang kebanyakan adalah warga kampung—duduk itikaf dan berdikir menunggu salat subuh tiba. Yang salat subuh banyak sekali, sampai parkir motor penuh.

Saya menikmati sekali, bacaan dan suara Imam salat subuh di Masjid Agung Rembang. “Adem”, rasanya dan tenang, hati saya. Semoga lain waktu, jika di Rembang bisa salat subuh berjamaah di Masjid Rembang. Demikian Bapak Ibu bisa selalu pergi ke Masjid untuk melaksanakan salat berjamaah. Karena, Masjid adalah rumah Allah. Menemukan Allah, ya di Masjid. Wallahu ‘alam.

Ditulis di Rembang, 3 Maret 2022, jam 06.00-06.20 WIB.

Catatan: tulisan ini bertujuan untuk menyemangati diri saya. Bukan maksud yang lainnya.

Keterangan gambar: Mubin dan Syafa ikut jamaah. Uminya sedang tidak salat, tapi ikut pergi ke Masjid.

• Friday, February 25th, 2022

Nikah (4): Memandang

 

Lanjutan kajian kitab Kifayatul Akhyar bab Nikah yang kemarin: https://agungbae123.wordpress.com/2022/02/12/nikah-3-hukum-nikah/

 

Pandangan mata orang laki-laki terhadap perempuan dan perempuan terhadap laki-laki terbagi menjadi 7 macam, yaitu:

 

  1. Memandang orang lain tanpa ada keperluan.
  2. Memandang kepada muhrim.
  3. Memandang kepada istri (suami) dan hambanya.
  4. Memandang dengan maksud untuk menikah.
  5. Memandang untuk mengobati.
  6. Memandang untuk kesaksian atau pergaulan.
  7. Memandang kepada budak untuk dibelinya.

 

Memandang orang lain tanpa ada keperluan

Laki-laki dan perempuan yang sudah baligh dalam saling memandangnya ada 2 kemungkinan, yaitu: karena ada keperluan dan tidak ada keperluan.

 

Laki-laki memandang perempuan (lain) ada dua macam, yaitu:

  1. Laki-laki yang bersyahwat
  2. Laki-laki yang tidak bersyahwat

 

Adapun laki-laki yang bersyahwat memandang perempuan (aurat) tanpa ada keperluan mungkin mendatangkan fitnah dan mungkin tidak. Pandangan yang akan membawa fitnah hukumnya haram, baik memandang pada aurat, tapak tangan, atau wajahnya (perempuan).

 

Tetapi kalau pandangan mata itu tidak membawa fitnah, hukumnya diperselisihkan, dan yang benar: haram. Demikian pendapat Ishtakhary, Abu Ali Aththaabary, dan lain-lain. Mereka berpendapat bahwa : “memandang”  itu mengakibatkan fitnah, menggerakkan syahwat, dan agama menutup pintu (maksiyat) itu jangan sampai situasi menjadi terlanjur sebagaimana diharamkannya bercumbu rayu dengan orang lain. Pendapat ini berdasar firman Allah: ‘Qul Lilmu’miniina Yaghudldluu Min Abshaari Him Wa Yahfadhuu Furuujahum”. Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya” (Qs: an-Nur: 30).

 

 

Bersambung.

 

Semarang, 26 Februari 2022

• Tuesday, February 22nd, 2022

Menjaga Hati (2): Memikrajkan Kalbu dengan Ibadah Malam

Oleh Nasaruddin Umar

 

Alhamdulillah kita semua masih diberi panjang umur, sehat, dan diberi kelancaran dalam urusan kehidupan. Mari saatnya mengaji agar hidup lebih berarti. Ada dua kajian yang biasa saya bagi yaitu kajian fiqih (bab nikah) dan kajian akhlak (tentang hati).

 

Untuk kajian ini bertema akhlak. Masih melanjutkan kemarin yaitu menjaga hati. Saya kaitkan dengan bulan Rajab, dimana ada peristiwa Isra Mikraj. Pemahaman kita selama ini Mikraj diartikan sebagai perjalanan lahir dan batin Nabi Saw. dari Masjidil Haram ke Sidratul Muntaha setelah transit di Masjid al-Aqsha, sebagaimana disebutkan dalam ayat: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sungguh Dialah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui”. (QS. Al-Isra’: 1)

 

Dalam kaidah Ulumul Qur’an dikatakan, apabila ada satu surah atau ayat yang diawali dengan kata subhana atau tabaraka yang berarti “Maha Suci Tuhan”, maka ayat atau surah itu menunjukkan adanya keajaiban didalamnya, yang tidak cukup hanya dianalisis secara rasional tetapi dibutuhkan penghayatan dan perenungan lebih mendalam.

 

Banyak hal yang menarik untuk dikaji mengenai keberadaan ayat tersebut di atas. Selain diawali dengan kata subhana, ayat ini juga kemudian dipilih menjadi nama surah (surah alIsra’). Surah al-Isra’ diapit oleh dua surat yang serasi yaitu surah an-Nahl dan surah al-Kahf. Surah an-Nahl sering diangkat sebagai simbol kecerdasan rasional, karena didalamnya diungkapkan menghasilkan madu sebagai obat mujarab untuk berbagai penyakit yang masih menyimpan berbagai misteri didalamnya. Sedangkan surah al-Kahf, yang biasa disebut surah kecerdasan spiritual, karena didalamnya digambarkan berbagai cerita yang menantang keyakinan dan spiritualitas kita, misalnya kisah Nabi Khidhir dan Nabi Musa yang penuh dengan tantangan.

 

Sementara surah al-Isra’ sendiri sering dijadikan simbol kecerdasan emosional karena didalamnya  diceritakan pengaruh kematangan emosional dan prestasi puncak seorang hamba. Itulah sebabnya ketiga surah yang menempati pertengahan bagian al-Qur’an biasa disebut tiga surah serangkai, yaitu surah Intellectual Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Spiritual Quotient (SQ).

 

Surah al-Isra’ sering dianggap sebagai jembatan (wasilah/bringing) yang menjembatani antara kecerdasan rasional dan kecerdasam spiritual. Peristiwa Isra ialah perjalanan horizontal dari Baitullah, Mekkah ke Masjid Al Aqsha, Palestina, dan Mikraj ialah perjalanan vertikal dari Masjid Aqsha ke Sidratil Muntaha.

 

Perjalanan Isra’ mungkin masih bisa dijelaskan dengan logika dengan menghubungkannya dengan kendaraan supersonic yang berkekuatan super cepat, namun Mi’raj hanya bisa didekati dengan iman.

 

Allah Swt. memperjalankan hamba-Nya di malam hari (lailan), bukan di siang hari (naharan). Kata lailan mempunyai beberapa makna. Ada makna literal berarti malam,  lawan dari siang. Ada makna alegoris seperti gelap atau kegelapan, kesunyian, keheningan, dan kesyahduan; ada makna anagogis (spiritual) seperti kekhusyukan (khusyu’), kepasrahan (tawakkal), kedekatan (taqarrub) kepada Ilahi. Dalam syair-syair klasik Arab, ungkapan lailah lebih banyak digunakan makna alegoris (majaz) ketimbang makna literalnya, seperti ungkapa syair seorang pengantin baru, berikut ini:

 

Wahai malam bertambah penjanglah, wahai tidur menyingkirlah

Wahai Subuh berhentilah jangan lagi terbit.

 

Kata lail dalam syair di atas, berarti: kesyahduan, keindahan, kenikmatan, kehangatan, ketenangan, kerinduan, keakraban, sebagaima dirasakan oleh para pengantin baru, yang menyesali pendeknya malam.

 

Dalam syair-syair sufistik juga lebih banyak menekankan makna anagogis kata lail. Para sufi lebih banyak menghabiskan waktu malamnya untuk mendaki (tarraqi) menuju Tuhan. Mereka berterima kasih kepada lail (malam) yang selalu menemani kesendirian mereka. Perhatikan ungkapan Imam Syafi’i berikut: “Dan barangsiapa yang mendambakan martabat utama banyaklah berjaga di waktu malam”.

 

Kata al-laydh disini berarti keakraban dan kerinduan antara hamba dan Tuhannya. Malam hari memang menampilkan kegelapan, tetapi bukankah kegelapan malam itu menjanjikan keheningan, kesenduan, kepasrahan, kesyahduan, kerinduan, ketenangan, dan kekhusyukan?

 

Suasana batin seperti ini amat sulit diwujudkan di siang hari. Seolah-olah yang lebih aktif disiang hari ialah unsur rasionalitas dan maskulinitas kita sebagai manusia dan ini mendukung kapasitas manusia sebagai khalifah di muka bumi. Sedangkan di malam hari yang lebih aktif ialah unsur emosional-spiritual dan femininitas kita dan ini mendukung kapasitas kita sebagai hamba (abid). Dua kapasitas manusia ini menjadi penentu keberhasilan hidup seseorang. Sehebat apapun prestasi sosial seseorang tetapi gagal membangun dirinya sebagai hamba yang baik maka itu sia-sia. Hal yang sama juga terjadi pada sebaliknya. Kekuatan malam hari untuk memikrajkan kalbu ditandai dengan penetapan waktu shalat itu lebih banyak di malam hari. Hanya shalat dhuhur dan asar di siang hari, selebihnya di malam hari seperti shalat maghrib, isya, tahajud, witir, tarawih, fajar, dan  subuh. Malam hari memiliki semacam The Power of Night yang bisa memikrajkan kalbu setiap orang.

 

Lalu, setelah Allah Swt menceritakan peristiwa Isra’ Mikraj maka Allah Swt. menjelaskan, “Li nuriyahu min ayatina (agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda Kami)”. Seolah-olah Allah Swt. akan menjelaskan bahwa salah satu tujuan atau inti Isra’ Mikraj ialah untuk melihat atau menyaksikan tanda-tanda (ayat)-Nya. Ayat dan ‘alam di dalam Al-Qur’an sering disinonimkan artinya kedalam Bahasa Indonesia yaitu “tanda”. Orang-orang yang belum pernah mikraj seoalah-olah sulit menyaksikan tanda-tanda Allah Swt. dalam pandangan tafsir Isyari, melihat tanda Tuhan tidak menyaksikan diri-Nya bertajalli di setiap sesuatu (al’ayan).

 

Jika seseorang melihat pohon hanya sebatas pohon, gunung sebatas gunung, langit sebatas langit, bulan sebatas bulan, alam sebatas alam, tetapi tidak mampu menghadirkan “wajah” Tuhan dibaliknya, maka sesungguhnya orang itu masih berada dalam tahap Iqra’ pertama. Jika seseorang sudah mampu melahirkan kesadaran akan keberadaan Tuhan dibalik segala sesuatu maka orang itu, maka ia sudah menembus Iqra’ ketiga atau keempat.

 

Yang tak kalah penting ialah ayat Isra Mikraj ini diakhiri dengan “Innahu huwas-sami’ul-bashir”. Allah Swt. menegaskan dirinya Maha Mendengar dan Maha Melihat. Potongan terakhir ayat ini mengingatkan kita dalam sebuah hadist Nabi Saw. yang menyatakan bahwa orang yang sudah sampai kepada maqam tertentu dapat meminjam pendengaran (as-samah) dan penglihatan (al-bashirah) Allah untuk mendengar dan untuk melihat.

 

Orang yang mampu menggunakan pendengaran dan penglihatan Tuhan dalam pandangan tasawuf disebut sudah berada dalam tingkat al-Qurb an-Nawafil. Maqam yang paling tinggi bagi seorang hamba ialah orang yang sudah mampu menggunakan telinga (al-udzun) Allah untuk mendengar dan mata (al-‘ain) Allah untuk melihat. Maqam ini disebut al-Qurb al-Fara’idh.

 

Jika seseorang mampu menggunakan pendengaran dan penglihatan, apalagi telinga dan mata Allah Swt untuk mendengar dan melihat, maka sudah barang tentu yang bersangkutan sudah tidak lagi memiliki alam gaib. Ini juga menunjukkan bahwa tipis tebalnya alam gaib tidak sama bagi setiap orang.

 

Semakin tinggi maqam seseorang semakin transparan alam gaib itu, dan semakin rendah maqam maka semakin tebal alam gaib itu. Ajakan Allah Swt. untuk mikraj sesungguhnya untuk membuka rahasia kepada hamba-Nya. Mikraj dapat dilakukan antara lain dengan shalat, sebagaimana dikatakan dalam hadist, “ash-Shalat mikraj al-mu’minin (Shalat itu mikrajnya orang-orang yang beriman).”

 

Orang-orang yang tidak pernah naik ke atas (mikraj, taraqqi) maka mereka akan terkurung didalam tempurung bumi, tidak pernah menyaksikan etalase yang dipamerkan Allah Swt. di langit. Orang-orang yang terkungkung di perut bumi hanya akan menyaksikan segala keindahan itu hanya yang ada di bumi atau di dunia ini. Mereka inilah yang akan mengejar bayang-bayang dunia yang tidak pernah di raihnya. Mereka ini juga yang sering menghalalkan segala cara untuk meraih cita-citanya. Mereka yang rela membangun istana di atas puing-puing kehancuran orang lain sambil terbahak-bahak. Berbeda dengan orang-orang yang sering menyaksikan langit, pandangannya tidak lagi terpanah kepada daya tarik yang ditampilkan bumi dan dunia. Karena sudah sering menyaksikan keindahan etalase langit. Berbahagialah orang-orang yang selalu mikraj, tentu tidak lagi akan diperbudak oleh dunia dan materi. Dalam kalam hikmahnya Ibnu “Atha’illah berpesan: “Janganlah beranjak sekadar dari ciptaan menuju ciptaan lain, hingga engkau tampak seperti kuda penggiling: Berputar terus sehingga tujuannya adalah tempat pemberangkatanntya itu. Tapi beranjaklah dari ciptaan menuju Sang Maha Pencipta”.

 

Cara pandang kita terhadap ayat 1 surah al-Isra’ masih lebih mnenekankan aspek denotatif-eksoterik. Terbukti peringatan isra’ Mikraj yang secara rutin diperingati dan dirayakan dengan tanggal merah yang meliburkan seluruh sekolah, kampus, dan kantor-kantor secara nasional. Isra’ Mikraj lebih diperkenalkan sebagai peristiwa makrokosmos berupa perjalanan Nabi Saw. dari Masjidil Haram ke Masjidil al-Aqsha, Palestina, sampai ke Sidratil Muntaha, kemudian Rasulullah Saw. pulang membawa oleh-oleh berupa shalat lima waktu. Pembahasan ini sama sekali tidak salah, namun tidak ada salahnya jika Isra’ Mikraj juga dipahami sebagai upaya untuk meng-upgrade  kalbu kita yang tadinya kasar menjadi lembut dan yang tadinya selalu berorientasi kepada hal-hal duniawi ke hal-hal spiritual ukhrawi. Wallahu ‘alam.

 

Semarang, 21 Februari 2022

 

Sumber referensi:

al-Quranul Karim.

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. 2021. Menjalani Hidup Salikin. Jakarta: Grasindo PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

• Saturday, February 12th, 2022

Nikah (3): Hukum Nikah

Lanjutan kajian kitab Kifayatul Akhyar bab Nikah yang kemarin: https://agungbae123.wordpress.com/2022/01/29/nikah-2-siap-dan-tidak-belum-siap-menikah/

 

Dalil yang dipakai dasar untuk tidak mewajibkan, firman Allah: “fangkihuu maa thaaba lakum minannisaa-i”.Artinya: “Maka kawinlah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi”. (an-Nisa’: 3)

 

Ayat tersebut mengandung kebolehan memilih, sekiranya wajib, mesti tidak boleh memilih. Orang yang sudah ingin sekali menikah, tetapi belum mempunyai bekal, lebih baik menikah, mudah-mudahan Allah memberinya kecukupan (kekayaan).

 

Orang yang tidak memerlukan nikah ada 2 macam, yaitu: (1) sebab tidak mempunyai bekal; dan (2) sebab keadaan jasmani. Sebab jasmani seperti: sakit-sakit terus, ada anggota badan yang tidak berfungsi sehingga tidak sehat dan lain-lain. Orang  yang demikian, makruh untuk menikah. Wallahu ‘alam.

 

Bersambung

Semarang, 13 Februari 2022

• Saturday, February 05th, 2022

Menjaga hati (1): Meninggalkan Beban Kalbu/Hati

Oleh Agung Kuswantoro

 

Setelah pembahasan “Menata Diri” – dengan sembilan judul – lalu, kita akan belajar bersama dengan bab selanjutnya yaitu, menjaga hati. Dalam tema ini ada dua belas judul. Untuk judul pertama yaitu meninggalkan beban kalbu/hati.

 

“Beban” hati yang berlebihan itu harus dikurangi karena akan berdampak negatif, seperti stress dan strok – yang pada akhirnya – wafat lebih awal dari waktu yang diperkirakan/diharapkan.

 

Agama apapun mengajarkan dan mengajak umatnya untuk meninggalkan kalbunya yang berlebihan. Khususnya dalam Islam “melepaskan beban-beban” yang mengggunung it, bagaikan bulu yang beterbangan. Firman Allah: “Dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan”. (QS. Al-Qori’ah:4).

 

Para ahli manajemen berusaha mencari berbagai macam solusi dalam mengatasi kelebihan beban hati ini, diantaranya: mencari dan memilih tempat yang tenang; mengistirahatkan daban, pikiran, dan jiwa di dalam suasana zona nyaman; kalau perlu memutar lagu-lagu instrumentalia atau musik-musik meditasi – spiritual, memejamkan mata tetapi tidak sampai tidur.

 

Kita merasakan lembutnya petikan suara melodi, atau menikmati rekaman nyanyian burung, suara gemuruh ombak, percikan air mancur, atau nyanyian burung-burung malam.

 

Bayangkan sendiri kita berada di sebuah taman bunga charry blasem yang sedang mekar di lembang ngarai, atau membayangkan kita berada di sela-sela-sela rindangnya pepohonan di sebuah bukit  hijau, atau sedang menyaksikan matahari sore sedang tenggelam di peraduannya disebuah pulau terpencil. Imaginasi atau khayalan seperti ini terkadang diperlukan untuk mengecoh pikiran, perasaan, dan kalbu kita yang sedang galau.

 

Rencanakan relaksasi di sela-sela tugas, usahakan menghindari kebisingan, pecahkanlah persoalannya tahap demi tahap, tampakkan keindahan dan dekorasi menawan di sekitar kita, jangan terlalu serius bekerja sepanjang hari dan sepanjang masa, jauhilah hal-hal yang berlebihan, khususnya alkohol dan obat-obatan penenang, dan tentu yang tak kalah pentingnya seringlah tersenyum dan tertawa.

 

Berusahalah untuk memaafkan diri sendiri dengan mengingat, diri kita memang bukan malaikat, lupakanlah berbagai kekecewaan yang menumpuk di kalbu dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan (tawakal).

 

Kita yakinkan pada diri kita bahwa sesungguhnya Tuhan lebih menonjol sebagai Maha Pengampun (ar-Rahman) dan Maha Penyayang (ar-Rahim) dibanting Maha Pendendam (al-Muntaqim) dan Maha Penghukum (adh-Dharr). Dengan air mata tobat yang kita persembahkan kepada-Nya diharapkan bisa memadamkan api neraka Jahannam, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw:  “Sesungguhnya sehala sesuatu ada ukuran dan timbangannya, kecuali air mata, sebab ia bisa memadamkan lautan api neraka”. (HR. al-Baihaqi)

 

Air mata juga mengangkat azab. Pernah suatu ketika Sa’d ibn Ubadah sakit parah, Rasulullah Saw. pun menjenguknya bersama Abdurrahman ibn Auf, Sa’d ibn Abi Waqash, dan Abdullah ibn Sa’d mas’ud. Ketika Nabi Muhammad Saw, masuk menemuinya, Nabi Saw. melihat Sa’d ibn Ubadah dalam keadaan sakaratul maut. “Apakah sudah meninggal?” Tanya Nabi Saw. Para sahabat yang ada menjawab, “Belum, wahai Rasulullah,” Maka Nabi Saw. menangis, orang-orang pun ikut menangis melihat Nabi Saw. menangis. Lalu, Rasulullah Saw. bersabda, “Dengarkanlah  oleh kalian semua, sesungguhnya Allah tidak akan mengazab air mata yang jatuh, juga hati yang remuk. Tapi Dia akan mengazab ini (sambil menunjuk lidah beliau.”

 

Air mata tidak akan diazab sebab air mata adalah rahmat Allah Swt. Sebagaimana kisah bahwa suatu ketika Zainab mengirim utusan kepada Nabi Saw. memberitahu akan lelakinya dalam keadaaan sakaratul maut. Maka Nabi Saw. berkata pada utusan itu, “Kembalilah padanya (Zainab) dan katakana, Allah memiliki apa yang Dia ambil dan apa yang Dia beri dan ajal segala sesuatu ditentukan oleh-Nya, suruh dia bersabar dan muhasabah.” Tidak lama kemudian utusan ini kembali lagi menghadap Nabi Saw. mengatakan bahwa Zainab mengharap betul kehadirannya. Maka Nabi Saw. datang menuju rumah Zainab didampingi Sa’d ibn Ubadah dan Mu’adz ibn Jalal. Bayi itu diangkat diserahkan pada Nabi Saw. dalam keadaan nyawa ditenggorokan. Maka tumpahlah air mata Nabi Saw. Sehingga Sa’d bertanya kepada Nabi Saw. “Air mata apa ini, wahai Rasulullah?” Nabi Saw. menjawab, “Ini adalah air mata rahmat yang Allah anugerahkan ke dalam hati hamba-hamba-Nya.”

 

Maka pasrahkan jiwa raga ini kepada Allah Swt. juga seluruh harta kita. Ucapkan rasa syukur dan terima kasih di mulut dan di dalam hati atas kesadaran yang dikaruniakan kepada kita sebelum ajal menjemput.

 

Rasakan kita seolah-olah menjadi sosok manusia baru, putih cemerlang, dan mengesankan bagi semua.  Pada akhirnya, kita meninggalkan latihan atau meditasi ini dengan lafal syukur dan tahmid, Alhamdulillah wasy-syukru lillah kepada-Nya atas segala karunia yang baru saja diberikan kepada kita. Kita meninggalkan padepokan latihan dengan niat dan baik sangka kepada Allah Swt. Yang Maha Pemurah, kalau perlu bertekad untuk mengulangi pengalaman serupa di masa-masa mendatang.

 

Seusai pelatihan (riyadhah) kita belajar mengembangkan hobi dan kebiasaan produktif kita kembali. Sesudah itu buatlah planning untuk mengatur refreshing, kalau perlu bersama keluarga, atau dalam kesempatan lain retreat bersama segenap karyawan tanpa kecuali di kantor, khusus yang beragama Islam, lebih bagus lagi jika ditradisikan untuk berpuasa sunah Senin dan Kamis atau puasa-puasa sunah lainnya. Biasakan diri ke masjid untuk shalat berjamaah, mengamalkan sunah-sunah rawatib, baik qabliyyah maupun ba’diyyah. Wallahu ‘alam.

 

Semarang, 6 Februari 2022

Rujukan referensi: Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. 2021. Menjalani Hidup Salikin. Jakarta: Grasindo PT Gramedia Widiasarana Indonesia.