Archive for the Category ◊ Uncategorized ◊

• Sunday, June 05th, 2022

“Muazin”

Oleh Agung Kuswantoro

Meninggal dunia sosok Buya Syafii Maarif begitu mendalam bagi bangsa Indonesia. Kompas menuliskan “Muazin Bangsa yang Selalu Gelisah” (Sabtu, 28 Mei 2022) dan Sindo menuliskan “Buya Syafii Meninggal Dunia, Maarif Institute: Muazin Bangsa Telah Tiadahttps://nasional.sindonews.com/read/780995/15/buya-syafii-meninggal-dunia-maarif-institute-muazin-bangsa-telah-tiada-1653631524 (Jumat/27 Mei 2022).

 

 

Saya menjadi berpikir: Sosok “Muazin” sebuah Masjid, apakah harus seperti Buya Syafii Maarif (almarhum)? Jika ya (apakah harus sesuai dengan Buya Syafii? dimanakah letak “ke-muazin-nya”?

 

Saya hanya menduga: kata “Muazin” yang disematkan oleh Kompas dan Sindo untuk Buya Syafii Maarif hanya “simbol”. Bisa saja, muazin (Buya Syafii Maarif, Gus Dur, dan Cak Nur) tidak harus bervolume tinggi. Tetapi, “menghayati” apa yang dilafalkan bisa diresapi dirinya. Syukur “hanyut” menikmati akan suara dan makna dari apa yang disampaikan oleh muazin. Bisa jadi, sosok muazin tidak harus muda. Terlebih, muazin ini memberi dampak kepada orang yang mendengar. “Sedeplah”, istilah  saya: apapun suara yang dikeluarkan oleh muazin.

 

Memang susah untuk menemukan sosok “muazin” seperti Buya Syafii Maarif, Gus Dur, dan Cak Nur. Namun, meskipun susah mendapatkan sosok tersebut, minimal kita punya contoh teladan yang tepat untuk menjadi “muazin” di lingkungan sekitar kira dulu. Baru, ke level Provinsi, Nasional dan Bangsa. Semoga kita bisa menjadi muazin seperti Buya Syafii Maarif dan Gus Dur. Amin. []

 

Semarang, 31 Mei 2022

Ditulis di rumah Jam 18.00 – 18.15 Wib.

• Saturday, June 04th, 2022

 

LKPT (Kadang) Terlupakan
Oleh Agung Kuswantoro

Adalah Lembaga Kearsipan Perguruan Tinggi (LKPT)—tulisan selajutnya adalah LKPT—yang kadang terlupakan dalam sebuah perkumpulan/diskusi. Beberapa hari ini, saya mengikuti beberapa forum kearsipan, baik pada level nasional dan lokal. Pada level nasional, beberapa waktu yang lalu di Riau (17-19/5/2022) ada kegiatan pengawasan kearsipan nasional. Kemudian, pada level lokal ada kegiatan Asosisiasi Arsiparis Indonesia (AAI) cabang Kota Semarang.

Diantara kedua forum tersebut, hampir ada yang terlupa, dimana setiap akhir kegiatan, biasanya ada rekomendasi dari suatu kegiatan. Yang terlupakan adalah LKPT, dimana tidak tersebut dalam pasal/poin rekomendasi. Yang sering muncul adalah kata/kalimat kearsipan daerah (kabupaten/kota, propinsi, dan nasional/ANRI). Namun, ada “terlewat” yaitu LKPT. Itu yang di Riau.

Demikian juga saat diskusi di Semarang, saat merumuskan AD/ART, menyebutkan anggota AAI cabang Kota Semarang (25/5/2022) terdiri dari arsiparis instansi pemerintah, dan swasta. Ada yang terlewat lagi yaitu LKPT. Ini pun saya sempat tidak teliti. Kemudian, teman saya – Ratu Bunga – mengingatkan kepada saya, bahwa arsiparis LKPT belum dimasukkan dalam poin/pasal yang sedang dibahas.

Melihat kedua kejadian tersebut, menjadikan penasaran posisi LKPT itu, ada dimana? Apakah masih kuat atau lemah? Mengapa sempat terlewat pada kedua momen tersebut? Wa’allahu’ alam. []

Semarang, 29 Mei 2022
Ditulis di Rumah jam 08.30 – 08.45 Wib.

• Friday, June 03rd, 2022

Kitab Syajarotul Ma’arif dan Washoya al-Abaa lil Abna

Oleh Agung Kuswantoro

Rabu sore (1/6/2022) saya dan keluarga seperti biasa belajar bersama di “Madrasah” rumah saya sendiri. Saya dan umi Lu’lu (istri) sebagai Ustad dan Ustadah. Mubin dan Syafa sebagai santri. Pelajarannya adalah akhlak. Adapun kitab yang digunakan adalah Washoya al-Abaa lil Abna.

 

Kitab Washoya al-Abaa lil Abna adalah kitab akhlak yang berisikan wasiat/pesan orang tua kepada anak seperti wasiat takwa, kewajiban kepada Bapak-Ibu, kewajiban terhadap teman, tata cara belajar/berdiskusi, tata cara makan-minum, dan tata cara yang lainnya.

 

Lalu muncul pertanyaan: “Mengapa pelajaran akhlak diberikan kepada anak?” Jawaban saya sederhana: “karena anak bersifat lugu dan memiliki daya pikir yang tajam”. Terlebih, yang menyampaikan materi adalah orang dewasa/orang tua. Dimana, ia/orang tua/ustad sedang dan telah melakukan (akhlak) dari apa yang telah disampaikan.

 

Bayangkan, bila pelajaran akhlak disampaikan kepada orang dewasa. Bisa jadi, orang tua/guru/ustadnya malah dilawan, karena tidak terima dengan ajaran akhlak yang disampaikan oleh orang tua/guru/ustad. Terlebih, tenaga (fisik) orang dewasa itu, lebih kuat dibanding guru/ustad/orang tuanya. Itulah pentingnya penyampaian materi akhlak saat usia anak-anak.

 

Jika sudah “berumur” (baca:dewasa), sampaikan materi/dari kitab yang berisikan menata hati. Malam hari usai madrasah (habis/ba’da salat Maghrib), saya membaca kitab Syajarotul Ma’arif, dimana isinya tentang “Ndandani ati” (baca: menata hati) seperti: berakhlak dengan sifat sang Maha Rahman sesuai dengan kemampuan; tatacara berakhlak dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah, perintah yang bersifat batin dan beraklak yang berisi penataan hati lainnya.

 

Ternyata, materi yang disajikan dalam kitab Syajarotul Ma’arif lebih mendalam dibandingkan kitab Washoya al-Abaa lil Abna. Namun, untuk bisa memahami kitab Syajarotul Ma’arif, harus menerapkan ilmu yang ada pada kitab Washoya al-Abaa lil Abna.

 

Jadi, saat anak-anak berilah/sampaikan materi kitab Washoya al-Abaa lil Abna, baru setelah dewasa sampaikan materi kitab Syajarotul Ma’arif. Sekali lagi ingat, kitab akhlak sangat cocok diberikan saat usia anak-anak. Disinilah masa “emas” anak menerima materi akhlak. []

 

Semarang, 1 Juni 2022

Ditulis di Rumah jam 22.30 – 22.45 Wib.

 

 

 

 

 

• Friday, June 03rd, 2022

Jika Ilmu Ditolak di Masyarakat (2): Mengapa Masyarakat Menolak Suatu Ilmu?

Oleh Agung Kuswantoro

 

Mengapa imu yang disampaikan oleh seorang guru, ustad, kiai, atau orang yang berilmu ada yang ditolak oleh masyarakat?

 

Mari kita kaji bersama. Dari sisi masyarakat. Pertama, ada semacam ketakutan dengan isi ilmu yang disampaikan. Karena, ilmu yang disampaikan berisikan hal-hal yang belum pernah mereka temui selama puluhan (bahkan, ratusan) tahun di tempat tersebut.

 

Kedua, selama ini tidak ada tokoh/orang yang menyebarkan ilmu. Peran atau kegiatan berjalan berdasarkan apa yang sudah terjadi, tanpa adanya kejelasan sumber.

 

Dari sisi orang yang menyampaikan, bisa jadi strategi cara penyampaian kurang tepat di masyarakat. Lalu, ilmu yang disampaikan belum pada level (tingkatan) pemahaman (pengetahuan) masyarakat tersebut.

 

Itulah catatan kecil saya mengenai penolakan sebuah ilmu. Mungkin ada beberapa sebab lain yang belum saya tulis/pahami. Silakan jika ada kemukakan saja, bisa didiskusikan.

 

Semarang, 28 Mei 2022

Ditulis di Rumah jam 08.00-08.15 Wib.

• Wednesday, June 01st, 2022

LKPT (Kadang) Terlupakan

Oleh Agung Kuswantoro

 

Adalah Lembaga Kearsipan Perguruan Tinggi (LKPT)—tulisan selajutnya adalah LKPT—yang kadang terlupakan dalam sebuah perkumpulan/diskusi. Beberapa hari ini, saya mengikuti beberapa forum kearsipan, baik pada level nasional dan lokal. Pada level nasional, beberapa waktu yang lalu di Riau (17-19/5/2022) ada kegiatan pengawasan kearsipan nasional. Kemudian, pada level lokal ada kegiatan Asosisiasi Arsiparis Indonesia (AAI) cabang Kota Semarang.

 

Diantara kedua forum tersebut, hampir ada yang terlupa, dimana setiap akhir kegiatan, biasanya ada rekomendasi dari suatu kegiatan. Yang terlupakan adalah LKPT, dimana tidak tersebut dalam pasal/poin rekomendasi. Yang sering muncul adalah kata/kalimat kearsipan daerah (kabupaten/kota, propinsi, dan nasional/ANRI). Namun, ada “terlewat” yaitu LKPT. Itu yang di Riau.

 

Demikian juga saat diskusi di Semarang, saat merumuskan AD/ART, menyebutkan anggota AAI cabang Kota Semarang (25/5/2022) terdiri dari arsiparis instansi pemerintah, dan swasta. Ada yang terlewat lagi yaitu LKPT. Ini pun saya sempat tidak teliti. Kemudian, teman saya – Ratu Bunga – mengingatkan kepada saya, bahwa arsiparis LKPT belum dimasukkan dalam poin/pasal yang sedang dibahas.

 

Melihat kedua kejadian tersebut, menjadikan penasaran posisi LKPT itu, ada dimana? Apakah masih kuat atau lemah? Mengapa sempat terlewat pada kedua momen tersebut? Wa’allahu’ alam. []

 

Semarang, 29 Mei 2022

Ditulis di Rumah jam 08.30 – 08.45 Wib.

• Tuesday, May 31st, 2022

 

Jika Ilmu Ditolak di Masyarakat
Oleh Agung Kuswantoro

Menyebarkan ilmu, bukanlah hal yang mudah. Ada dua kemungkinan dalam menyebarkan ilmu, yaitu diterima dan ditolak. Kalau diterima ilmunya oleh masyarakat itu, Alhamdulillah. Tapi, kalau ditolak ilmunya oleh masyarakat, apa yang harus dilakukan?

Ada dua kemungkinan yang akan dilakukan yaitu: membentuk komunitas (kecil) dan menghindari masyarakat tersebut.

Untuk membentuk komunitas yang dibutuhkan adalah loyalitas/kesetiaan dan kesadaran (kepedulian) terhadap ilmu tersebut. Tidak membutuhkan orang yang banyak sebagai pengikut. Setiap pemahaman akan ilmu dan kemantapan hati dari orang yang akan menjadi sebuah komunitas.

Yang kedua, menghindar dari masyarakat. Langkah ini dilakukan, jika sudah tidak memungkinkan lagi untuk tinggal di masyarakat. Bisa jadi kondisi yang tidak memungkinkan untuk tinggal di masyarakat, seperti: diancam atau dianiaya lahir batin bagi penyebar ilmu. Bahasa sederhananya, kondisi ini adalah hijrah.

Jika Anda adalah ustad, kiai, guru, dosen, atau penyebar ilmu, maka bisa jadi kondisi penolakan sebuah ilmu akan terjadi. Dua pilihan di atas sebagai solusi. Namun, saya berharap hal ini tidak terjadi. Masyarakat Anda menerima ilmu yang Anda sampaikan. Lalu, pertanyaan berikutnya: mengapa masyarakat menolak sebuah ilmu? Besok, kita akan bahas lagi ya?

Bersambung.

Semarang, 28 Mei 2022
Ditulis di Gedung Kearsipan UNNES lantai 1 pukul 06.30 – 06.45 Wib.

• Tuesday, May 31st, 2022

Administrator >< Tenaga Administrasi

Oleh Agung Kuswantoro

 

 

Berita Kompas Jumat (13 Mei 2022) yang berjudul “Bukan Sekadar Mencari Administrator” (https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/05/12/bukan-sekadar-mencari-administrator) menjadikan berpikir bahwa belajar ilmu administrasi itu sangat luas. Saya lulusan jurusan pendidikan ekonomi administrasi perkantoran.

 

Profesi saya sebagai pengajar. Saat awal mengajar, saya selalu menekankan bahwa Anda (baca: mahasiswa) adalah calon pemimpin. Pemimpin itulah Anda. Dalam administrasi itu ada kegiatan mengatur/menata/mengelola suatu tujuan yang minimal dilakukan dua orang.

 

Saya termasuk orang yang menolak istilah “tenaga
admin atau “biaya” administrasi. Mengapa? Kata administrasi yang melekat dalam kata “tenaga” dan “biaya”, makna administrasi menjadi kecil. Padahal, administrasi itu bermakna luas (Henry Fayol, 1841)

 

Dengan adanya judul yang ditampilkan Kompas, menjadikan saya “melek” akan makna administrasi. Kompas memang tepat mengambil judul tersebut, karena berkaitan dengan pemimpin kepala daerah.

 

Gunakanlah kata administrasi dengan tepat. Lebih  baik, pilih makna administrasi bermakna luas, bukan bermakna sempit. Administrator-lah yang benar, bukan “tenaga” admin, siapakah administrator itu? Semoga, Anda. Amin.

 

Semarang, 22 Mei 2022

Ditulis di Rumah jam 19.00 – 19.20 Wib.

 

• Sunday, May 29th, 2022

Kesalahan Peserta UTBK
Oleh Agung Kuswantoro

Beberapa hari ini saya menemani panitia UTBK di gedung Kearsipan UNNES. Saya menemukan kesalahan yang dilakukan oleh peserta diantaranya: salah hari, salah sesi, salah tanggal ujian, memakai kaos, tidak mencetak kartu peserta/surat keterangan lulus, dan memakai sandal.

Kesalahan kecil berdampak kepanikan dan ketidaktenangan batin peserta. Mengapa? Karena, mereka akan mengurus atas kekurangan dari apa yang sudah disyaratkan. Biasanya ada yang menangis saat mengetahui kesalahannya. Misal: kesalahan tanggal yang sudah lewat, ia baru menyadari saat masuk ke ruangan. Saat keluar ruangan, ia menangis.

Kadang melihat peserta menangis dan mencari kekurangan persyaratan yang dialami peserta, saya melihatnya kasihan. Namun, perbuatan untuk melengkapi kekurangan berkas adalah proses menuju kebaikan. Tak apalah, menurut saya, karena kesuksesan harus diraih dengan sebuah usaha. Sukses untuk Anda ya? Semoga tidak terjadi di lain kehidupan berikutnya dalam kekurangan berkas. Amin. []

Semarang, 28 Mei 2022
Ditulis di Rumah jam 08.15 – 08.30 Wib.

• Saturday, May 28th, 2022

Literasi dengan Cara Baca al-Qur’an, Kitab, Buku, Jurnal dan Koran Lalu Menulis

Oleh Agung Kuswantoro

 

Tiap hari minimal, saya membaca al-Qur’an, kitab, jurnal, dan koran. Biasanya al-Qur’an dibaca tengah malam. Sedangkan kitab, buku, jurnal, dan koran membacanya saat siang hingga malam hari.

 

Dalam teknik membaca, saya memakai strategi “cepat” membaca. Memang butuh keterampilan “khusus” agar bisa membaca dengan cepat.

 

Ada hal yang tidak bisa saya membaca dengan strategi “cepat”, yaitu membaca al-Qur’an, kitab (kuning), dan jurnal. Dimana, ketiga sumber literasi (al-Qur’an), kitab (kuning), dan jurnal harus diterjemahkan/diartikan dan ditafsiri. Mengapa? Ketiga sumber literasi menggunakan bahasa Arab dan Inggris dengan kaidah ketatabahasaan yang baik.

 

Biasanya usai membaca saya “mengikat” dengan menulis. Menulis dari yang saya baca. Jadi, urutannya adalah membaca, baru menulis. Bukan, menulis kemudian membaca. Karena, menulis adalah butuh sumber. Menulis, tidak sekadar (asal) menulis.

 

Memang harus menyempatkan waktu untuk membaca bagi saya. Karena, dengan membaca pikiran menjadi hidup. Dengan berpikir, saya bisa merenung, lalu menuliskan dari apa yang saya pikir. Dengan cara seperti ini, saya merasa hidup. Harapannya, saya memiliki karya berupa buku atau kitab yang bisa digunakan/dibaca untuk anak, santri, siswa, mahasiswa, dan orang lain/masyarakat. Senang rasanya, jika mereka akan membaca karya saya kelak. Semoga. Amin. [].

 

Semarang, 22 Mei 2022

Ditulis di Rumah jam 18.30 – 18.45 Wib.

 

 

• Friday, May 27th, 2022

 

Kompas: Penyebar Virus Literasi
Oleh Agung Kuswantoro

Kompas adalah koran nasional penyebar “virus” literasi (baca: kegiatan baca-tulis). Koran ini menyuguhkan analisis yang tajam dengan data dan bagan/chart, laporan literasi (perpustakaan & literasi digital) dan sosok literasi.

Ada beberapa judul berita selama sepekan yang saya tulis dan disimpan mengenai literasi di Kompas yaitu: “Warastuti Any Anggorowati: Memupuk Literasi di Jelita” (Jum’at, 10 Mei 2022, halaman 16); “Buku dan Budaya Bali” (Sabtu 14 Mei 2022, halaman 1); “Perpustakaan Bermigrasi ke Digital” (Jumat 20 Mei 2022, halaman 5); “Yulianto: Menebar Benih Minat Baca Buku” (Selasa 17 Mei 2022); dan “Manuskrip Kuno Didigitalisasi” (Rabu, 25 Mei 2022)

Melalui Kompas diharapkan membangun “budaya baca” dengan rublik-rublik/bagian-bagian yang menarik yang disajikan untuk pembaca. Tidak semua Koran bisa menyajikan sebuah pesan literasi.

Ditambah lagi, penggunaan Bahasa Indonesia dalam Kompas selalu menggunakan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) sehingga masyarakat menjadi tahu/paham kata Bahasa Indonesia yang benar. Misal: sekadar bukan sekedar.

Terima kasih Kompas atas “virus” literasinya, semoga memberikan dampak kebaikan dalam bidang budaya baca-tulis untuk masyarakat Indonesia. Amin.[]

Semarang, 23 Mei 2022
Ditulis di Rumah jam 05.00 – 05.10 Wib.