Archive for the Category ◊ Uncategorized ◊

• Friday, February 25th, 2022

Nikah (4): Memandang

 

Lanjutan kajian kitab Kifayatul Akhyar bab Nikah yang kemarin: https://agungbae123.wordpress.com/2022/02/12/nikah-3-hukum-nikah/

 

Pandangan mata orang laki-laki terhadap perempuan dan perempuan terhadap laki-laki terbagi menjadi 7 macam, yaitu:

 

  1. Memandang orang lain tanpa ada keperluan.
  2. Memandang kepada muhrim.
  3. Memandang kepada istri (suami) dan hambanya.
  4. Memandang dengan maksud untuk menikah.
  5. Memandang untuk mengobati.
  6. Memandang untuk kesaksian atau pergaulan.
  7. Memandang kepada budak untuk dibelinya.

 

Memandang orang lain tanpa ada keperluan

Laki-laki dan perempuan yang sudah baligh dalam saling memandangnya ada 2 kemungkinan, yaitu: karena ada keperluan dan tidak ada keperluan.

 

Laki-laki memandang perempuan (lain) ada dua macam, yaitu:

  1. Laki-laki yang bersyahwat
  2. Laki-laki yang tidak bersyahwat

 

Adapun laki-laki yang bersyahwat memandang perempuan (aurat) tanpa ada keperluan mungkin mendatangkan fitnah dan mungkin tidak. Pandangan yang akan membawa fitnah hukumnya haram, baik memandang pada aurat, tapak tangan, atau wajahnya (perempuan).

 

Tetapi kalau pandangan mata itu tidak membawa fitnah, hukumnya diperselisihkan, dan yang benar: haram. Demikian pendapat Ishtakhary, Abu Ali Aththaabary, dan lain-lain. Mereka berpendapat bahwa : “memandang”  itu mengakibatkan fitnah, menggerakkan syahwat, dan agama menutup pintu (maksiyat) itu jangan sampai situasi menjadi terlanjur sebagaimana diharamkannya bercumbu rayu dengan orang lain. Pendapat ini berdasar firman Allah: ‘Qul Lilmu’miniina Yaghudldluu Min Abshaari Him Wa Yahfadhuu Furuujahum”. Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya” (Qs: an-Nur: 30).

 

 

Bersambung.

 

Semarang, 26 Februari 2022

• Tuesday, February 22nd, 2022

Menjaga Hati (2): Memikrajkan Kalbu dengan Ibadah Malam

Oleh Nasaruddin Umar

 

Alhamdulillah kita semua masih diberi panjang umur, sehat, dan diberi kelancaran dalam urusan kehidupan. Mari saatnya mengaji agar hidup lebih berarti. Ada dua kajian yang biasa saya bagi yaitu kajian fiqih (bab nikah) dan kajian akhlak (tentang hati).

 

Untuk kajian ini bertema akhlak. Masih melanjutkan kemarin yaitu menjaga hati. Saya kaitkan dengan bulan Rajab, dimana ada peristiwa Isra Mikraj. Pemahaman kita selama ini Mikraj diartikan sebagai perjalanan lahir dan batin Nabi Saw. dari Masjidil Haram ke Sidratul Muntaha setelah transit di Masjid al-Aqsha, sebagaimana disebutkan dalam ayat: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sungguh Dialah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui”. (QS. Al-Isra’: 1)

 

Dalam kaidah Ulumul Qur’an dikatakan, apabila ada satu surah atau ayat yang diawali dengan kata subhana atau tabaraka yang berarti “Maha Suci Tuhan”, maka ayat atau surah itu menunjukkan adanya keajaiban didalamnya, yang tidak cukup hanya dianalisis secara rasional tetapi dibutuhkan penghayatan dan perenungan lebih mendalam.

 

Banyak hal yang menarik untuk dikaji mengenai keberadaan ayat tersebut di atas. Selain diawali dengan kata subhana, ayat ini juga kemudian dipilih menjadi nama surah (surah alIsra’). Surah al-Isra’ diapit oleh dua surat yang serasi yaitu surah an-Nahl dan surah al-Kahf. Surah an-Nahl sering diangkat sebagai simbol kecerdasan rasional, karena didalamnya diungkapkan menghasilkan madu sebagai obat mujarab untuk berbagai penyakit yang masih menyimpan berbagai misteri didalamnya. Sedangkan surah al-Kahf, yang biasa disebut surah kecerdasan spiritual, karena didalamnya digambarkan berbagai cerita yang menantang keyakinan dan spiritualitas kita, misalnya kisah Nabi Khidhir dan Nabi Musa yang penuh dengan tantangan.

 

Sementara surah al-Isra’ sendiri sering dijadikan simbol kecerdasan emosional karena didalamnya  diceritakan pengaruh kematangan emosional dan prestasi puncak seorang hamba. Itulah sebabnya ketiga surah yang menempati pertengahan bagian al-Qur’an biasa disebut tiga surah serangkai, yaitu surah Intellectual Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ), dan Spiritual Quotient (SQ).

 

Surah al-Isra’ sering dianggap sebagai jembatan (wasilah/bringing) yang menjembatani antara kecerdasan rasional dan kecerdasam spiritual. Peristiwa Isra ialah perjalanan horizontal dari Baitullah, Mekkah ke Masjid Al Aqsha, Palestina, dan Mikraj ialah perjalanan vertikal dari Masjid Aqsha ke Sidratil Muntaha.

 

Perjalanan Isra’ mungkin masih bisa dijelaskan dengan logika dengan menghubungkannya dengan kendaraan supersonic yang berkekuatan super cepat, namun Mi’raj hanya bisa didekati dengan iman.

 

Allah Swt. memperjalankan hamba-Nya di malam hari (lailan), bukan di siang hari (naharan). Kata lailan mempunyai beberapa makna. Ada makna literal berarti malam,  lawan dari siang. Ada makna alegoris seperti gelap atau kegelapan, kesunyian, keheningan, dan kesyahduan; ada makna anagogis (spiritual) seperti kekhusyukan (khusyu’), kepasrahan (tawakkal), kedekatan (taqarrub) kepada Ilahi. Dalam syair-syair klasik Arab, ungkapan lailah lebih banyak digunakan makna alegoris (majaz) ketimbang makna literalnya, seperti ungkapa syair seorang pengantin baru, berikut ini:

 

Wahai malam bertambah penjanglah, wahai tidur menyingkirlah

Wahai Subuh berhentilah jangan lagi terbit.

 

Kata lail dalam syair di atas, berarti: kesyahduan, keindahan, kenikmatan, kehangatan, ketenangan, kerinduan, keakraban, sebagaima dirasakan oleh para pengantin baru, yang menyesali pendeknya malam.

 

Dalam syair-syair sufistik juga lebih banyak menekankan makna anagogis kata lail. Para sufi lebih banyak menghabiskan waktu malamnya untuk mendaki (tarraqi) menuju Tuhan. Mereka berterima kasih kepada lail (malam) yang selalu menemani kesendirian mereka. Perhatikan ungkapan Imam Syafi’i berikut: “Dan barangsiapa yang mendambakan martabat utama banyaklah berjaga di waktu malam”.

 

Kata al-laydh disini berarti keakraban dan kerinduan antara hamba dan Tuhannya. Malam hari memang menampilkan kegelapan, tetapi bukankah kegelapan malam itu menjanjikan keheningan, kesenduan, kepasrahan, kesyahduan, kerinduan, ketenangan, dan kekhusyukan?

 

Suasana batin seperti ini amat sulit diwujudkan di siang hari. Seolah-olah yang lebih aktif disiang hari ialah unsur rasionalitas dan maskulinitas kita sebagai manusia dan ini mendukung kapasitas manusia sebagai khalifah di muka bumi. Sedangkan di malam hari yang lebih aktif ialah unsur emosional-spiritual dan femininitas kita dan ini mendukung kapasitas kita sebagai hamba (abid). Dua kapasitas manusia ini menjadi penentu keberhasilan hidup seseorang. Sehebat apapun prestasi sosial seseorang tetapi gagal membangun dirinya sebagai hamba yang baik maka itu sia-sia. Hal yang sama juga terjadi pada sebaliknya. Kekuatan malam hari untuk memikrajkan kalbu ditandai dengan penetapan waktu shalat itu lebih banyak di malam hari. Hanya shalat dhuhur dan asar di siang hari, selebihnya di malam hari seperti shalat maghrib, isya, tahajud, witir, tarawih, fajar, dan  subuh. Malam hari memiliki semacam The Power of Night yang bisa memikrajkan kalbu setiap orang.

 

Lalu, setelah Allah Swt menceritakan peristiwa Isra’ Mikraj maka Allah Swt. menjelaskan, “Li nuriyahu min ayatina (agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda Kami)”. Seolah-olah Allah Swt. akan menjelaskan bahwa salah satu tujuan atau inti Isra’ Mikraj ialah untuk melihat atau menyaksikan tanda-tanda (ayat)-Nya. Ayat dan ‘alam di dalam Al-Qur’an sering disinonimkan artinya kedalam Bahasa Indonesia yaitu “tanda”. Orang-orang yang belum pernah mikraj seoalah-olah sulit menyaksikan tanda-tanda Allah Swt. dalam pandangan tafsir Isyari, melihat tanda Tuhan tidak menyaksikan diri-Nya bertajalli di setiap sesuatu (al’ayan).

 

Jika seseorang melihat pohon hanya sebatas pohon, gunung sebatas gunung, langit sebatas langit, bulan sebatas bulan, alam sebatas alam, tetapi tidak mampu menghadirkan “wajah” Tuhan dibaliknya, maka sesungguhnya orang itu masih berada dalam tahap Iqra’ pertama. Jika seseorang sudah mampu melahirkan kesadaran akan keberadaan Tuhan dibalik segala sesuatu maka orang itu, maka ia sudah menembus Iqra’ ketiga atau keempat.

 

Yang tak kalah penting ialah ayat Isra Mikraj ini diakhiri dengan “Innahu huwas-sami’ul-bashir”. Allah Swt. menegaskan dirinya Maha Mendengar dan Maha Melihat. Potongan terakhir ayat ini mengingatkan kita dalam sebuah hadist Nabi Saw. yang menyatakan bahwa orang yang sudah sampai kepada maqam tertentu dapat meminjam pendengaran (as-samah) dan penglihatan (al-bashirah) Allah untuk mendengar dan untuk melihat.

 

Orang yang mampu menggunakan pendengaran dan penglihatan Tuhan dalam pandangan tasawuf disebut sudah berada dalam tingkat al-Qurb an-Nawafil. Maqam yang paling tinggi bagi seorang hamba ialah orang yang sudah mampu menggunakan telinga (al-udzun) Allah untuk mendengar dan mata (al-‘ain) Allah untuk melihat. Maqam ini disebut al-Qurb al-Fara’idh.

 

Jika seseorang mampu menggunakan pendengaran dan penglihatan, apalagi telinga dan mata Allah Swt untuk mendengar dan melihat, maka sudah barang tentu yang bersangkutan sudah tidak lagi memiliki alam gaib. Ini juga menunjukkan bahwa tipis tebalnya alam gaib tidak sama bagi setiap orang.

 

Semakin tinggi maqam seseorang semakin transparan alam gaib itu, dan semakin rendah maqam maka semakin tebal alam gaib itu. Ajakan Allah Swt. untuk mikraj sesungguhnya untuk membuka rahasia kepada hamba-Nya. Mikraj dapat dilakukan antara lain dengan shalat, sebagaimana dikatakan dalam hadist, “ash-Shalat mikraj al-mu’minin (Shalat itu mikrajnya orang-orang yang beriman).”

 

Orang-orang yang tidak pernah naik ke atas (mikraj, taraqqi) maka mereka akan terkurung didalam tempurung bumi, tidak pernah menyaksikan etalase yang dipamerkan Allah Swt. di langit. Orang-orang yang terkungkung di perut bumi hanya akan menyaksikan segala keindahan itu hanya yang ada di bumi atau di dunia ini. Mereka inilah yang akan mengejar bayang-bayang dunia yang tidak pernah di raihnya. Mereka ini juga yang sering menghalalkan segala cara untuk meraih cita-citanya. Mereka yang rela membangun istana di atas puing-puing kehancuran orang lain sambil terbahak-bahak. Berbeda dengan orang-orang yang sering menyaksikan langit, pandangannya tidak lagi terpanah kepada daya tarik yang ditampilkan bumi dan dunia. Karena sudah sering menyaksikan keindahan etalase langit. Berbahagialah orang-orang yang selalu mikraj, tentu tidak lagi akan diperbudak oleh dunia dan materi. Dalam kalam hikmahnya Ibnu “Atha’illah berpesan: “Janganlah beranjak sekadar dari ciptaan menuju ciptaan lain, hingga engkau tampak seperti kuda penggiling: Berputar terus sehingga tujuannya adalah tempat pemberangkatanntya itu. Tapi beranjaklah dari ciptaan menuju Sang Maha Pencipta”.

 

Cara pandang kita terhadap ayat 1 surah al-Isra’ masih lebih mnenekankan aspek denotatif-eksoterik. Terbukti peringatan isra’ Mikraj yang secara rutin diperingati dan dirayakan dengan tanggal merah yang meliburkan seluruh sekolah, kampus, dan kantor-kantor secara nasional. Isra’ Mikraj lebih diperkenalkan sebagai peristiwa makrokosmos berupa perjalanan Nabi Saw. dari Masjidil Haram ke Masjidil al-Aqsha, Palestina, sampai ke Sidratil Muntaha, kemudian Rasulullah Saw. pulang membawa oleh-oleh berupa shalat lima waktu. Pembahasan ini sama sekali tidak salah, namun tidak ada salahnya jika Isra’ Mikraj juga dipahami sebagai upaya untuk meng-upgrade  kalbu kita yang tadinya kasar menjadi lembut dan yang tadinya selalu berorientasi kepada hal-hal duniawi ke hal-hal spiritual ukhrawi. Wallahu ‘alam.

 

Semarang, 21 Februari 2022

 

Sumber referensi:

al-Quranul Karim.

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. 2021. Menjalani Hidup Salikin. Jakarta: Grasindo PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

• Saturday, February 12th, 2022

Nikah (3): Hukum Nikah

Lanjutan kajian kitab Kifayatul Akhyar bab Nikah yang kemarin: https://agungbae123.wordpress.com/2022/01/29/nikah-2-siap-dan-tidak-belum-siap-menikah/

 

Dalil yang dipakai dasar untuk tidak mewajibkan, firman Allah: “fangkihuu maa thaaba lakum minannisaa-i”.Artinya: “Maka kawinlah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi”. (an-Nisa’: 3)

 

Ayat tersebut mengandung kebolehan memilih, sekiranya wajib, mesti tidak boleh memilih. Orang yang sudah ingin sekali menikah, tetapi belum mempunyai bekal, lebih baik menikah, mudah-mudahan Allah memberinya kecukupan (kekayaan).

 

Orang yang tidak memerlukan nikah ada 2 macam, yaitu: (1) sebab tidak mempunyai bekal; dan (2) sebab keadaan jasmani. Sebab jasmani seperti: sakit-sakit terus, ada anggota badan yang tidak berfungsi sehingga tidak sehat dan lain-lain. Orang  yang demikian, makruh untuk menikah. Wallahu ‘alam.

 

Bersambung

Semarang, 13 Februari 2022

• Saturday, February 05th, 2022

Menjaga hati (1): Meninggalkan Beban Kalbu/Hati

Oleh Agung Kuswantoro

 

Setelah pembahasan “Menata Diri” – dengan sembilan judul – lalu, kita akan belajar bersama dengan bab selanjutnya yaitu, menjaga hati. Dalam tema ini ada dua belas judul. Untuk judul pertama yaitu meninggalkan beban kalbu/hati.

 

“Beban” hati yang berlebihan itu harus dikurangi karena akan berdampak negatif, seperti stress dan strok – yang pada akhirnya – wafat lebih awal dari waktu yang diperkirakan/diharapkan.

 

Agama apapun mengajarkan dan mengajak umatnya untuk meninggalkan kalbunya yang berlebihan. Khususnya dalam Islam “melepaskan beban-beban” yang mengggunung it, bagaikan bulu yang beterbangan. Firman Allah: “Dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan”. (QS. Al-Qori’ah:4).

 

Para ahli manajemen berusaha mencari berbagai macam solusi dalam mengatasi kelebihan beban hati ini, diantaranya: mencari dan memilih tempat yang tenang; mengistirahatkan daban, pikiran, dan jiwa di dalam suasana zona nyaman; kalau perlu memutar lagu-lagu instrumentalia atau musik-musik meditasi – spiritual, memejamkan mata tetapi tidak sampai tidur.

 

Kita merasakan lembutnya petikan suara melodi, atau menikmati rekaman nyanyian burung, suara gemuruh ombak, percikan air mancur, atau nyanyian burung-burung malam.

 

Bayangkan sendiri kita berada di sebuah taman bunga charry blasem yang sedang mekar di lembang ngarai, atau membayangkan kita berada di sela-sela-sela rindangnya pepohonan di sebuah bukit  hijau, atau sedang menyaksikan matahari sore sedang tenggelam di peraduannya disebuah pulau terpencil. Imaginasi atau khayalan seperti ini terkadang diperlukan untuk mengecoh pikiran, perasaan, dan kalbu kita yang sedang galau.

 

Rencanakan relaksasi di sela-sela tugas, usahakan menghindari kebisingan, pecahkanlah persoalannya tahap demi tahap, tampakkan keindahan dan dekorasi menawan di sekitar kita, jangan terlalu serius bekerja sepanjang hari dan sepanjang masa, jauhilah hal-hal yang berlebihan, khususnya alkohol dan obat-obatan penenang, dan tentu yang tak kalah pentingnya seringlah tersenyum dan tertawa.

 

Berusahalah untuk memaafkan diri sendiri dengan mengingat, diri kita memang bukan malaikat, lupakanlah berbagai kekecewaan yang menumpuk di kalbu dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan (tawakal).

 

Kita yakinkan pada diri kita bahwa sesungguhnya Tuhan lebih menonjol sebagai Maha Pengampun (ar-Rahman) dan Maha Penyayang (ar-Rahim) dibanting Maha Pendendam (al-Muntaqim) dan Maha Penghukum (adh-Dharr). Dengan air mata tobat yang kita persembahkan kepada-Nya diharapkan bisa memadamkan api neraka Jahannam, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw:  “Sesungguhnya sehala sesuatu ada ukuran dan timbangannya, kecuali air mata, sebab ia bisa memadamkan lautan api neraka”. (HR. al-Baihaqi)

 

Air mata juga mengangkat azab. Pernah suatu ketika Sa’d ibn Ubadah sakit parah, Rasulullah Saw. pun menjenguknya bersama Abdurrahman ibn Auf, Sa’d ibn Abi Waqash, dan Abdullah ibn Sa’d mas’ud. Ketika Nabi Muhammad Saw, masuk menemuinya, Nabi Saw. melihat Sa’d ibn Ubadah dalam keadaan sakaratul maut. “Apakah sudah meninggal?” Tanya Nabi Saw. Para sahabat yang ada menjawab, “Belum, wahai Rasulullah,” Maka Nabi Saw. menangis, orang-orang pun ikut menangis melihat Nabi Saw. menangis. Lalu, Rasulullah Saw. bersabda, “Dengarkanlah  oleh kalian semua, sesungguhnya Allah tidak akan mengazab air mata yang jatuh, juga hati yang remuk. Tapi Dia akan mengazab ini (sambil menunjuk lidah beliau.”

 

Air mata tidak akan diazab sebab air mata adalah rahmat Allah Swt. Sebagaimana kisah bahwa suatu ketika Zainab mengirim utusan kepada Nabi Saw. memberitahu akan lelakinya dalam keadaaan sakaratul maut. Maka Nabi Saw. berkata pada utusan itu, “Kembalilah padanya (Zainab) dan katakana, Allah memiliki apa yang Dia ambil dan apa yang Dia beri dan ajal segala sesuatu ditentukan oleh-Nya, suruh dia bersabar dan muhasabah.” Tidak lama kemudian utusan ini kembali lagi menghadap Nabi Saw. mengatakan bahwa Zainab mengharap betul kehadirannya. Maka Nabi Saw. datang menuju rumah Zainab didampingi Sa’d ibn Ubadah dan Mu’adz ibn Jalal. Bayi itu diangkat diserahkan pada Nabi Saw. dalam keadaan nyawa ditenggorokan. Maka tumpahlah air mata Nabi Saw. Sehingga Sa’d bertanya kepada Nabi Saw. “Air mata apa ini, wahai Rasulullah?” Nabi Saw. menjawab, “Ini adalah air mata rahmat yang Allah anugerahkan ke dalam hati hamba-hamba-Nya.”

 

Maka pasrahkan jiwa raga ini kepada Allah Swt. juga seluruh harta kita. Ucapkan rasa syukur dan terima kasih di mulut dan di dalam hati atas kesadaran yang dikaruniakan kepada kita sebelum ajal menjemput.

 

Rasakan kita seolah-olah menjadi sosok manusia baru, putih cemerlang, dan mengesankan bagi semua.  Pada akhirnya, kita meninggalkan latihan atau meditasi ini dengan lafal syukur dan tahmid, Alhamdulillah wasy-syukru lillah kepada-Nya atas segala karunia yang baru saja diberikan kepada kita. Kita meninggalkan padepokan latihan dengan niat dan baik sangka kepada Allah Swt. Yang Maha Pemurah, kalau perlu bertekad untuk mengulangi pengalaman serupa di masa-masa mendatang.

 

Seusai pelatihan (riyadhah) kita belajar mengembangkan hobi dan kebiasaan produktif kita kembali. Sesudah itu buatlah planning untuk mengatur refreshing, kalau perlu bersama keluarga, atau dalam kesempatan lain retreat bersama segenap karyawan tanpa kecuali di kantor, khusus yang beragama Islam, lebih bagus lagi jika ditradisikan untuk berpuasa sunah Senin dan Kamis atau puasa-puasa sunah lainnya. Biasakan diri ke masjid untuk shalat berjamaah, mengamalkan sunah-sunah rawatib, baik qabliyyah maupun ba’diyyah. Wallahu ‘alam.

 

Semarang, 6 Februari 2022

Rujukan referensi: Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. 2021. Menjalani Hidup Salikin. Jakarta: Grasindo PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 

• Saturday, January 29th, 2022

Nikah (2): Siap dan Tidak/Belum Siap Menikah

 

Orang dalam menghadapi masalah nikah ada dua macam, yaitu: orang yang memerlukan nikah dan orang yang tidak memerlukan nikah.

 

Orang yang memerlukan nikah dibagi dua, yaitu: orang yang sudah siap (bekal) nikah dan orang yang belum siap (bekal) untuk nikah.

 

Orang yang sudah siap (bekal) untuk nikah disunatkan untuk melakukannya. Sabda Nabi Saw: “Yaa Ma’syarasy Syabaab Manistathaa’a Minkumul Baa-ah Fal Yatazawwaj – Fainnahu Aghadl Dlu Lilbashari Wa Ahshanu Lilfarji Wamal Lam Yastathi’ Fa’alaihi Bisshaumi Fainnahu Lahu Wi Jaa.”

 

Artinya: “Wahai sekalian pemuda, apabila kamu sudah mempunyai bekal maka kawinlah : sesungguhnya (kawin) bisa memejamkan mata, dan memelihara kemaluan, siapa yang belum sanggup (mempunyai bekal) maka puasalah, sebagai benteng (perisai)”.

(HR. Jama’ah)

 

Kata “Baa-ah” artinya: bekal, dan yang dimaksud ialah rumah (tempat tinggal). Sedang orang yang belum sanggup, belum mempunyai bekal, disarankan agar berpuasa, dengan puasa, bisa menjaga diri terhindar dari kejahatan mata dan kemaluan.

 

Menurut Imam Syafi’i, perintah nikah tersebut berarti sunat. Menurut Imam Ahmad, nikah tersebut menjadi wajib untuk orang yang merasa tidak dapat menahan diri dari berbuat jahat (zina).

 

 

Bersambung.

 

Pemalang, 30 Januari 2022

Sumber: Kitab Kifayatul Akhyar Bab Nikah.

• Thursday, January 27th, 2022

Menata Diri (9)/Edisi Terakhir: Merasa Di-CCTV Oleh Allah Swt

Oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA.

 

Sikap mawas diri atau pengawasan melekat (muraqabah) merupakan salah satu ciri kalbu yang sehat. Ketika kita merasa selalu diawasi Allah Swt. dan malaikatnya yang ditempatkan didalam diri kita, saat itu kita sadar untuk mengontrol diri dengan mengawasi diri kita agar tidak melakukan sesuatu yang tidak wajar. Kesadaran yang tumbuh didalam kalbu karena merasa diawasi oleh Allah Swt. perlu dipertahankan, guna tujuan dan perjalanan hidup kita tercapai. Betapa tidak, CCTV Tuhan pasti jauh lebih canggih daripada ciptaan manusia.

 

Pemandangan pada hari kiamat: ketika orang ditanya tentang dosa dan kejahatannya di dunia, mereka berusaha menyangkal. Namun, penyangkalan tidak ada manfaatnya karena anggota badan yang pernah terlibat melakukan perbuatan itu berteriak memberikan kesaksian dan pengakuan: “Akulah yang melakukannya”, Misalnya, kaki mengatakan, “Aku yang melangkahkan kaki ke tempat maksiat itu”. Tangan mengungkapkan, “Aku yang memegang atau menandatanganinya,” Tenggorokan mengatakan, “Aku yang menelannya,” Perut berteriak, “Aku yang menampungnya,” dan seterusnya.

 

Ini semua menggambarkan kepada kita bahwa tidak ada kemungkinan kita bisa menyembunyikan kesalahan di hari Kiamat. Ada ulama yang menggambarkan bahwa darah yang mengalir dalam tubuh kita, tidak lain adalah tinta yang mencatat semua perbuatan kita, begitu seseorang meninggal maka darah tubuhnya lenyap entah kemana.

 

Hal tersebut membuktikan bahwa Allah Swt.  selalu mengintai dan mengawasi secara aktif seluruh perbuatan hamba-Nya. Ini sesuai dengan hadist Nabi Saw. ketika suatu saat ia ditanya Jibril tentang pengertian ihsan. Nabi Saw. Menjawab: “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Kalau engkau tidak melihat-Nya, yakinlah bahwa engkau dilihat oleh-Nya (HR. al-Bukhari dan Muslim).

 

Dalam hadist lain disebutkan, “Kalau engkau tidak melihat Allah, yakinlah engkau dilihat oleh-Nya.” Ini menunjukkan tentang muraqabah. Dalam sebuah ayat Allah swt. Berfirman:“Sesungguhnya Allah selalu mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa’[4]: 1)

 

Jika seorang hamba sudah tahaqquq dengan ayat ini maka ia telah merasakan maqam muraqabah. Ia merupakan maqam yang mulia, di mana pondasinya adalah ilmu dan hal. Dengan ilmu artinya hamba mengetahui bahwa Allah Swt. selalu mengawasi dirinya terhadap semua perbuatan yang dilakukannya, mendengar semua yang diucapkannya, bahkan apapun yang terbetik di dalam benaknya. Adapun hal adalah menetapnya pengetahuan ini dalam kesadaran hamba di dalam kalbunya. Sehingga kesadaran inilah yang dominan dan menguasai dirinya tanpa pernah lali.

 

Jika keduanya sudah membaur dalam diri maka buahnya adalah malu (al-haya) kepada Allah Swt. sehingga memastikan dengan sifat ini, hamba jauh dari segala bentuk kemaksiatan dan semangat dalam ibadah. Adapun mereka para murraqabin buah yang didapat dari keduanya adalah musyahadah. Dalam musyahadah ini buah yang didapat pertama adalah an ta’budallaha ka’annaka tarahu (menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya) kedua, buah yang didapat selanjutnya fa in lam takun tarahu (jika engkau telah tiada (fana) maka engkau akan melihat-Nya).

 

Menurut bahasa, muraqabah berarti murashadah, yaitu mengintai, hampir sama maknanya dengan pengawasan. Menurut istilah para ahli hakikat, muraqabah ialah seorang hamba yang senantiasa menyadari bahwa segala gerak-geriknya berada dalam pengawasan Allah Swt. Muraqabah juga sering diartikan dengan memelihara rahasia (hati) untuk selalu merasa diawasi oleh al-Haqq (Tuhan) dalam setiap gerak-geriknya. Pada hakikatnya muraqabah adalah  bentuk simpati Allah swt. kepada kita, tentang apa kekurangan dan kelebihan kita, benar tidak perbuatan kita, apakah sudah sesuai dengan ajaran yang telah dituntunkannya atau belum.

 

Muraqabah merupakan sumber segala kebaikan. Seseorang tidak akan sampai pada derajat muraqabah kecuali setelah mengadakan muhasabah (evaluasi) terhadap dirinya mengenai apa yang telah dilakukan pada masa lalu dan bagaimana memperbaiki ke depannya. Perbedaannya, muhasabah adalah introspeksi ke dalam, dari diri kita sendiri, menyaksikan diri kita sendiri melakukan apa. Sedangkan muraqabah lebih bersifat eksternal faktornya, penilaian dari luar diri kita, CCTV-nya Tuhan yang menyaksikan kita. Sehinga dalam muraqabah ini ketika melakukan sesuatu, seorang hamba sadar bahwa dirinya direkam.

 

Maka dampaknya kemudian hamba melakukan perbaikan dan koreksi atas perbuatannya dengan tobat jika ia melakukan dosa dan kesalahan. Jika yang dilakukan adalah kebajikan dan ketaatan maka muraqabah menjadi semangat baru untuk berbuat yang lebih baik.

 

Di kalangan ulama tasawuf mengartikan  muraqabah kepada Allah dalam segala lintasan pikirannya, Allah akan memeliharanya dalam segala tingkah lakunya. Ibn “Atha’illah mengatakan bahwa ketaatan yang paling utama adalah muraqabah kepada yang Haqq (Tuhan) sepanjang masa. Abu Hafsh (al-Haddad) pernah mewasiatkan kepada murid dan sahabatnya, Kalau engkau duduk bersama orang lain, jadilah penasihat terhadap diri dan hatimu, serta janganlah kamu sampai tertipu oleh perkumpulan mereka sebab mereka hanya bisa mengawasi lahiriahmu, sedang Allah mengawasi batinmu.”

 

Sebagian ahli hikmah berkata, “Merasa malulah kepada Allah sesui kedekatan dan pengetahuanmu kepada-Nya, persiapkanlah dirimu untuk dunia sesuai dengan kebutuhan tinggalmu di sana, taatilah Allah sesuai kebutuhanmu kepada-Nya, dan berterimakasihlah kepada-Nya sesuai nikmat yang dianugerahkan kepadamu.”Bukankah seluruh perbuatan-perbuatan kita direkam oleh Allah Swt.? sebagaimana firman-Nya:“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun niscaya Dia akan melihat. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar zarah pun niscaya Dia akan melihat.” (QS. Al-zalzalah [99]: 7-8).

 

Orang yang selalu sadar bahwa dirinya selalu dipantau oleh Allah Swt. maka orang ini tergolong muraqib (orang yang bermuraqabah) yang akan menempuh shirath al-mustaqim. Muraqib adalah orang ang sempurna takwanya, dosa sekecil zarahpun akan dihindari. Bahkan, sebagian yang ia anggap halal ia jauhi khawatir ternyata haram sehingga menjadi hijab. Abdullah ibn Mas’ud pernah berkata, “Orang mukmin melihat dosanya bagaikan gunung yang besar, sehingga takut menjatuhi dirinya. Sedangkan orang kafir melihat dosanya bagaikan lalat di hidung yang dapat terbang dengan usiran tangan.

 

Selain dengan muhasabah, agar kita senatiasa muraqabah yaitu dengan muhadharah artinya kita menghadirkan jiwa, menghadirkan perasaan, eling menghadirkan spiritual mood kita, sehingga suasana batin kita selalu hadir dihadapan Allah Swt. batinnya selalu basah dengan kedekatan (taqarub) pada Allah swt. dalam keadaan apapun dan di mana pun. Sehingga kita dengan sendirinya memiliki proteksi diri yang kuat, tidak mudah tergoda oleh siapapun dan keadaan yang bagaimanapun.

 

Orang yang senantiasa muraqabah akan selalu respons dengan pemberian Allah Swt., apabila diberi nikmat dia mengucap, “alhamdulillah,” apabila ditimpa musibah ia mengucap,”Inna lillah,” apabila melihat keajaiban ia mengucap, “Subhanallah,” semuanya ia kembalikan  kepada Allah Swt. orang yang senantiasa muraqabah setiap langkahnya teratur, terukur, setiap ucapannya berakhlak. Sedangkan, yang tidak mengindahkan tatakrama muraqabah akan sembrono, ceplas-ceplos, bahkan berpotensi menjadi racun di masyarakat.

 

Dengan demikian, sikap mawas diri yang biasa kita lakukan selain akan memberikan keuntungan duniawi, sudah pasti juga akan menjanjikan tempat yang istimewa di mata Allah Swt di akhirat kelak. Mawas diri tidak pernah mendatangkan penyesalan, sebaliknya kesemberonoan hiduplah yang paling banyak mendatangkan penyesalan.

 

Semarang, 28 Januari 2022

 

Dikutip dari buku: Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. 2021. Menjalani Hidup Salikin. Jakarta: Grasindo PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

 

• Thursday, January 27th, 2022
Semoga Mas Agung (gambar tersebut) yang berusia 8 tahun selalu sehat selalu. Semoga kelak Mas Agung menjadi orang yang sukses.
Salam buat nenek yang sedang sakit, sehingga mas Agung berangkat memulung sendiri. Salam buat kedua orang tua Mas Agung yang sudah meninggal dunia.
Selamat berjuang di “permainan” kehidupan ini. Kata orang: susah tak selamanya susah. Senang tak selamanya senang.
Hari ini atau saat ini, Mas Agung tidak sekolah/putus sekolah itu tidak apa-apa. Karena, Mas Agung sudah “bersekolah” di kehidupan dunia yang penuh dengan ribuan kompetensi.
Di saat teman yang seumuran pergi sekolah, Mas Agung sudah praktik mencari uang dengan memulung untuk beli obat buat neneknya.
Andaikan kita dekat, aku ingin mengajakmu makan di warteg dan bawakan beban yang di pundakmu itu. Rasanya, tak pantas beban yang melekat di pundakmu. Mungkin, seharusnya tas sekolah yang ada di pundakmu. Terlebih, itu jam sekolah.
Punya labolatorium yang berisi komputer dan tablet yang canggih sebagai media, rasanya terlalu “jauh”. Cukup komunikasi yang baik secara langsung itu sudah sangat baik sekali. Medianya, sederhana saja yaitu “perhatian” saja.
Guru Mas Agung adalah orang yang mau memperhatikan saja. Tak kepikiran guru harus memiliki laboratorium. Laboratoriumnya adalah alam raya ini.
Pakai masker dan jaga jarak, hilang dalam “kamus” kehidupanmu. Yang penting bisa hidup saja. Makanan sehat dan bergizi, bisa jadi “lenyap” dalam pikiranmu. Asal, makan tiga kali dalam sehari saja, sudah Alhamdulillah.
Lalu, kapan jam bermainmu? mungkin sudah tidak ada. Karena, Mas Agung sudah sibuk dalam memulung.
Mari, doakan Mas Agung dan Mas Agung-Mas Agung yang lain–senasib–dengannya. Anak yatim piatu ada di sekitar kita. Bisa jadi, yatim kasih sayang. Yatim, tak harus kehilangan orang tua.
Semoga Allah mendengar bisikan hati dari doamu, Mas Agung. Amin.
Semarang, 27 Januari 2022
Keterangan gambar: kompas edisi, 25 Januari 2022 halaman 1
Mungkin gambar 3 orang, orang berdiri, luar ruangan dan teks yang menyatakan 'SELASA 25 JANUARI 2022 Memulung untuk Bertahan Hidup www.kompas.id FAmO Kepa Jadv Akh Pemungutan Februari 2024 Juni mendatar JAKARTA, KOMPAS setelah kati Kepastian jadwal penundaan Agung (8) menyusuri kawasan Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan untuk memulung kardus botol minum kemasan Senin /2022). Sejak ditinggal pergi dan ayahnya yang meninggal Agung yang bersekolah ingga bersama neneknya Untuk bertahan hidup. neneknya bekerja sebagai pemulung Karena hari tu neneknya sakit, ia berangkat seorang diri oulan DM psansi emilu,'
• Sunday, January 23rd, 2022

Nikah (1)

 

Definisi

Nikah menurut bahasa artinya: mengumpulkan. Menurut syara’ artinya: akad yang memenuhi rukun-rukun serta syarat (yang telah tertentu) untuk berkumpul.

 

Firman Alah: “Fangkihuu Maa Thaaba Lakum Minannisaa”.

Artinya: “Maka nikahilah wnaita-wanita yang kamu senangi” (An-Nisa’: 3)

 

Sabda Nabi saw: “Ingkihuul Waluud”. Artinya: “Nikahlah dengan perempuan yang banyak anak (keturunan banyak anak)”.

 

Hukum Nikah

Hukum nikah sangat erat hubungannya dengan mukalaf (pelakunya). Kalau ia (mukalaf) sudah memerlukan, maka hukumnya wajib. Kalau ia (mukalaf) tidak mampu, maka hukumnya makruh. Kalau ia berniat menyakiti isteri, maka hukumnya haram. Sedang hukum asal dari nikah adalah mubah. Nikah, hukumnya sunat bagi orang yang memerlukannya. Syariat nikah berasal dari Al-qur’an, hadist serta ijma’umat.

 

Firman Allah: “Wa-Ankihul Ayaamaa Mingkum Washshaalihiina Min’ibaadikum Wa Imaaikum”. Arttinya: “Dan kawinlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hambamu yang lelaki dan hamba-hambamu yang perempuan”.

 

Sabda Nabi Saw: “Tanaakahu U Taktsuruu Fainnii Ubaahi Bikumul Umam”. Artinya: “Saling menikahlah kamu semua dan banyakkan keturunan sesungguhnya denganmu aku berlomba umat (besok hari kiamat)”.

Bersambung.

 

Semarang, 23 Januari 2022

Sumber: Kitab Kifayatul Akhyar Bab Nikah

• Friday, January 21st, 2022

Menata Diri (8): Menjaga Rasa Malu
Oleh KH. Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA

Mohon maaf, saya belum menuliskan lanjutan tema menata hidup, sehingga saya menyajikan tulisan dari KH. Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA selaku guru dan sumber rujukan utama dalam tema tersebut. Berikut tulisannya:

Mungkin ada benarnya anggapan orang yang mengatakan, manusia modern lebih cenderung menyingkirkan rasa malu. Padahal, semodern apapun dan sebesar apapun perubahan yang ada di sekitar kita, mestinya rasa malu itu sebagai harga diri utama kita paling permanen menyertai sepanjang perjalanan hidup kita. Rasa malu boleh pergi seiring dengan roh meninggalkan jasad kita. Hal itu Karena malu diterjemahkan dari bahasa Arab istahya’ yang diambil dari al-hayath yang artinya hidup. Orang yang memiliki rasa malu (istahya) itu lantaran kuatnya dimensi hayath di dalam dirinya, sehingga dapat merasakan hal-hal yang sensitive. Jadi, malu lahir karena kuat dan lembutnya perasaan seseorang. Makanya hidup tanpa rasa malu adalah mayat berjalan, demikian sebuah syair Arab melukiskannya.

Ilustrasi kisah Nabi Yusuf dengan perempuan istana dapat dijadikan pelajaran. Dikisahkan dalam Al-qur’an: Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata dia tiada melihat tanda (dari) Tuhannya. (QS. Yusuf [12]: 24).

Sesungguhnya, tanda (burhan) yang dilihat, ialah bahwa wanita itu melemparkan pakaian ke sebuah patung yang ada di dalam rumahnya lalu menutupi wajah patung itu. Yusuf as. bertanya padanya, “Apa maksudmu berbuat begini?” Jawabnya, “Sesungguhnya aku merasa malu pada Tuhanku ini, jika dia melihatku, “Kata Yusuf, “Sesungguhnya aku lebih malu lagi kepada Allah”.

Selanjutnya, ditegaskan pula dalam firman Allah dalam al-Qur’an: “Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dalam keadaan malu-malu.” (QS. Al-Qashash [28]: 25)

Sesungguhnya, dia merasa malu, sebab ada seorang yang menawarkan kepadanya jamuan, maka ia malu untuk tidak memenuhinya. Rasa malu termasuk salah satu sifat bagi tuan rumah sebagai penjamu. Ini menunjukkan kesempurnaan iman. Riwayat lain mengatakan bahwa kedua putri Syuaib as. pulang lebih awal dari biasanya. Maka Nabi Syuaib bertanya, “Apa yang membuatmu pulang terburu-buru?” Keduanya menjawab, “Kami menjumpai seorang lelaki saleh yang kasihan pada kami dan membantu mengambilkan air. Maka Nabi Syuaib berkata pada salah satu putrinya (yang tertua). “Pergilah. Ajak dia menemuiku”. Dalam perjalanan, Musa as. mengikuti putri Nabi Syuaib dari belakang. Tiba-tiba angin berembus dan menyingkap baju putri Nabi Syuaib. Sehingga ia pun malu. Maka Nabi Musa as. Berkata, “Berjalanlah di belakangku dan tunjukkan aku arahnya ke mana”.

Kisah Nabi Yusuf yang diabadikan di dalam Al-Qur’an di atas menarik untuk dijadikan pelajaran bahwa dalam segala perbuatan yang memalukan hanya akan membawa penyesalan dan keberanian untuk berkata “tidak” kepada hal-hal yang memalukan akan mendatangkan keajaiban positif dari Allah SWT untuk yang bersangkutan. Dalam habis Nabi Saw. Dikatakan: “Rasa malu merupakan bagian dari iman.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Menurut riwayat riwayat lengkapnya, suatu ketika ada orang yang memarahi saudaranya yang tidak punya malu. Ia berkata, “Mungkin kamu akan malu, setelah kamu tahu bahayanya.” Mendengar itu Rasulullah Saw. berkata, “Biarlah dia. Rasa malu merupakan bagian dari iman.” Rasa malu mencegah orang dari berbuat keburukan. Di dalamnya tercakup banyak sekali kebaikan sehingga ia terhitung cabang dari iman. Dikatakan sebagai cabang iman lantara malu mampu mencegah orang dari melakukan kemaksiatan sebagaimana iman. Al-Qadhi “Iyadh mengatakan malu adakalanya merupakan sifat bawaan dan adakalanya diupayakan. Jika malu merupakan sifat bawaan maka untuk memanfaatkannya di jalan syar’i harus didahului dengan upaya, ilmu dan niat. Di sinilah malu menjadi bagian dari iman. Apabila keduanya ada dalam diri seseorang maka itu akan menjadi sumber kebaikan yang kuat.

Jadi, orang yang beriman ialah orang-orang yang mampu memproteksi diri dari hal-hal yang memalukan. Semua dosa, maksiat, dan kedurhakaan adalah memalukan. Bukan saja malu terhadap manusia tetapi yang lebih penting ialah malu terhadap Allah Swt., Zat Yang Maha Melihat. Yang membedakan antara orang-orang yang beriman dan yang tidak ialah perbuatannya. Jika ada yang mengaku beriman tetapi masih doyan dengan dosa berarti ada kemunafikan di dalam diri yang bersangkutan.

Dzun Nun al-Mishri, seorang ulama Tasawuf mengatakan, “Pecinta akan berbicara dan pemalu akan diam.” Al-junaid pernah ditanya tentang rasa malu. Ia menjawab, “Malu adalah suatu keadaan yang membuat orang melihat anugerah dan melihat kekurangan diri. Inilah yang kemudian melahirkan malu.”. Ibn Atha’illah mengatakan, “Ilmu yang peling besar adlaah rasa gentar dan malu”.

Seorang laki-laki terlihat shalat di luar masjid, lalu ditanya mengapa tidak masuk dan shalat di dalam saja? Ia menjawab, “Aku malu masuk ke dalam rumah-Nya karena aku telah berdosa kepada-Nya.”Seorang laki-laki terlihat tidur di tempat binatang buas, lalu ditanya, “Apakah tidak takut tidur disini?” Ia menjawab, “Ketahuilah, bahwa aku malu untuk takut selain diri-Nya. Allah Swt. Telah mewahyukan kepada Nabi Musa as., “Nasihatilah dirimu jika engkau menghiraukan nasihat itu, maka nasihatilah sesama manusia, jika tidak, maka malulah kepada-Ku untuk menasihati manusia.” Disebutkan, jika seorang duduk untuk menasihati sesama manusia, maka malaikat akan memanggilnya, “nasihatilah dirimu sebagaimana engkau menasihati sesama saudaramu, jika tidak, maka malulah kepada Tuhan-Mu, sebab Dia melihatmu.”

Al-Fudhail mengatakan, “Diantara tanda celaka seseorang adalah kerasnya hati, bengisnya mata, kurangnya rasa malu, besarnya hasrat duniawi, dan panjang angan-angan.” Rasa malu sekarang seperti menjadi barang langka. Yang banyak kita saksikan ialah memamerkan perbuatan memalukan. Jika perbuatan memalukan menjadi pemandangan umum di dalam masyarakat maka ancaman siksa Tuhan akan dekat. Siksaan Tuhan bukan hanya dalam bentuk banjir, gempa bumi, gunung meletus, tsunami, wabah penyakit menular, angin puting beliung, dan lain-lain, tetapi juga diutusnya pemimpin zalim, berkembangnya kriminalitas yang menimbulkan kecemasan dan rasa takut, diberikan anak-anak durhaka, dan perasaan publik yang gelisah dan tidak tenang.

Dikutip dari buku: Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. 2021. Menjalani Hidup Salikin. Jakarta: Grasindo PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

• Saturday, January 01st, 2022

 

Salat Jumat

Oleh Agung Kuswantoro

 

Melakukan salat Jumat bagi anak laki-laki berusia 7 tahun hingga 10 tahun, bukanlah hal yang mudah. Misal: dilakukan pada siang hari jam 12.00 WIB dimana fisik untuk jalan kaki agar bisa pergi ke masjid, membutuhkan kesabaran untuk mendengarkan khutbah Jumat, dan kondisi anak dimana jam 12.00 WIB adalah jam istirahat dan makan.

 

Dari alasan-alasan tersebut, saya sebagai orang tua – perlu strategi agar anak mau dan tertarik untuk berlatih salat Jumatan.

 

Saya sendiri pun, harus menyiapkan fisik dan waktu agar bisa menemani kedua anak saya – Mubin dan Syafa’ – Jumatan. Saya usahakan pulang rumah agar bisa mengajak Mubin dan Syafa’ Jumatan.

 

Biasanya saya pulang istirahat lebih gasik – sebelum jam 11.00 WIB—agar bisa mempersiapkan salat Jumat. Maksimal berangkat dari rumah jam 11.30 WIB. Setelah itu, kami berangkat ke masjid.

 

Saya pun tidak asal memilih masjid untuk Jumatan. Prinsipnya, masjid yang ramah anak untuk Jumatan. Misal: protokol kesehatan diperhatikan, ada saf/barisan anak, kebersihan masjid terjamin, khutbah tidak terlalu lama, dan nyaman untuk salat Jumat.

 

Mungkin indikator-indikator masjid yang berkriteria sempurna itu, tidak banyak. Minimal: terkelola, masjidnya. Mengapa saya “ketat” dalam “pemilihan masjid”? karena, salat Jumat “membawa”/mengajak anak itu repot. Jadi, saya harus mengambil resiko terkecil, saat saya di masjid bersama Mubin dan Syafa’. Berjuang, simpelnya, saat “membawa”/mengajak Mubin dan Syafa’ untuk Jumatan.

 

Dulu, saya juga merasakan sendiri sebagai anak yang ingin Jumatan. Saya dulu ingin sekali Jumatan. Sampai-sampai ikut orang dewasa – yang notabene tetangga rumah – agar bisa Jumatan. Beliau bernama Bapak Syarif.

 

Tiap jam 11.00 WIB, saya datang ke rumahnya agar saya bisa salat Jumat. Saya selalu dengan beliau, ketika Jumatan. Karena, Bapak saya sudah meninggal dunia sejak saya di kandungan. Jadi, saya harus ikut orang dewasa saat Jumatan.

 

 

Pengalaman kecil saya saat Jumatan menjadikan pengalaman hidup yang sangat berharga untuk anak saya, sehingga saya berusaha menemani  Mubin dan Syafa’ agar bisa salat Jumatan.

 

Yuk latih dan dampingin anak-anak kita agar kelak mereka menjadi anak saleh. Amin. []

 

Semarang, 31 Desember 2021

Ditulis Di Rumah jam 14.30 – 14.45 WIB