Author Archive

• Wednesday, June 27th, 2018

 

Tangis
Oleh Agung Kuswantoro

Menangis adalah kata kerja dari tangis. Orang yang menangis berarti sedang bekerja tangis. Pertanyaannya adalah “mengapa orang tersebut menangis?”

Ada dua sebab. Pertama, bahagia. Tangis karena bahagia. Biasanya, muncul setelah ada sifat bahagia datang kepadanya. Seperti, wisuda, pengumuman CPNS, diterimanya seseorang di Perguruan Tinggi, lulusnya tes psikologi dan peristiwa membahagiakan lainnya.

Kedua, sedih. Tangis karena sedih. Biasanya, muncul setelah ada sifat sedih datang kepadanya. Seperti, seseorang yang ditinggal orang dekatnya karena meninggal dunia, seseorang yang kehilangan (harta benda), seseorang yang tidak berhasil suatu ujian, dan peristiwa menyedihkan lainnya.

Lalu, saat Idul Fitri. Pernahkah Anda melihat tangis seseorang? Saya pernah memperhatikan tangis seseorang saat sholat Idul Fitri, ternyata yang menangis tidak hanya satu, dua, atau tiga orang saja.

Saat takbir berkumandang, orang yang sedang berdzikir dan bertakbir itu menangis. Terlebih saat sholat Id, ada orang yang menangis. Tak cukup tangisnya hanya sekali, bahkan beberapa kali. Misal, saat masuk rokaat kedua dari sholat id, ia juga menangis.

Atau, saat takbiran hingga akan sholat Id, ia terus mengeluarkan air mata. Tak cukup hanya itu, ketika bersalaman dengan orang-orang tertentu, ia juga mengeluarkan air mata. Misal, bersalaman/sungkem kepada orang tua.

Tak hanya bersalaman dengan orang tua saja, ia mengeluarkan air mata. Bahkan, kepada orang yang tertentu (bukan saudaranya) pun ia bersalaman mengeluarkan air matanya.

Dalam hati saya bertanya, mengapa dia mengeluarkan air mata saat bersalaman kepada orang-orang tertentu?

Berikut beberapa jawaban yang saya himpun. Pertama, ia punya dosa kepada yang bersangkutan. Air mata sebagai tanda tulus untuk memaafkannya. Ia rela menghapus atas dosa-dosa yang ia telah disalami. Bahkan, ia yang mengajak bersalaman.

Kedua, ia melupakan masa lalu orang tersebut. Ia mengikhlaskan apa pun amal seseorang tersebut, khususnya perbuatan buruk. Ia menganggap permasalahan terhadap dirinya selesai. Dan, ia berusaha tidak akan mengulanginya.

Tangis yang seperti ini menurut saya adalah tangis yang bahagia. Mengapa? Karena tangis tersebut menunjukkan rasa “plong” atau lega atas sikapnya. Baik berupa kesalahan, keganjalan, ketidaksengajaan, dan perbuatan yang tidak menyenangkan lainnya.

Tangis yang seperti ini menunjukkan seseorang berhati lembut. Tidak kaku, hatinya. Hatinya mudah tersentuh. Dan, hatinya mudah memberi maaf kepada orang lain.

Namun, didalam tangis yang ia lakukan terdapat kekuatan yang dahsyat berupa “ikhlas” dan “mengikhlaskan” kesalahan seseorang.

Tak mudah, memaafkan kesalahan seseorang. Terlebih, kesalahan yang telah membuat ia “tersungkur” dalam hidupnya. Menjadikan ia sangat “sakit hati” dalam menjalani kehidupannya.

Namun, dengan kerelaan hatinya di hari Fitri, ia mudah menghapus kesalahan orang tersebut melalui air yang mengalir di matanya. Sembari mengucapkan “maafkan atas kesalahan saya”, cukup kalimat itu, ia benar-benar menghayati, ke lubuk hatinya. Tulus hatinya, mengatakan itu. sehingga, meneteslah air mata ke bumi.

Itulah gambaran tangis bahagia yang dianjurkan oleh agama. Menangis atas kesalahan kita kepada sesama. Makhluk Allah, saat dengan Allah pun demikian.

Melalui Istighfar, ia menghayati kesalahan-kesalahan atas perbuatan maksiat yang telah diperbuatnya. Ia membayangkan masa lalunya, yang kelam dengan dosa. Sehingga, saat melafalkan astaghfirullahal ‘adzim, yang keluar dari mata berupa tangisan. Hati pun menjadi lembut. Insya Allah memaafkan kesalahan atas dosa orang tersebut.

Mari, lembutkan hati kita melalui tangis karena bahagia. Bahagia karena mengikhlaskan kesalahan-kesalahan orang lain. Atau, kita yang meminta maaf atas perilaku kita yang tidak baik kepada orang lain. Hati yang keras harus dilatih dengan perbanyak istighfar agar menjadi lunak. Ikhlaskan masa lalu seseorang kesalahannya. Sambut ia dengan harapan yang baik untuk hari berikutnya. Mari menangis karena bahagia.Semarang, 28 Juni 2018

• Saturday, June 23rd, 2018

Menjaga Spirit Ramadhan

Oleh Agung Kuswantoro

 

Ramadhan telah dipanggil oleh Allah. Ramadhan, bukan meninggalkan kita. Tetapi, ia telah pulang ke pangkuan Allah. Ramadhan akan hadir lagi pada 11 bulan berikutnya. Justru, belum tentu kita bertemu kepadanya. Bisa juga karena sakit atau Allah menghendaki umur kita yang pendek/mati.

 

Sebagai umat Islam dan beriman, kita merasa sedih telah melalui bulan ini.   Di bulan tersebut, “obral” pahala sangat banyak, namun sekarang bulan tersebut telah dipanggil oleh Allah.

 

Ada 2 kategori orang meninggalkan bulan Menjaga Spirit Ramadhan, yaitu:

  1. Orang yang ditinggalkan merasa bahagia. Mengapa bahagia? Karena telah melalui “wisuda”. Layaknya, sekolah/kuliah di Perguruan Tinggi. Usai ujian ada wisuda. Ujiannya meliputi “pelajaran” tarawih, puasa, witir, tadarus, itikaf, qiyamul lail, sedekah, dan ibadah lainnya.

 

Materi-materi “pelajaran” tersebut telah dilalui bagi oang yang senang dengan kehadiran sekolah Ramadhan. Ia lalui “ujian-ujian” materi pelajaran dengan bahagia. Sehingga, “wisuda berupa orang yang bertakwa, ia mudah menggapainya. Minimal, ia telah mendapat fitrah/kesucian. Gelar yang ia dapat adalah “muttaqien” atau orang yang bertakwa. Itulah, orang yang bahagia saat ditinggalkan Ramadhan.

 

Orang yang bahagia ini, hatinya bersedih, karena tidak semua (11 bulan) itu ada “penggemblengan” ibadah sebagaimana di sekolahan Ramadhan.

 

  1. Perasaan biasa-biasa saja ini ada pada orang yang tidak melaksanakan pembelajaran dengan baik waktu di sekolahan Ramadhan. Ia tidak rajin mengikuti setiap pelajaran. Bahkan, ia sangat mungkin tidak hadir/bolos saat pembelajaran. Saat pelajaran puasa, ia malah tidak puasa. Padahal, ia mampu secara hukum fiqih.

 

Saat pelajaran tarawih dan witir, ia bolos juga. Ia tidak hadir dengan alasan tidak jelas. Padahal, ia telah memenuhi syarat hukum untuk melaksanakan pembelajaran tersebut.

 

Saat tadarus pun, ia bolos, ia tidak hadir untuk tadarus. Padahal, ia punya kemampuan untuk belajar Alqur’an.

 

Demikian “pelajaran-pelajaran” lainnya. Ia dengan mudahnya tidak mengikutinya. Ia “bolos”. Ia tidak puasa, tarawih, witir, tadarus, itikaf, zakat fitrah, dan ibadah di bulan suci tersebut. tetapi, “anehnya” tetap berlebaran.

 

Dalam pandangan penulis, maka perlu ada pembeda antara Idul Fitri dan Lebaran. Orang yang telah membolos pada pelajaran di sekolahan Ramadhan, ia hanya dapat Lebaran. Lebaran sebagai adat/budaya saja. Ia tetap melakukan makan opor ayam, reuni dengan teman sekolah, merayakan lebaran dengan berwisata, dan perayaan lainnya. Namun, “fitrinya” ia tidak dapat. Fitrinya tidak ia peroleh, dikarenakan ia tidak lulus saat bersekolah di sekolahan Ramadhan.

 

Bukannya perayaannya tidak boleh. Tetapi sebagai orang Islam dan beriman. Rasa “Fitrinya” seperti biasa. Tidak sedih. Mengapa? Ia tidak menjalani/menikmati “pelajaran-pelajaran” di sekolah Ramadhan.

 

 

Dijaga

 

Spirit atau motivasi yang ada di sekolah Ramadhan harus kita jaga. Insya Allah posisi kita berada pada orang yang bahagia saat ditinggalkan Ramadhan dengan hati sedih. Bahagia karena telah suci/menang. Spiritnya diantaranya

 

Sholat tarawih dan witir. Tetap kita lakukan dengan sholatullail/sholat malam. Tarawih saja kita 20/ 8 rokaat. Masa sholat tengah malam, minimal 2 rokaat tidak bisa?

 

Tadarus. Pelajaran ini harus dilakukan kajian dan dimana saja. Tidak hanya di bulan suci, setelah sholat tarawih biasanya membaca Alqur’an. Karena hikmahnya sangat banyak.

 

Puasa. Pelajaran ini mengajarkan kepada kita untuk merasakan rasa lapar. Ternyata, orang yang kelaparan itu tidak enak. Tetapi, secara kesehatan menyehatkan.

 

Itikaf. Pelajaran ini mengajarkan kepada kita untuk mengingat kepada Allah. Tempatnya harus dilakukan di Masjid. Ia berdzikir dan berpikir akan makna hidup. Memasrahkan kepada Allah.

 

Zakat Fitrah. Pelajaran ini mengajarkan agar selalu berbagi. Merasakan makna memberi. Bahwa, memberi itu lebih baik daripada menerima.

 

Masih banyak pelajaran yang lainnya yang belum penulis sampaikan. Pada intinya, semua pembelajaran di sekolah Ramadhan sangat bermanfaat.

 

Mari kita jaga spirit/motivasi Ramadhan ini. Agar kita hidup lebih bahagia. Karena kita adalah bagian dari orang yang bahagia saat bulan Ramadhan. Amin.

 

 

 

Semarang, 24 Juni 2018

 

 

 

• Thursday, June 21st, 2018

Berguru Menulis Kepada RK

Oleh Agung Kuswantoro

 

Khatam. Selesai saya membaca buku karangan Rhenald Kasali (RK). RK selalu menarik saat menulis buku. Buku-bukunya menjadi best seller. Buku yang saya nikmati saat ini bertema Disrupsi. Bukunya tebal, hingga 500-an halaman. Semuanya saya baca.

 

Kesannya, akurat sekali. Prediksinya tepat, di saat sekang muncul “penyimpangan-penyimpangan” yang harus dijalani. Ia (disrupsi) tidak bisa dihindari. Dalam segi aspek apa pun. Yang saya tangkap dari RK adalah “mengolah” contoh-contoh disrupsi sesuai  dengan negara Indonesia.

 

Dapat dikatakan, bahwa Indonesia ketinggalan dalam disrupsi. Di Amerika, era disrupsi muncul tahun 2006. Sekarang 2018. Sudah 12 tahun seharusnya kejadian ini.

 

Tokoh disrupsi adalah Christensen. Dalam daftar pustaka buku tersebut tertulis ada 10 buku yang dikutip oleh RK. Itu maknanya, Christensen  adalah tokoh utama dalam disrupsi.

 

RK itu sosok yang cerdas. Informasi dalam pikiran Christensen ia olah dengan apik, sehingga saya sebagai pembaca, bahwa disrupsi itu sudah terjadi di Indonesia.

 

Contoh-contoh yang RK tulis pernah di-publish pada koran Kompas. Ia tulis pula di buku tersebut. ini sebagai penguat dari sebuah konsep. Ia “racik” konsep dan contohnya dengan bahasa yang sederhana, sehingga “kesannya” pembaca itu tidak “digurui” atau “diajari”. Tetapi, diajak berpikir. Ini pula bukti, bahwa RK itu rajin menulis.

 

Didalam buku itu terdapat grafik, tabel, dan bagan, layaknya jurnal penelitian. Namun, tak terkesan ilmiah. Mengapa? Sekali lagi, penyajiannya. Pada buku ini, RK berbeda dalam menyajikan grafik dan bagan dibanding dengan buku Self Driving, di mana tabel, bagan, dan grafiknya berwarna. Lebih menarik, tetapi di buku disrupsi semua penyajiannya hitam putih.

 

Kemudian, dalam buku tersebut disajikan mantra/kalimat penggugah dalam bahasa Inggris di awal bab. Maksud RK adalah pokok bahasan dari inti permasalahan bab tersebut. bagi saya, ini sangat bermanfaat, karena saya pun belajar bahasa Inggris.

 

RK memberikan pelajaran kepada saya dalam menulis buku. Cara penyajiannya penuh informasi/ilmu. Tidak ada kata yang buruk. Semua baik.

 

Teori-teorinya ditata dengan rapi. Sehingga, tidak terkesan “angker” untuk membacanya. Padahal, menurut saya teori tersebut sebenarnya susah. Namun, karena RK pandai “meraciknya”, maka jadilah orang menangkap teorinya.

 

Terima kasih RK, semoga sehat selalu. Ditunggu, karya-karya berikutnya.

 

 

Semarang, 21 Juni 2018

 

 

• Saturday, June 16th, 2018

Arti Huruf Fitri

Oleh Agung Kuswantoro

 

Dalam khutbah Jumat yang tepat dilaksanakan pada 1 Syawal 1439 Hijriah, saya melakukan ibadah sholat Jumat di Masjid Agung Pemalang. Khotib menyampaikan materi tentang makna Fitri. Salah satunya ditinjau dari huruf yang tertulis dalam lafal Fitri. Fitri terdiri dari 3 huruf yaitu fa, tho, dan ro. Masing-masing memiliki arti.

 

FA artinya Fastabiqul khoirot. Maksudnya adalah berlomba-lomba dalam kebaikan. Saat Idul Fitri, kita tetap harus melaksanakan kebaikan-kebaikan, bahkan berlomba. Sebagaimana dalam ibadah bulan Ramadhan seperti puasa, zakat, tadarus, itikaf, sedekah, dan amalam sholih lainnya.

 

THO artinya Thumakninatul qolbi. Maksudnya adalah tenangnya hati. Ibadah yang telah dilakukan selama berpuasa berdampak pada tenangnya, hati. Hati menjadi kunci dalam setiap perbuatan. Termasuk pemikiran. Ibadah melahirkan ketenangan, bukan kegrusahgrusuhan. Oleh karenanya, tenangnya hati menjadi penting untuk seseorang dalam beribadah. Karena, itu salah satu efeknya.

 

RO artinya Roddul Madhor. Maksudnya adalah menolak bahaya/kedholiman. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan seorang beriman dan bertakwa dapat menolak suatu bahaya atau kedholiman. Mengapa? Ia selalu berpihak di Allah. Allah menjadi sandaran hidupnya. Bukan, hawa nafsu yang menjadi rujukan hidupnya. Dengan demikian, bala/cobaan atau kedholiman dapat ia minimalisir dengan cara beridah-beribadah layaknya di bulan Ramadhan. Sehingga, saat bulan Syawal menolak bahaya/kedholiman dapat dilakukan.

 

Itulah makna huruf yang melekat pada kata Fitri. Hingga sekarang, saya belum mendapatkan sumber/referensi yang valid dari masing-masing makna tersebut. Namun, saya mencatatnya dari Khotib Jumat pada tanggal 15 Juni 2018 di Masjid kebanggaan warga Pemalang, Jawa Tengah. Terima kasih ilmu Pak Khotib. Semoga Anda sehat selalu. Amin.

 

Rembang, 16 Juni 2018

• Friday, June 15th, 2018

Sama-Sama Menang

Oleh Agung Kuswantoro

 

Khutbah sholat Idul Fitri di Masjid Agung Pemalang oleh Ustad Miftah, S.Ag. Ia adalah guru saya waktu di Pondok Pesantren Salafiah Kauman Pemalang. Ada beberapa point yang menarik saat, ia menyampaikan khutbah yaitu

 

  1. Idul Fitri harus diharapkan menghasilkan pribadi yang soleh sosial. Tidak cukup soleh individu. Fenomena ini sangat cocok dengan keadaan sekarang.

 

Misal, silaturahmi. Orang berbondong-bondong menyampaikan ucapan dengan handphone/WA. Minim budaya silaturahmi denga tatap muka. Padahal ajaran agama menganjurkan untuk silaturahmi dengan tatap muka. Saat tatap muka disitulah, kita mengetahui yang bersangkutan apakah merelakan atas kesalahan yang telah diperbuat.

 

  1. Takbir mengajarkan kepada kita untuk sama-sama menang. Takbir diucapkan secara bersama-sama. Dalam kehidupan juga seperti itu. Tidak ada istilah kamu menang, saya kalah. Tetapi sama-sama menang.

 

Misal, saat pilkada. Saat ada yang pemenang diumumkan oleh KPU. Sesungguhnya peserta Pilkada itu menang semua. Hanya caranya berbeda. Yang mendapatkan suara terbanyak ia akan memimpin jalannya pemerintahan. Sedangkan yang tidak mendapatkan suara terbanyak tetap menjalankan pelayanan untuk mengayomi masyarakat melalui pendidikan, ekonomi, budaya, atau menjadi oposisi yang baik. Ini semua hakikatnya adalah melayani masyarakat. Itulah pemimpin. Itu pula sama-sama menang.

 

  1. Kebenaran manusia bersifat perspektif. Kebenaran Allah bersifat mutlak. Sehingga, saat ada perbedaan pendapat itu berdasarkan cara pandang yang berbeda saja. Jangan terlalu dibuat sepaneng. Karena ya itu, perbedaan manusia bersifat perspektif. Bukan mutlak. Jadi, beda pendapat itu hal yang biasa.

 

Itulah point-point yang saya dapatkan saat khutbah Idul Fitri. Sangat mengena sekali. Khotib sangat fasih dalam melafalkan doa-doanya, sehingga para Jamaah, khusuk dalam berdoa. Semoga kita menjadi pribadi yang fitri. Amin

 

Kudus, 16 Juni 2018

 

• Wednesday, June 13th, 2018

Harapan di Akhir Bulan Ramadhan 1439 Hijriah

Oleh Agung Kuswantoro

 

Alhamdulillah Ramadhan sebentar lagi selesai. Ia (Ramadhan) akan kembali ke Allah. Kalimat pertama yang saya ucapkan adalah puji syukur atas nikmat Allah berupa panjang umur hingga menyelesaikan ibadah di bulan suci tersebut.

 

Waktu menjadi kata kunci dalam kalimat di atas. Tahun depan, belum tentu kita akan berjumpa dengannya. Ia tetap ada, tetapi kita belum tentu berjumpa dengannya.

 

Jika Allah memberi izin panjang umur dan sehat, Insya Allah kita akan berjumpa tahun depan. Amin.

 

Setiap ia datang begitu terasa. 30/29 hari “kenceng” dengan ibadah, mulai sahur, tarawih, witir, tadarus, zakat, sedekah, itikaf, dan ibadah lainnya. Terlebih, ibadah tersebut dilakukan bersama dengan masyarakat.

 

Misal, sholat isya, tarawih dan witir tidak dilakukan secara munfarid. Tetapi dilakukan secara berjamaah dengan menjadi Imam di masjid. Sholat Subuh dan kultum dilakukan secara berjamaah dengan menjadi imam dan pemberi materi.

 

Tadarus bersama mahasiswa dan anak-anak dilakukan tiap sore di masjid. Tadarus juga dilakukan bersama warga kampung pada malam hari. Itulah kenangan Ramadhan tahun ini (2018/1439 H). Sekarang, tinggal kenangan.

 

Fokus kebanyakan orang saat ini lebaran. Lalu lalang kendaraan mudik sangat padat di daerah saya. Pusat perbelanjaan sangat ramai. Muda-mudi mulai sibuk mengurusi reuni dan halal bihal. Tak ketinggalan pula, dapur mulai mengepul menyiapkan opor ayam dan ketupat.

 

Namun, dalam hati mengatakan kenangan Ramadhan itu masih melekat dibalik hingar bingar persiapan Idul Fitri. Menurut saya, Idul Fitri itu satu hari saja dan pada jam itu saja. Yaitu, pada saat sholat Id dan setelah Khotib turun dari mimbar khutbah.

 

Setelah turun dari mimbar khutbah, berakhirlah Idul Fitri. Adanya perayaan Idul Fitri, mulai dari salam-salaman ke sanak saudara, halal bihalal, reuni, dan perayaan lainnya. Itulah perayaan Idul Fitri.

 

Oleh karenanya, saat Idul Fitri, terutama saat sholat itu perbanyak zikir, takbir, dan istigfar. Sembari jalan ke masjid/lapangan tetap berdoa. Doanya diperkuat, bukan memperhatikan tampilan baju, mekena yang mahal, sandal yang mahal, dan asesoris yang mahal pula yang dipakai oleh orang saat ke Masjid.

 

Sekali lagi doanya yang diperkuat. Mengapa? Itu, hanya bagian perayaan. Fitrinya adalah kemenangan bagi orang yang telah menjalani ibadah di bulan Ramadhan.

 

Eman-eman jika hanya peranyaan kita terbawa oleh situasi yang kita tidak bisa mengendalikan. Puasa dan ibadah saat di bulan Ramadhan dipertahankan di bulan-bulan berikutnya.

 

Kembali lagi ke sholat Id. Saat sholat Id, mulai dari niat dan takbir harus benar-benar memasrahkan hidup kita. Termasuk umur.

 

Allahu Akbar sambil dalam hati mengatakan “Wahai Allah, bisakah saya bertemu Ramadhan tahun depan?”

 

“Wahai Allah, Pemilik Waktu, berilah saya kesempatan untuk menikmati di bulan Ramadhan tahun depan.”

 

Mengapa kita mengatakan seperti itu? Karena, kita akan memasrahkan hidup kita kepada Pencipta bulan Ramadhan. Daripada umurnya panjang, tetapi tidak beribadah atau kurang kepada-Nya. Lebih baik, kita instrospeksi diri kepada-Nya.

 

Selamat jalan Ramadhan telah menghampiri kami selama satu bulan ini. Terima kasih telah mendidik kami menjadi manusia yang bertakwa, meskipun saya belum pantas untuk menjadi manusia bertakwa. Hanya Allah yang menentukan ketakwaan seseorang. Namun, saya akan mencobanya.

 

Ramadhan sapalah, kami semua di tahun depan. Engkan (Ramadhan) pasti ada 11 bulan kemudian, tetapi kami belum tentu ada.

 

Maafkan kami, apabila selama ini, belum bisa “bercumbu” denganmu melalui ibadah-ibadah yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.

 

Sekarang, usiamu (Insya Allah) kurang satu hari lagi. Engkau akan pulang ke Allah. Sampaikan ke Allah, bahwa kami mohon maaf belum bisa menjadi hamba yang beriman dan bertakwa.

 

Dosa kami masih banyak. Masiat kami juga masih banyak. Namun, melalui Ramadhan ini, hati kami sedikit terketuk untuk mengingat-Mu, Ya Allah.

 

Kami sudah mengajak masyarakat untuk berpuasa, sholat tarawih, witir, tadarus, sholat subuh berjamaah, dan belajar agama Islam melalui kultum. Melalui amalan-amalan itu, semoga Engkau mau memaafkan kami.

 

Catat nama kami di Lauhil Mahfud tertulis nama kami termasuk dalam kategori yang termasuk Lailatul Qodar. Dan, mohon selalu bombing hati kami agar selalu mengingat Engkau. Amin.

 

Pemalang, 13 Juni 2018

• Monday, June 11th, 2018

“Fitrinya”, Bukan Lebarannya

Oleh Agung Kuswantoro

 

Tak terasa Ramadhan akan selesai. Bulan yang penuh hikmah, akan kembali ke Allah pada tahun depan. Namun, “Sadarkah kita, jika Ramadhan akan kembali ke Allah?

 

Pertanyaan di atas hanya, pribadi manusia saja yang mengetahui. Profesi apa pun tidak bisa menduga atau menjawab pertanyaan tersebut. Hanya diri manusia dan Allah.

 

Mengapa? Karena, puasa itu ibadah rahasia. Puasa adalah ibadah yang hanya diketahui oleh manusia yang bersangkutan dan Allah.

 

Mulut boleh berkata “saya puasa pada pagi ini.” Tetepi, pada kenyataannya bahwa siang hari, ia makan siang di warung makan.

 

Orang lain tidak ada yang tahu, kecuali penjual makanan di warung tersebut. Lalu, setelah dari warung, ia mengatakan kepada orang yang berada di sekitarnya, dengan kalimat, “saya masih berpuasa di hari ini.”

 

Sah-sah saya mulut orang tersebut berkata sebagaimana di atas. Karena, ibadah puasa berkaitan dengan kerahasiaan. Kejujuran menjadi “kunci” dalam menjalankan ibadah puasa.

 

Sehingga, tujuan mulia dalam ibadah puasa yaitu takwa, tak cuma-cuma diraihnya dengan mudah. Dibutuhkan perjuangan dan karakter yang mulia.

 

Tak heran, jika tujuan akhir pada bulan Ramadhan adalah menjadi pribadi yang fitri atau suci. Bukan, perayaan yang mewah atau ramai pada malam takbiran.

 

Orang yang dicari dalam berpuasa adalah “fitrinya”. Sucinya. Sehingga, semakin mendekati Idul Fitri, maka semakin “kencang” ibadahnya.

 

Ia tidak sibuk ke pusat perbelanjaan untuk menghadiri “mid night discount”, di mana ada “zakat mall” (bukan zakat mal).

 

Ia tidak sibuk mencari model baju baru untuk dipakai di hari lebaran. Ia tidak sibuk mencari penjahit untuk menjahitkan bahan bajunya.

 

Ia sibuk berzikir. Ia tetap fokus berpuasa. Ibadah sunah tetap ia jalankan, seperti solat tarawih, witir, tahajud, tadarus, itikaf, dan amalan solih lainnya.

 

Konsentrasinya dia ada pada menggapai “fitrinya”, bukan lebarannya. Jika lebarannya, maka ia berpikiran pada liburan Idul Fitri, seperti berwisata, makan di restoran, berkumpul dengan teman, dan “kesenangan” yang lainnya.

 

Oleh karenanya, “fitri” itu untuk orang tertentu. Tetapi, lebaran untuk semua orang. Tidak semua orang mendapatkan “fitri”, hanya orang-orang tertentu yang mendapatkannya.

 

Lalu, pertanyaannya adalah “Siapakan yang mendapatkan fitri? Jawabnya adalah orang yang tetap berpuasa dan menjalankan ibadah-ibadah di bulan Ramadhan hingga tuntas.

 

Mengapa demikian? Karena menjaga ibadah-ibadah di bulan Ramadhan hingga tuntas (menurut saya) tidaklah mudah. Buktinya, saat kita mudik, banyak (lebih dari tiga orang) tidak berpuasa. Padahal ia sehat dan tidak ada halangan untuk menjalankan ibadah puasa.

 

Saat malam hari, justru pusat perbelanjaan ramai dengan pembeli. Seharusnya zikir, itikat, dan tadarus harus dikuatkan di akhir bulan Ramadhan.

 

Mereka yang masih berjuang melawan godaan dunia, jika selesai melakukan perjuangan hingga tuntas Ramadhan, Insya Allah akan mendapatkan “fitri”.

 

Berbeda dengan orang yang mendapatkan lebaran. Batin atau ketenanganlah yang dirasakan bagi orang yang mendapatkan “fitri”. Orientasi tujuan sudah berbeda, sehingga orang yang berlebaran, belum tentu mendapatkan “fitri”.

 

Sebagai orang beriman, seharusnya “fitri” yang harus digapai. Mari, “ketuk” diri sendiri agar “fitri” harus dicapai, bukan lebaran dengan liburannya.

 

jika kita saja, masih berpikiran liburan lebarannya, lalu siapa yang akan mendapatkan “fitri”? Mari, luruskan mind set pikiran kita, agar hati kita juga menjadi lurus.

 

Sebagai penguat di akhir tulisan ini, ada sebuah kalimat yaitu lebaran dengan segala bentuk liburan yang menyenangkan itu boleh, tetapi jangan sampai “melupakan” atau menjadikan Ramadhan yang “suci” tidak bermakna “suci” lagi, karena perbuatan kita yang terlalu membesarkan perayaannya, dibanding ibadahnya.

 

Pemalang, 11 Juni 2018

 

 

• Sunday, June 03rd, 2018

Pancasila dan Alqur’an

Oleh Agung Kuswantoro

 

Hari Pancasila telah kita peringati kemarin (1/6/2018). Momentum lahir Pancasila sangat tepat kita renungkan, terlebih di bulan Ramadhan. Dimana Pancasila juga lahir di bulan Ramadhan. 17 Agustus 1945 bertepatan jatuh pada tanggal 9 Ramadhan. Kemudian, Pancasila disusun.

 

Sudah tidak tepat lagi kita merubah ideologi negara kita (Pancasila) dengan ideologi lainnya. Founding Father kita sudah melakukan pemikiran, penajaman, istikharah, dan meyakini bahwa Pancasila adalah ideologi yang tepat untuk negara Indonesia.

 

Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Alqur’an mengatakan “Qul huallahu ahad” (QS. Al Ikhlas : 1). Artinya, “Katakanlah, bahwa Allah itu Esa”. Tuhan yang satu. Negara Indonesia mengakui Tuhan. Siapa yang tidak bertuhan, bukanlah warga Indonesia.

 

Sila Kedua, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab. Alqur’an mengatakan “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri, ibu, bapak, dan kerabatmu” (QS. Annisa: 135). Adil itu untuk diri sendiri. Tidak hanya untuk hakim. Tetapi, semua manusia. Adil harus ada dalam setiap diri manusia.

 

Sila Ketiga, Persatuan Indonesia. Alqur’an mengatakan “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal” (QS. Alhujurat: 13). Tujuan dari ayat di atas adalah persatuan, melupakan kpentingan individu, kepentingan negara harus diutamakan di atas kepentingan golongan.

 

Sila Keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Alqur’an mengatakan “Dan (bagi) orang-orang yang menerima/mematuhi seruan Rob-nya, dan mendirikan sholat, sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah (QS. Assyuro: 38). Musyawarah mufakat adalah ajaran Alqur’an. Bukan dengan cara vooting atau pengambilan suara terbanyak. Bangsa Indonesia lebih mengutamakan musyawarah mufakat.

 

Sila Kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Alqur’an mengatakan “Sesungguhnya Allah menyuruh manusia berlaku adil dan berbuat baikan, memberi sedekah kepada kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan” (QS. An Nahl: 90). Bangsa Indonesia mengharapkan rakyat dan pimpinannya untuk berbuat baik kepada sesama (sosial). Itu juga anjuran Allah dalam Alqur’an.

 

Itulah nilai-nilai Alqur’an yang termaktub dalam Pancasila. Tidak diragukan lagi untuk kita mengamalkan. Mengamalkan nilai-nilai Pancasila juga mengamalkan nilai-nilai Alqur’an.

 

 

Founding Father kita sudah memikirkannya dengan penuh khusyuk dan sholat istikharah mengharap ridho Allah dalam memikirkan bangsa Indonesia.

 

Itulah pesan khotib, Dr. Ali Mahsyar, MH yang saya tangkap. Saya beruntung sekali bisa belajar dengannya. Setelah saya selesai sholat, saya menemuinya diskusi kecil terkait pekerjaan saya di UPT Kearsipan berupa Peraturan Rektor Kearsipan. Dan, saya menyampaikan ucapan terima kasih atas masukannya dan ilmu-ilmunya yang telah disampaikan kepada saya. Semoga Bapak sehat selalu. Amin.

 

 

Semarang, 2 Juni 2018

 

 

 

• Saturday, June 02nd, 2018

Catatan Kultum Ramadhan (2)

Oleh Agung Kuswantoro

 

  1. Zakat Fitrah

 

Zakat fitrah hukumnya wajib bagi orang dewasa, anak-anak, tua, dan muda. Kalimat dalam kitab yang saya gunakan disebutkan makhluk. Maknanya, manusia itu wajib zakat fitrah termasuk janin yang dalam kandungan.

 

Lalu, dia (janin/anak) bagaimana ia mengeluarkan zakat fitrah, padahal ia belum kerja? Jawabnya adalah ia menjadi tanggungjawab orang tuanya. Berarti orang tuanya akan mengeluarkan zakat fitrah juga ke anaknya.

 

Kapan dimulai zakat fitrah? Berdasarkan sumber yang saya baca, banyak perbedaan pendapat. Biasanya zakat fitrah dikeluarkan pada malam idul fitri/takbiran.

 

Batas pengeluaran zakat fitrah hingga sholat Id selesai. Jika ada orang mengeluarkan zakat setelah sholat Id dinamakan sedekah. Namun, jika dikeluarkan sebelum sholat id dinamakan zakat fitrah.

 

Zakat fitrah, orang yang memberikan wajib niat. Adapun niatnya yaitu Nawaitu an uhrija zakatal fitri linafsi (Agung) fardolillahi ta’ala. Artinya, saya berniat akan mengeluarkan zakat fitrah untuk diri saya Agung fardu karena Allah ta’ala.

 

 

Etika

 

Setiap orang wajib zakat fitrah, maka apabila ia telah menerima zakat fitrah. Kemudian, ia belum membayar zakat fitrah, maka alangkah baiknya ia “mengolah” beras/zakatnya yang telah diterima.

 

Misal, mengganti bungkus/plastik zakat yang telah diterima. Atau, mencampurkan beras dengan beras lainnya.

 

Bagusnya lagi, zakat fitrah dengan uang sendiri. Jadi, hasil kerjanya dibelanjakan uang untuk zakat.

 

Jangan beras yang telah diterima, kemudian dizakatkan lagi ke orang lain. Hal ini (menurut saya) kurang beretika. Walaupun itu, haknya. Jadi, etika perlu ditegakkan dalam penyaluran zakat.

 

Siapa yang menerima zakat fitrah? Utamakan saudara kita yang fakir dan miskin. Itu dulu diutamakan. Zakat dalam bentuk makanan pokok di daerah setempat.

 

Mulailah dari sekarang, untuk menabung zakat fitrah. Utamakan zakat dari rizki kita. Jika tidak punya, gunakan “sesuatu” yang Anda punya untuk zakat. Terpaksa, kita tidak memiliki olahlah beras yang kita peroleh dengan mencampur atau mengganti plastik sebagai bentuk penghormatan atas orang yang telah memberikan kepadanya.

 

Bayarlah zakat agar rukun Islam kita lebih sempurna, karena zakat termasuk rukun Islam yang ke-4. Rukun islamnya belum sempurna. Dan, sempurnakanlah rukun Islam kita. Semoga Allah menerima amal baik kita. Amin.

 

 

  1. Itikaf

Oleh Agung Kuswantoro

 

Itikaf adalah berdiam diri di masjid. Ada banyak perbedaan terkait lamanya Itikaf. Seperti, Itikaf itu sehari semalam. Ada juga yang mengatakan tidak harus sehari, tetapi cukup bacaan tertentu. Sehingga, Itikaf perlu niat.

 

Adapun niatnya, nawaitul ‘itikafi hadal masjid sunnatalillahi ta’ala. Artinya, saya berniat ‘itikaf di masjid ini, sunatulillahi ta’ala.

 

Diriwayatkan beberapa hadist bahwa, Nabi Muhammad SAW sangat antusias melakukan Itikaf, terutama pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Sampai-sampai, Nabi Muhammad SAW rambutnya, yang menyisirkan/jungkati adalah Siti Aisyah/istrinya. Mengapa, sedemikian begitunya? Karena, Nabi Muhammad SAW sangat konsen terhadap ibadah Itikaf.

 

Semakin Ramadhan akan habis, ibadah yang bersifat individual seperti Itikaf diperkuat. Bukan sebaliknya, saat Ramadhan akan habis, justru masjid yang sepi. Mall yang ramai. Nah, disinilah tantangannya.

 

Yuk, perkuat ibadah bersifat individual ini (Itikaf) karena Nabi Muhammad SAW melakukan hal itu. mumpung Ramadhan belum habis. Bukan, sibuk di pusat perbelanjaan. Tirulah Nabi Muhammad SAW. Ingat takwa sebagai tujuan akhir puasa. Itikaf itu sebagai jalan menuju takwa. Banyak merenung, dzikir, dan berpikir agar lebih dekat dengan Allah.

 

 

Semarang, 1 Juni 2018

 

 

• Friday, June 01st, 2018

Catatan Kultum Ramadhan (1)

Oleh Agung Kuswantoro

 

Selama Ramadhan ini, kultum yang saya sampaikan ke masjid seputar Ramadhan. Berikut catatan saya:

 

  1. Lailatul Qodar

Lail itu malam. Qodar itu mulia. Menurut Kamus, Qodar memiliki tiga arti yaitu (1) mulia, (2) sempit, (3) ketentuan/ketetapan.

 

Mulia karena pada malam itu yang turun malaikat untuk mencatat amal manusia.

 

Sempit karena bumi diisi oleh Malaikat, sehingga bumi menjadi sempit.

 

Ketetapan/ketentuan karena malam itu pasti terjadi.

 

Banyak perbedaan pendapat terkait turunnya Lailatul Qodar. Ada yang mengatakan diturunkan Alqur’an yaitu malam 17 Ramadhan. Ada yang mengatakan pula malam ganjil (21, 23, 25, 27, dan 29). Bahkan di daerah tertentu (Timur Tengah) Lailatul Qodar dipercayai turun pada tanggal 27 Ramadhan. Sehingga, peristiwa Nuzulul Qur’an di daerah tersebut diperingati tanggal 27 Ramadhan. Berbeda di Indonesia diperingati 17 Ramadhan. Dari penjelasan di atas lengkap ada dalilnya.

 

Namun, guru saya mengajari saya bahwa Lailatul Qodar, jangan dinanti. Mengapa? Karena itu pasti terjadi. Tugas kita adalah memantaskan apakah kita layak mendapatkan Lailatul Qodar?

 

Layak/pantas menjadi kata kunci untuk memasuki Lailatul Qodar. Mengapa? Malaikat yang akan mencatat amal manusia. Berarti, Malaikat akan mencatat orang yang melakukan kebajikan pada hari/malam itu.

 

Malaikat tidak akan mencatat amal manusia yang buruk. Berarti kita harus memperbanyak amalan sholih/kebajikan. Itu yang perlu diperhatikan. Kuncinya Malaikat itu dengan  kebajikan.

 

Jika Lailatul Qodar tidak usah dinanti, berarti kita harus berbuat baik selama Ramadhan, mulai tanggal 1 hingga 30 Ramadhan. Insya Allah dengan cara ini Lailatul Qodar akan diperoleh.

 

Contoh Malaikat turun ke bumi, bahwa Alqur’an mengatakan dengan tegas pada saat perang Badar, Malaikat membantu pasukan muslim. Jumlah sedikit pasukan muslim, namun bisa mengalahkan pasukan Kafir/Quraisy yang berjumlah lebih banyak.

 

Ternyata, Malaikat membantu pasukan muslim. Salah satu faktor dibantunya pasukan muslim karena telah melakukan amal baik/kebajikan. Sehingga, Malaikat turun ke bumi.

 

Sebaliknya, pada perang Uhud, pasukan muslim tidak dibantu oleh Malaikat dikarenakan pasukan muslim tidak sabar terhadap godaan dunia, berupa harta rampasan milik pasukan Kafir/Quraisy. Padahal, perintah Nabi sangat jelas, bahwa apa pun keadaannya, pasukan muslim harus tetap di atas bukit. Jangan turun bukit, walaupun sudah selesai perang. Namun, karena meraka tergoda dengan “harta” yang berada dibawah bukit, menjadikan pasukan muslim mengalami kekalahan. Baca QS. Ali Imron ayat 124.

 

Itulah sebabnya, Malaikat akan turun, jika kita berbuat kebajikan, sebagaimana kondisi dalam perang Badar.

 

Ada benarnya juga hadist yang mengatakan Lailatul Qodar akan turun dengan pertanda seperti matahari tidak terlalu panas, suasana tenang, angin sepoi-sepoi dan tanda alam  lainnya yang mendamaikan.

 

Menurut saya, hal itu tidak menjadi patokan. Saya lebih sepakat dengan cara Lailatul Qodar itu pasti terjadi. Tugas kita hanya memantaskan untuk bisa masuk dalam Lailatul Qodar dengan cara berbuat baik/kebajikan, sehingga Malaikat akan turun mencatat amal kita.

 

Bersambung

 

Semarang, 1 Juni 2018