Archive for the Category ◊ Uncategorized ◊

• Thursday, May 13th, 2021

Usai solat Subuh, saya membersihkan Madrasah dari debu dan kotoran. Termasuk, menyirami tanaman yang berada di luar Madrasah.

Berjuang itu tak mudah. Agar bisa berdiri “gagahnya”, Madrasah butuh pengorbanan mental dan fisik.

Pengorbanan mental itu bisa berwujud “diomong wong”. Pengorbanan fisik bisa berwujud menyapu, mengajar, dan membersihkan halaman. Yang sangat berat, ada di pengorbanan mental.

Doakan kami semua agar bisa bertahan, sabar, dan tetap berjuang agar Madrasah ini bisa “berdiri” dengan “tegak”. Karena, didalamnya ada “ilmu-ilmu” Allah yang kami sampaikan ke santri dan masyarakat. Amin.

• Tuesday, May 11th, 2021

Mengapa Berkata “Maaf”, Usai Berpuasa?
Oleh Agung Kuswantoro

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Qaulan Sadida/perkataan yang benar” (QS. an-Nisa: 9).

Dua hari lagi (13 Mei 2021/1 Syawal 1441) umat Islam di seluruh dunia akan merayakan hari raya Idul Fitri, Idul Fitri identik dengan ucapan “mohon maaf lahir batin”. Ada sebuah pertanyaan besar: mengapa kita pada hari kemenangan, berkata “mohon maaf lahir dan batin?” Mengapa tidak berkata: “merdeka?” tetapi, malah berkata: “maaf”.

Secara logika orang yang “menang“ akan mengatakan suatu kebahagiaan dengan kalimat “alhamdulillah”; “yes, menang”; “merdeka”; “musuh telah pergi”; “kita menang”; “musuh kalah”; dan ucapan lainnya.

Logika akal manusia, berbeda dengan logika agama Islam. Agama Islam mengatakan: setelah “berperang” melawan hawa nafsu, justru hati tidak diungkapkan dengan rasa selebrasi/perayaan, namun hati harus “menunduk”, “menunduknya” dengan berkata: “maaf”.

Lalu, mengapa kita berkata maaf kepada manusia? Karena, kita telah melakukan kesalahan kepada seseorang. Cara melebur/menghapus kesalahan kepada sesama manusia adalah meminta maaf kepada yang telah dibuat salah.

Meminta maaf, hanya berlaku kepada manusia. Tidak ada saling maaf, antar manusia dengan tumbuhan. Tidak ada, saling memaafkan antara manusia dengan hewan. Dan, tidak ada, saling memaafkan antara hewan dengan tumbuhan. Namun, ada manusia minta maaf dari manusia kepada Tuhan, yaitu bernama permohonan ampun/istigfar.

Maafnya, manusia kepada Allah dinamai tobat. Ciri-ciri tobat diawali dengan sifat “merasa” dan “menyadari”. Bisa jadi, tanpa ucapan: “maaf” itu, tidak masalah. Artinya: tidak harus berkata: “Ya Allah, aku minta maaf”. Tanpa perkataan tersebut, tidak masalah.

Sekali lagi, maaf kepada Allah yang sangat dibutuhkan adalah “merasa salah” dan “menyadari atas kesalahannya”. Sama dengan kesalahan seorang manusia dengan kepada sesama manusia. Manusia akan mengetahui dirinya bersalah, jika manusia tersebut/ia telah “merasa” dan
“menyadari” akan kesalahan yang dilakukan kepada orang lain. Disinilah, peranan hati akan “berfungsi”.

Sadar itu dalam hati. Sadar itu, bukan di otak. Bisa jadi, otak masih merasa “kekeh” atau “bersih keras” atau “angkuh” untuk melawan akan sebuah kesalahan. Namun, hati akan mendorong sesorang akan “lemes”, atau “merelakan”, atau mengikhlaskan atas kesalahan orang lain kepada diri kita.

Lantas, bentuk kesalahan seperti apa yang bisa menjadikan dosa? Menurut Amiruddin (2011) dalam buku “Ketika Dosa Tak Dirasa: Yang Kecil pun Bisa Menjadi Besar” mengatakan bahwa, ada delapan dosa yang tak dirasa yaitu (1) berbohong; (2) berkata ”ah” kepada orang tua; (3) menyalahgunakan jabatan; (4) ghibah; (5) mengadu domba; (6) su’udzon; (7) mempercayai ramalan; dan (8) menyembunyikan aib barang dalam transaksi jual beli.

Dari kedelapan perbuatan dosa kecil/dosa yang tak dirasa tersebut, bahwa 6 dari 8 perbuatan dosa tersebut (75%) berasal dari “mulut”. Bahasa khotib, “mulut” adalah sumber utama orang melakukan dosa.

Mulut sumber utama orang melakukan dosa atau melakukan kesalahan kepada orang lain. Misal saja: berbohong, melawan nasihat orang tua, ngrasani/ghibah, memprovokasi/mempengaruhi berita buruk, berprasangka buruk/su’udzon, dan menyembunyikan cacat dalam transaksi jual beli.

Gosip/ngrasani/membicarakan kesalahan orang lain/ghibah, menurut para ahli sering dilakukan oleh seseorang dalam masyarakat. Cirinya: ada dua orang berkumpul. Terkait tempat melakukan “ngrasani” tidak memperhatikan “kesucian” suatu tempat atau lokasi. Misalnya, di Masjid/Musholla. Artinya, ngerasani bisa dilakukan di Masjid/Musholla. Minimal, ada orang berkumpul. Disinilah potensi setan masuk untuk “menyulutkan” atau “menyalakan” perbuatan dosa. Setan dimanapun kita berada, pasti ada. Oleh karenanya, jaga iman kita selalu dimana pun dan kapan pun berada, agar setan tidak hadir di sekitar kita.

Lalu, apa “obat” atas kesalahan/dosa kepada sesama manusia? Jika kesalahan kepada sesama manusia, maka minta maaflah. Yang minta maaf yang memiliki/melakukan kesalahan. Konteks di dunia, ada istilah “pengadilan”. Pengadilan itulah yang akan menunjukkan sebuah kesalahan dan menujukkan bukti-bukti yang autentik dalam persidangan.

Tanpa, ada bukti yang autentik atas suatu kesalahan, maka kebenaran tidak akan muncul. Sebaliknya, jika bukti menunjukkan suatu kesalahan, maka hukuman yang akan menimpa seorang yang bersalah. Kebenaran yang akan muncul/berkata.

Namun konteks dunia, berbeda dengan konteks akhirat/agama. Jika kesalahan itu tertuju kepada Allah, maka bertobat. Menurut Amirullah (2011) bahwa cara menghapus dosa/kesalahan kepada Allah dengan cara (1) sholat, (2) shaum/puasa, (3) bersedekah, (4) memperbanyak istigfar, dan (5) taubatan nasuha.

Sedangkan, untuk kesalahan mulut manusia dapat dilakukan, sebagaimana tuntunan al-Quran mengatakan dengan berkata (1) qaulan sadida/berkata benar, (2) qaulan baligh/berkata yang berbekas dalam jiwa, (3) qaulan ma’rufan/berkata yang baik, (4) qaulan karima/perkataan yang mulia, (5) qaulan layyina/perkataan yang lemah lembut, (6) dan qaulan maysura/perkataan yang mudah.

Demikianlah tulisan singkat ini, ada beberapa simpulan yaitu:
1. Kemenangan Idul Fitri tidak dilakukan dengan pesta/selebrasi, namun dilakukan dengan memperbanyak kata “maaf” atau “meminta maaf”.

2. Kita berkata “maaf” kepada sesama manusia, karena kita telah melakukan sebuah kesalahan. Meminta maaf itu, hanya pada sesama manusia. Meminta maaf manusia kepada hewan dan tumbuhan itu tidak ada. Meminta maaf hewan kepada tumbuhan, juga tidak ada. Namun meminta maaf manusia kepada Tuhan, dinamakan tobat.

3. Contoh kesalahan/dosa manusia kepada manusia yaitu: berbohong, melawan/berkata “ah” kepada orang tua, menyalahgunakan jabatan, ngrasani/ghibah, memprovokasi/mempengaruhi/adu domba, su’udzon, mempercayai ramalan, dan menyembunyikan aib barang saat jual beli.

4. 75% kesalahan/dosa manusia kepada manusia berasal dari mulut. “Ngrasani” adalah perbuatan yang sering dilakukan oleh manusia yang tanpa melihat kesucian suatu tempat dan waktu yang tak terbatas.

5. Salah satu cara menghilangkan kesalahan sesama manusia dalam konteks “dunia” adalah meminta maaf kepada orang yang telah diperlakukan salah. Sedangkan cara menghapus kesalahan dosa kepada Allah adalah dengan sholat, berpuasa, besedekah, memperbanyak istigfar, dan taubatan nasuha.

6. Mari, berkata baik sesuai dengan tuntunan al Quran dengan qaulan sadida/berkata benar, qaulan baligha/berkata yang berbekas dalam hati, qaulan ma’rufan/berkata baik, qaulan karima/berkata yang mulia, dan qaulan maysura/berkata yang mudah.

Semoga bermanfaat tulisan ini. Amin. []

Semarang, 8 Mei 2021
Ditulis di rumah jam 05.00 – 05.55 WIB.

• Saturday, May 01st, 2021

Susah Mana, Dakwah di Komunitas Atau Masyarakat?
Oleh Agung Kuswantoro

Apakah Anda, seorang Ustad, Guru, atau Kiai? Jika ya, saya mohon dibantu dalam menjawab pertanyaan ini: “Susah mana dakwah/berjuang di komunitas atau masyarakat?”

Jika pertanyaan tersebut, saya yang menjawabnya, maka akan saya jawab dengan susah di masyarakat. Saya mengalami betul, bahwa berdakwah di masyarakat itu sangatlah susah. Karena, masyarakat itu banyak dan beragam. Banyak, karena jumlahnya tidak sedikit orangnya. Beragam, karena banyak kalangan yang berkepentingan dalam lingkungan tersebut.

Sebut saja, konsep Masjid. Masjid di masyarakat, belum tentu dimaknai dengan tempat sujud (baca: sholat 5 waktu). Namun, bisa jadi, Masjid di mata orang, bahwa Masjid itu tempat berkumpul. Artinya, Masjid digunakan untuk berkumpulnya suatu kegiatan. Namun, saat pelaksanaan sholat, itu “sepi” orang. Tak seramai orang waktu berkumpul dalam kegiatan.

Itulah dakwah di masyarakat, dimana satu konsep memiliki arti yang banyak. Belum lagi, karena, faktor budaya dan pemahaman akan suatu ilmu. Adanya hanya adat.

Berbeda dengan komunitas. Komunitas itu tujuannya sudah jelas. Orang-orangnya sudah terbentuk. Misal, komunitas pecinta ikan cupang. Jelas tujuannya adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan ikan cupang. Sehingga, pemikiran akan ikan cupang itu sama. Atau, hampir/mirip akan pemahaman konsep “ikan cupang”.

Nah, kalau “konsep” Masjid berbeda dengan makna, jika dalam masyarakat. Namun, itulah fakta. Oleh karenanya, dakwah di masyarakat menurut saya itu lebih susah. Jadi ingat dakwah Nabi Muhammad SAW itu di masyarakat, dimana ada orang Kafir/Quraisy. Tahu sendirilah watak orang Kafir/Quraisy, dimana Nabi Muhammad SAW itu “musuhnya”. Namun, Nabi Muhammad SAW bisa berhasil dakwahnya. Itulah kehebatan, Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah. Ancaman nyawa, jadi taruhannya. Nah, bagaimana dengan Anda? Sudah sampai mana dakwahnya? Apa sudah sampai di komunitas atau di masyarakat? Waallahu’alam. []

Semarang, 30 April 2021
Ditulis Di Rumah jam 06.05 – 06.20 WIB

• Friday, April 30th, 2021

“Berliterasi” di Bulan Ramadhan
Oleh Agung Kuswantoro

Ramadhan 1442 Hijriah ini, bagi saya adalah sebuah “tantangan” dalam berliterasi. Saya selalu “menjagani” agar tidak terlalu banyak aktivitas rutin pekerjaan dan aktivitas yang bersifat fisik.

Mengapa saya “jagani” agar tidak terlalu sibuk dan aktivitas fisik? Agar saya bisa fokus beribadah dan berliterasi. Saya menyamakan antara berliterasi sama dengan beribadah. Dengan membaca dan menulis itu, beribadah. Semakin banyak membaca, maka pengetahuan saya bisa bertambah. Syukur, saya bisa menuliskan dari apa yang saya baca.

Sumber bacaan saya yang utama adalah al-Qur’an, kitab, dan buku. Tidak semua kitab dan buku menjadi rujukan saya dalam “berliterasi”. Sehingga, saya mencari informasi terkait buku/kitab. Biasanya, saya membuka kitab-kitab dan buku-buku yang saya miliki.

Selain itu, saya juga rutin membaca koran di koran Suara Merdeka yang berisi informasi kitab. Adapun kitab yang sudah saya dapatkan yaitu: kitab Tuhfatul al-Lubab, Maqasid Ash-Shaum, kitab tafsir Al-Bayan Fii Ma’rifati Ma’ani al Qur’an, kitab ar – Rozan, kitab al – Awail wal fadhoil, dan kitab-kitab yang lain.

Dengan membaca ulasan dari kitab-kitab tersebut, saya mencoba membeli kitab tersebut dan membacanya. Tujuannya, untuk diri/saya saja agar menjadi tahu. Saya jadi “melek” dengan ilmu.

Selain mencari referensi, saya juga aktif membuka internet dengan mengaji online. Biasanya saya menyimak kajian dari teras Salafiah Kauman Pemalang – Kitab ‘Qomiut Thugyan’ – yang diampu oleh KH. Romadon SZ, kajian kitab Burdah yang diampu oleh Kiai Mustofa Bisri, kitab Ihya Ulumuddin dan kitab Misykatul Anwar yang diampu oleh Kiai Ulil Absor Abdullah.

Saya suka kajian online tersebut, karena “kental” dengan ilmu. Cara membacanya, sangat jeli. Mulai dari nahwu, shorof, dan tafsirnya. Jadi, menyeluruh dalam membahasnya.

Diri saya memang banyak kekurangan, harapannya dengan berliterasi saya dapat beribadah. Yuk, perbanyak berliterasi agar kita “melek” ilmu Allah. []

Semarang, 30 April 2021
Ditulis di Rumah jam 05.45 – 06.05 WIB.

• Thursday, April 08th, 2021

Puasa Itu Wajib, Bagi Siapa?

Oleh Agung Kuswantoro

 

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (Q.S. alBaqarah: 183).

 

Dalam kitab Fathul Muin bab tentang puasa, disebutkan bahwa puasa itu wajib bagi mukallaf. Mukallaf dalam hal ini, dimaknai yaitu baligh dan berakal. Mukallaf secara hukum dan kenyataan. Secara hukum artinya, sudah sah sesuai dengan aturan. Secara kenyataan, artinya sudah memenuhi kriteria yang telah ditentukan.

 

Berbeda kasus mukallaf dalam hal ini, yaitu anak kecil dan orang gila. Anak kecil yang mampu berpuasa dari imsak hingga futur/magrib, maka secara hukum, tetap belum memenuhi. Karena, masih kecil. Orang berpuasa harus baligh. Orang berpuasa harus dewasa.

 

Demikian juga, (maaf) orang dewasa yang gila, ia sudah berumur, namun syarat mukallaf—dalam hal ini, yaitu berakal—itu tidak memenuhi. Jadi, walaupun ada orang dewasa yang gila itu, beribadah puasa. Maka, secara syarat/hukum itu, tidak memenuhi. Orang yang berpuasa itu, harus berakal.

 

Syarat mukallaf menjadi gugur/batal/tidak berlaku, ketika seorang wanita dewasa sedang haid, nifas, atau wiladah. Mengapa wanita yang haid, nifas, atau wiladah menjadi gugur secara hukum, walaupun yang bersangkutan itu mampu melakukan ibadah puasa? Para ulama mengatakan, bahwa puasa harus dilakukan dalam keadaan suci bagi seorang wanita. Bukan, dilakukan oleh wanita yang dalam keadaan “kotor”.

 

  1. H. Sukiman Rusli, SpPD – seorang dokter dan anggota Komisi Fatwa MUI DKI – dalam bukunya, “Berpuasa Di Saat Sakit dan Sehat”, mengatakan seorang pasien/orang yang sakit dapat memutuskan berpuasa atau batal harus menggunakan beberapa petunjuk yaitu (1) Berkonsultasi dengan dokter muslim yang mahir dan terpercaya, (2) Apabila dokter belum bisa membuat keputusan “apakah berpuasa atau batal”, maka pasien/orang tersebut, dapat membuat keputusan berdasarkan pengalaman pribadi pasien, saat pelaksanaan puasa sebelumnya. Sebaiknya pasien tersebut—dalam membuat keputusan—didukung oleh informasi/ilmu dari buku, majalah, atau pengajian, (3) Bila dokter tidak ada yang mahir dan pengalaman belum ada, maka pasien tersebut melaksanakan ibadah puasa saja. Pastinya, selama berpuasa mengamati organ tubuh dan gejala penyakit yang dirasakan. Nah, disinilah pasien dapat membuat keputusan untuk tetap melanjutkan berpuasa atau batal puasa (Rusli, 2018:139-140).

 

Dari penjelasan di atas, sungguh “terbalik” saat ada orang yang sehat berjenis kelamin laki-laki dan sudah memenuhi hukum untuk melaksanakan ibadah puasa (mukallaf), namun ia tidak berpuasa. Dan, laki-laki tersebut ada, di lingkungan kita. Ia merasa dirinya, tidak wajib berpuasa dengan alasan yang menurut dia, itu benar. Misal, dengan alasan yaitu:pekerjaan yang susah, berat, cuaca panas, dan fisik tidak mampu, dimana ia memutuskan tidak berpuasa. Namun, ia tetap sholat.

 

Bagaimana, para pakar menghadapi kasus di atas? Para ahli mengatakan, bahwa kebanyakan orang tidak melakukan puasa—walaupun sudah mukallaf/baligh/berakal—dikarenakan ia memiliki banyak dosa. Dosa yang banyak, itulah menutupi hatinya.

 

Ia melakukan perbuatan dosa dimulai dari pekerjaan yang tidak dirasa—berpotensi menjadi sebuah dosa—seperti:berbohong, berkata ah kepada orang tua, menyalahgunakan jabatan, menggosip (ghibah), mengadu domba/memprovokasi perbuatan buruk kepada orang lain, berprasangka buruk, mempercayai ramalan, dan dosa kecil lainnya.

 

Dosa-dosa kecil bisa menjadikan hati seseorang bisa sakit (qolbun marid), yaitu hati yang tidak bisa membedakan hak/benar dan batil/salah, sehingga ia tidak sadar telah melakukan dosa—baik dosa kecil—yang “bertumpuk” menjadi dosa besar.

 

Oleh karenanya, sebagai orang muslim harus melakukan ibadah puasa. Muslim adalah syarat orang diperbolehkan untuk melakukan ibadah puasa. Secara fiqih itu, cukup syarat berpuasa yaitu muslim saja. Akan tetapi, tidak cukup secara al-Qur’an, bahwa syarat berpuasa itu muslim. Syarat berpuasa secara al-Qur’an itu, harus beriman.

 

Secara tauhid ada istilah islam, iman, dan ihsan. Ketiga istilah tersebut, harus selalu beriringan. Ada orang islam, namun belum beriman akan keberadaan alam akhirat. Ada orang islam, namun untuk berbuat sedekah (baca: ihsan), ia masih eman-eman. Sehingga, kita harus belajar tingkatan islam, iman, dan ihsan. Kita ada pada level mana? Hanya, Anda sendirilah yang lebih yang bisa menjawabnya.

 

Dengan demikian, mengapa ada orang sehat, berakal, mampu, dan tidak ada masalah penyakit dalam dirinya itu—tidak melakukan puasa—dengan alasan yang menurut dia benar yaitu pekerjaan susah, banyak, cuaca panas, dan tidak kuat lapar adalah kurang tepat. Seharusnya, pendekatan hati yang digunakan. Bukan, pendekatan fisik. Karena pendekatan fisik secara kesehatan itu, tidak masalah. Namun, pendekatan hati orang tersebut, bermasalah. Bermasalahnya karena apa? Karena, dosa yang menutupi hatinya, sehingga akal mencari alasan, agar tidak berpuasa. Jelas hal ini tidak tepat. Oleh karenanya, kembalilah ke al-Qur’an, agar kita beriman. Berimanlah yang dipanggil oleh Allah untuk melakukan ibadah puasa (ya ayyulah aldzina amanu). Bukan, ya ayyuhal muslimun (wahai orang-orang islam). Karena, orang islam, belum tentu melakukan ibadah puasa. Baru setelah beriman yang berpuasa, akan naik kelas menjadi tattaqun orang bertakwa (QS. al-Baqoroh 183).

 

Demikian, tulisan singkat ini. Ada beberapa simpulan, yaitu:

  1. Syarat berpuasa, fiqih menyebutkan dengan istilah mukallaf. Mukallaf artinya berakal dan baligh.

 

  1. Ada orang yang sakit bisa berpuasa atas anjuran dokter yang sangat mahir dan beragama muslim, serta atas keyakinan dan keteguhan diri orang yang akan melakukan puasa. Dasarnya, konsultasi ke dokter dan keyakinan pasien.

 

  1. Ada orang islam dan mukallaf (baligh dan berakal), tetapi tidak berpuasa, dengan alasan pembenaran atas dirinya. Dalam konteks ini, itu tidak dibenarkan. Karena ia membenarkan dirinya.

 

  1. Bisa jadi, dosa yang banyak menghambat orang sehat, dewasa, dan berakal (mukallaf) untuk tidak melakukan ibadah puasa. Orang yang tertutup hatinya, menjadikan penghalang dan malas untuk melakukan ibadah puasa. Agar terbuka hatinya, bertobatlah segera bagi orang yang telah sakit hatinya (qolbun marid).

 

Semoga bermanfaat tulisan ini. Amin. []

 

Semarang, 6 April 2021

Ditulis Di Rumah jam 03.00 – 03.30 WIB, kemudian dilanjutkan di Madrasah Aqidatul Awwam  jam 05.00 – 05.15 WIB.

 

• Tuesday, March 23rd, 2021

Sistem Informasi Perkantoran

Oleh Agung Kuswantoro

 

Apakah Anda memahami istilah “sistem? Jika memahaminya, istilah “sistem” melekat pada frasa/kalimat, apa? Coba, sebutkan!

 

Ya, betul ada istilah sistem pendidikan, sistem informasi, istilah jaringan, sistem-sistem lainnya.

 

Coba, buka makna sistem secara Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI, apa artinya? Silakan, buka dulu.

 

Jika sudah dibuka, mohon bacakan. Perwakilan, salah satu dari rombel ini untuk membacakan. Pahami dulu, maknanya. Lalu muncul pertanyaan, “Apakah sistem itu harus berteknologi?”

 

Silakan, jawab dan didiskusikan. Semisal, sistem itu tidak ada, apakah tujuan yang telah ditentukan bisa terwujud?

 

Selama ini, “Apakah Anda masuk dalam kategori sistem?” Jika ya, sistem apa yang Anda ikuti?

 

Nah, apa kaitan sistem ini dengan informasi dan perkantoran? Bacalah artikel-artikel dan buku-buku mengenai manajemen sistem informasi dan administrasi perkantoran untuk menjawab pertanyaan di atas. Selamat belajar. []

 

Semarang, 23 Maret 2021

 

Ditulis di Rumah, jam 05.00 – 05.10 WIB. Bahan/materi untuk penguatan konsep dalam matakuliah Sistem Informasi Perkantoran, Selasa (23 Maret 2021 jam 13.00 WIB).

 

 

• Friday, March 12th, 2021

Buku Yang “Bercahaya”

Oleh Agung Kuswantoro

sumber: dokumentasi penulis

 

Entah apa yang terjadi dalam diri saya, saat membaca “buku” yang satu ini. Kesannya, memiliki “cahaya”. “Cahaya” dalam arti pemaknaan yang tiada habisnya. Seakan-akan buku itu “bertutur” dan memberikan petunjuk.

 

Bahkan, antara pembacaan saya yang pertama dan kedua pada “kalimat” (baca: ayat sama) itu menunjukkan perbedaan tafsir/makna. Setiap kali membaca, pasti menemukan suatu hikmah/motivasi/energi positif bagi diri saya.

 

Oleh karenanya, saya selalu membuka buku yang “bercahaya” tersebut tiap pertengahan malam. Minimal, usai salat qiyamul lail. Kalimat (baca: ayat) yang saya baca pun, tidak banyak. Hanya dua atau tiga kalimat/ayat saja. Selebihnya, saya memahami maknanya. Sehingga, saya memiliki banyak versi buku yang “bercahaya” tersebut. Termasuk, makna/tafsirnya.

 

Buku yang “bercahaya” tersebut diletakkan di tempat strategis. Ada di kamar, ruang tengah, samping TV, meja kantor, dan tempat-tempat lain. Tujuannya, agar saya mudah membacanya. Kapanpun dan dimanapun.

 

Selain itu, saya pun tertarik pada tafsir atau pemaknaannya. Sehingga, kitab tafsir atau buku terjemahan dari beberapa judul kitab/buku tafsir “bercahaya”, saya pun rutin membacanya setiap satu ayat tersebut dibaca. Satu ayat/kalimat dipelajari dari beberapa kitab/tafsir. Hasilnya, sangat menarik ketika memahaminya.

 

Target membacanya, bukan “khatam” atau “selesai” untuk membaca satu “buku”. Namun, lebih cenderung pemaknaan dan menerapkan apa yang dibaca. Ya, dinikmati saja. Termasuk, dalam membacanya. Kaidah tajwid, nahwu, sorof, bahasa, dan tafsirnya, saya coba untuk diterapkan dalam membaca dan memahaminya.

 

Dengan cara seperti ini, awal kehidupan saya – yang dibuka dini hari – menjadi lebih terbuka dan “padang” dalam menjalani hidup selama 24 jam pada hari itu. Memang sengaja saya “buka” awal kehidupan dengan membaca buku “bercahaya” tersebut. Tujuannya sederhana saja, yaitu agar mendapatkan petunjuk hidup.

 

Bisa jadi, tujuan hidup saya dengan Anda itu berbeda. Namun, minimal standar hidup saya itu jelas, yakni Tuhan selaku pengarang buku tersebut memberikan dorongan kepada saya agar selalu berbuat baik (baca:beramal salih). Lalu, hati saya—memiliki tempat berteduh dalam menjalankan kehidupan—yaitu bersandar pada Tuhan/Allah.

 

Sebagai orang yang bodoh dan “fakir” ilmu, saya berusaha untuk menghadirkan buku “bercahaya” tersebut dalam kehidupan. Alhamdulillah, orang tua saya sudah menuntun dan mengarahkan saya, agar bisa membaca buku “bercahaya” tersebut. Dasar waktu kecil itulah, saya kembangkan hingga saat ini.

 

Nah, tahukah Anda, “Apa nama buku “bercahaya” tersebut?” Coba tebak!

 

Ya, betul, buku tersebut adalah Alquran. Buku milik orang muslim dan mukmin. Bisa jadi, buku itu banyak, tapi sedikit yang membaca. Bisa jadi, buku ini, hanya dilihat dari jauh, tanpa dibuka dan dijamah.

 

Atau, bisa jadi di dalam Masjid, ada buku tersebut. Namun, tidak ada orang yang membuka. Yang membuka “buku” tersebut, belum tentu ada dalam Masjid, saat salat 5 waktu. Itulah hasil pengamatan saya, selama ini.

 

Mari, “hidangkan” buku “bercahaya” pada banyak tempat yang suci dan halal. Hadirkan buku tersebut di tempat strategis, seperti meja tamu, box mobil, tas bepergian, tempat umum, serambi tengah Masjid, dan dimanapun tempat yang terlihat jelas oleh mata. Tujuannya, agar kita mudah membuka dan membacanya.

 

Miliki dan belilah yang banyak jumlah buku tersebut, karena akan ditempatkan di banyak tempat. Cara seperti ini adalah cara sederhana agar kita mengingat Alquran untuk membaca, mempraktekkan/mengamalkan, dan menundukkan hati.

 

Yuk, lakukan saja. Jika bukan Anda yang notabene muslim yang cerdas, lalu siapa lagi yang akan melakukan? Andalah orang yang ditunjuk oleh Allah untuk membuka, memahami, dan mentadaburi/mengamalkan dari “isi” kandungan tiap ayat Alquran. Semoga Anda bisa! Amin. []

 

Semarang, 12 Maret 2021/26 Rajab 1442 H.

Ditulis di Rumah, jam 04.00 – 04.30 WIB, usai membaca buku “bercahaya”.

 

 

 

• Sunday, January 31st, 2021

Dari artikel yang berjudul “Manajemen Pendidikan Menjawab Tantangan Global” maka saya ingin menganalisis dari segi manajemen pendidikan. Saya menganalisisnya dari beberapa aspek. Untuk lebih lengkapnya, saya buat wacana/artikel pula. Berikut wacananya:

Manajemen Pendidikan Pada Masa Pandemi Covid-19
Oleh Agung Kuswantoro

Pandemi Covid-19 yang telah melanda Indonesia, sejak Maret 2020 masih terasa hingga Januari 2021. 10 bulan Indonesia mengalami Pandemi Covid-19. Dampak dari Pandemi Covid-19 ini adalah salah satunya dibidang pendidikan.

Fakta selama 10 bulan ini, dunia pendidikan dalam pembelajaran dilakukan dengan daring. Pembelajaran tatap muka, belum diizinkan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah. Lalu, muncul pertanyaan: Bagaimanakah manajemen pendidikan di masa Covid-19? Mari kita berdiskusi dan belajar dan menganalisis dari sisi manajemen pendidikan.

Perencanaan Pendidikan
Perencanaan pendidikan semenjak adanya pandemi berubah. Hal yang sangat terlihat adalah dalam pembelajaran online/daring. Kuota modem adalah salah satu bentuk perencanaan yang dilakukan oleh pemerintah. Guru dan siswa akan mendapatkan pulsa/kuota modem. Tujuannya untuk memperlancar proses pembelajaran. Selain itu, anggaran persiapan protokol kesehatan juga, dipersiapkan. Mulai dari cuci tangan, masker, dan hand sanitizer. Ini adalah sarana prasarana pendidikan pada masa Covid-19 ini.

Kebijakan pembelajaran daring adalah pilihan terbaik pada masa pandemi Covid-19 ini. Karena, kondisi yang belum memungkinkan dalam situasi kondisi pandemi. Sehingga, dasar situasi ini sebagai salah satu dasar dalam menentukan kebijakan pendidikan.

Kepemimpinan
Kepala sekolah dalam hal ini memberlakukan kebijakan kerja di rumah/piket. Mengingat grafik orang yang terkenan Korona masih tinggi. Bahkan, PSBB/Pembatasan Sosial Berskala Besar diperpanjang hingga 8 Februari 2021. Kepala sekolah menerapkan kebijakan pembelajaran daring. Termasuk, rapat-rapat yang diselenggarakan sekolah dilakukan secara daring. Tidak ada rapat secara tatap muka.

Perilaku Organisasi
Perilaku warga sekolah/pendidikan dalam penerapan protokol kesehatan dimulai dari siswa, guru, tenaga kependidikan, dan kepala sekolah. Jika guru dan tenaga kependidikan sudah rajin memakai masker, rajin cuci tangan, dan menjaga jarak, maka akan menjadi “nilai” atau budaya di sekolah tersebut. Artinya, setiap individu, kelompok, dan organisasi sekolah tersebut akan menerapkan budaya sehat.

Manajemen Supervisi dan Pengawasan Pendidikan
Manajemen supervisi juga berdampak pada perubahan pada masa Pandemi Covid-19 ini. Supervisi akademik, lembaga, dan administrasi dilakukan secara online. Demikian pengawasan internal dan eksternal lembaga pendidikan dilakukan secara online. Seperti akreditasi online, supervisi online. Termasuk penilaian guru/dosen dilakukan secara daring/online pula.

Kebijakan Publik
Kebijakan publik dilakukan dengan memperhatikan faktor keselamatan dan kesehatan. Kebijakan yang sangat kental yaitu dalam pembelajaran dan kehadiran. Pembelajaran dilakukan secara online. Kehadiran dengan diberlakukan dengan kerja dari rumah (KDR) atau Work From Home (WFH). Terlebih ada kebijakan PSBB jilid II untuk provinsi Jawa-Bali. Dalam kebijakan ini, juga ada sanksi bagi organisasi/pelaku yang melanggar protokol kesehatan.

Mutu pendidikan
Selama pandemi mutu pendidikan kurang diperhatikan. Pemerintah/pelaku/ pemimpin pendidikan lebih mengutamakan kesehatan. Belum mengutamakan mutu. Pembelajaran saja, masih terganggu dengan sinyal.

Kemudian, bimbingan dengan siswa dilakukan secara online, masih terganggu dengan sinyal dan biaya pulsa yang mahal. Belum dari sisi kualitas pembelajaran. Kebanyakan guru lebih banyak memberikan tugas ke siswa. Kemudian, orang tua yang mengerjakan tugas anaknya.

Sistem Informasi
Sistem informasi dibentuk/diciptakan untuk menyelesaikan permasalahan selama pandemi saat pembelajaran. Misal, dengan membuat platform pembelajaran online dan ujian online. Pembelajaran online melalui sebuah sistem, seperti moodle/elena yang mudah diakses oleh siswa oleh guru. Atau, platform gratis dari sebuah aplikasi seperti google classroom, zoom atau google meet. Sistem informasi sebagai ‘jembatan’ menyelesaikan permasalahan dalam menyelesaikan situasi pandemi saat pembelajaran.

Manajemen Uncertainly/Ketidakpastian
Manajemen ketidakpastian seperti Covid-19 adalah hal yang tidak terduga. Manajemen ketidakpastian ini–terkait Covid-19–belum siap. Sehingga, terlalu lama dalam penanganan Covid-19 ini. Termasuk, pengambilan resikonya, belum ada. Hal yang dekat dengan manajemen ketidakpastian adalah tiap organisasi/lembaga/sekolah/pondok pesantren harus memiliki gugus protokol kesehatan. Ini adalah salah satu wujud manajemen ketidakpastian dalam suatu satuan pendidikan. []

Semarang, 26 Januari 2021
Ditulis di rumah jam 06.00 – 07.15 WIB.

• Friday, January 29th, 2021

Hadiah Alquran
Oleh Agung Kuswantoro

Dulu, pada tanggal 7 November 2001, saya dapat hadiah dari Pondok Pesantren Salafiyah Kauman Pemalang berupa Alquran dan terjemahannya. Hadiah tersebut diserahkan pada peristiwa Lailatul Firoq santri Diniah Ulya Salafiyah Kauman Pemalang pada tanggal 4 November 2001.

Saya menulis tanggal hadiah Alquran diberikan yaitu 7 November 2001, tepat pada acara tasyakuran kelulusan santri Diniyah Ulya Salafiyah Kauman Pemalang. Jadi, sebenarnya hadiahnya diserahkan pada sebelum tanggal 7 November 2001. Sebelum acara tasyakuran santri Diniyah Ulya. Pada tanggal 7 November pula, ternyata bertepatan dengan hari jadi saya. Bisa, dikatakan sekaligus, menghadiahi diri sendiri.

Saya dan beberapa santri yang lain, menganggap bahwa bisa lulus sebagai santri Diniyah Ulya Salafiyah Kauman Pemalang itu, sangat luar biasa. Penuh pengorbanan. Baik secara waktu, kesempatan, tenaga dan pikiran.

Misalnya: saya menunda waktu untuk kuliah dulu. Jadi, mandeg setahun untuk bisa tuntas lulus sebagai santri Diniyah Ulya. Hal yang sama juga dirasakan oleh sahabat saya (Tasihin). Tasihin juga sama, berjuang agar menjadi lulusan santri Diniyah Ulya Salafiyah Kauman Pemalang. Ia mandeg tidak melanjutkan pendidikan strata satu agar bias lulus sebagai santri Diniyah Ulya Salafiyah Kauman Pemalang.

Ada pembelajaran yang saya tangkap dari hadiah berupa Alquran. Saya menjadi sadar, bahwa bahwa Alquran adalah petunjuk hidup. Sehingga, hadiah Alquran dari Pondok Pesantren Salafiyah Kauman Pemalang hingga kini masih saya simpan dan baca.

Pembelajaran hadiah Alquran juga saya lestarikan dalam diri saya kepada orang lain. Entah sudah berapa jumlah Alquran yang saya berikan/mengkadoi/menghadiahi kepada orang lain.

Biasanya yang saya hadiahi adalah santri-santri madrasah Aqidatul Awwam yang sedang khitan dan tetangga rumah yang merayakan khitan. Selain itu, kedua anak saya juga saya hadiahi Alquran.

Ternyata, ada Alquran yang sama dengan nama anak saya yaitu Alquran al-Mubin dan Alquran al-Quddus. Jadi, saya tertarik pula menghadiahi Alquran kepada kedua anak saya. Harapannya, Alquran tersebut menjadi petunjuk hidup bagi kedua anak saya.

Alquran al-Mubin untuk anak saya yang pertama, bernama Muhammad Fathul Mubin (dipanggil Mubin). Alquran al-Quddus untuk anak saya yang kedua, bernama Muhammad Syafa’atul Quddus (dipanggil Syafa). Nama al-Quddusnya diambil dari belakang Syafa.

Nah, bagaimana dengan Anda: “Sudahkah Anda menghadiahi atau memberi sesuatu yang bermanfaat untuk menjadi petunjuk hidup diri sendiri?” Jika belum, perlu dipikirkan. Mumpung Anda masih hidup dan sebelum Anda menghadiahi “sesuatu” itu kepada orang lain. Hadiahilah diri sendiri dulu, sebelum menghadiahi ke orang lain.

Semarang, 26 Januari 2021
Ditulis Di Rumah jam 05.30 – 05.45 WIB.

• Tuesday, January 26th, 2021

 

Bisakah Pembelajaran Jarak Jauh/PJJ dengan Model HOTS?
Oleh Agung Kuswantoro

HOTS/Higher Order Thinking Skill/keterampilan berpikir tingkat tinggi adalah salah satu cara ajar guru/pendidik/dosen mampu melaksanakan proses pembelajaran dengan hasil peserta didik menjadi cakap, mandiri, dan kreatif.

Lalu, muncul pertanyaan, apakah saat PJJ – seperti ini – dapat dilakukan pembelajaran HOTS? Apalagi sekolah di pedalaman/daerah yang tidak ada sinyal.

Menurut saya, HOTS dapat dilakukan, meskipun PJJ. Caranya? Ambil/pilih materi yang ada dalam silabi selama semester ini. Tentukan tema yang akan dilakukan pembelajaran model HOTS.

Jangan semua tema dilakukan dengan model HOTS. Cukup satu saja. Tetapi berlanjut. Guru dan siswa harus aktif. Tidak harus selalu zoom tiap hari. Namun, “alur” pekerjaan siswa (baca: proyek) harus jelas. Demikian juga, guru harus disiplin memberikan komentar/respon dari apa yang telah dilakukan oleh siswa.

Siswa dapat bereksperimen/praktik di rumah masing-masing. Jadi, pekerjaan siswa pasti berbeda-beda. Guru harus mengevaluasi setiap aktivitas siswa yang telah dilakukan.

Laporan siswa bisa dikirim melalui email atau platform yang sudah ditentukan. Masukan/evaluasi dari guru, kemudian diperbaiki oleh siswa melalui literatur/sumber dan pekerjaan yang mendukung/praktik di sekitar rumah/lingkungan siswa. Dari satu tema ini, terus berlanjut jangan berganti-ganti tema. Jadi, utuh dalam pembelajarannya.

Bagi siswa yang ada daerah sulit sinyal, maka dapat dilakukan dengan cara manual dalam berkomunikasi. Bisa jadi, tetap bertatap muka, karena jumlah siswanya sedikit. Karena, praktik/pembelajaran secara langsung dapat dilakukan secara nyata. Misal, di sungai, sawah, laut, atau kebun. Lagi-lagi kuncinya adalah keaktifan dari siwa dan guru.

Kurang lebih itulah cara melakukan pembelajaan HOTS di masa PJJ. Sabar saja, tidak usah terlalu “sempurna” dalam mengejar target belajar. Ingat, masih masa pandemi. Yang penting proses belajarnya, benar. Jangan semata-mata mengejar hasil belajar. Selamat mencoba!

Semarang, 24 Januari 2021
Ditulis di Rumah jam 06.00 – 06.20 WIB.

Sumber:
Sani, Abdullah, Ridwan. 2019. Pembelajaran Berbasis HOTS (Higher Order Thinking Skills). Tangerang: Tira Smart.

Yani, Ahmad. 2019. Cara Mudah Menulis Soal HOTS (Higher Order Thinking Skills): Suatu Pendekatan “Jarak Nalar” yang Dilengkapi dengan Pembelajaran Berorientasi Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi. Bandung: PT Refika Aditama.