Archive for the Category ◊ Uncategorized ◊

• Tuesday, January 26th, 2021

 

Bisakah Pembelajaran Jarak Jauh/PJJ dengan Model HOTS?
Oleh Agung Kuswantoro

HOTS/Higher Order Thinking Skill/keterampilan berpikir tingkat tinggi adalah salah satu cara ajar guru/pendidik/dosen mampu melaksanakan proses pembelajaran dengan hasil peserta didik menjadi cakap, mandiri, dan kreatif.

Lalu, muncul pertanyaan, apakah saat PJJ – seperti ini – dapat dilakukan pembelajaran HOTS? Apalagi sekolah di pedalaman/daerah yang tidak ada sinyal.

Menurut saya, HOTS dapat dilakukan, meskipun PJJ. Caranya? Ambil/pilih materi yang ada dalam silabi selama semester ini. Tentukan tema yang akan dilakukan pembelajaran model HOTS.

Jangan semua tema dilakukan dengan model HOTS. Cukup satu saja. Tetapi berlanjut. Guru dan siswa harus aktif. Tidak harus selalu zoom tiap hari. Namun, “alur” pekerjaan siswa (baca: proyek) harus jelas. Demikian juga, guru harus disiplin memberikan komentar/respon dari apa yang telah dilakukan oleh siswa.

Siswa dapat bereksperimen/praktik di rumah masing-masing. Jadi, pekerjaan siswa pasti berbeda-beda. Guru harus mengevaluasi setiap aktivitas siswa yang telah dilakukan.

Laporan siswa bisa dikirim melalui email atau platform yang sudah ditentukan. Masukan/evaluasi dari guru, kemudian diperbaiki oleh siswa melalui literatur/sumber dan pekerjaan yang mendukung/praktik di sekitar rumah/lingkungan siswa. Dari satu tema ini, terus berlanjut jangan berganti-ganti tema. Jadi, utuh dalam pembelajarannya.

Bagi siswa yang ada daerah sulit sinyal, maka dapat dilakukan dengan cara manual dalam berkomunikasi. Bisa jadi, tetap bertatap muka, karena jumlah siswanya sedikit. Karena, praktik/pembelajaran secara langsung dapat dilakukan secara nyata. Misal, di sungai, sawah, laut, atau kebun. Lagi-lagi kuncinya adalah keaktifan dari siwa dan guru.

Kurang lebih itulah cara melakukan pembelajaan HOTS di masa PJJ. Sabar saja, tidak usah terlalu “sempurna” dalam mengejar target belajar. Ingat, masih masa pandemi. Yang penting proses belajarnya, benar. Jangan semata-mata mengejar hasil belajar. Selamat mencoba!

Semarang, 24 Januari 2021
Ditulis di Rumah jam 06.00 – 06.20 WIB.

Sumber:
Sani, Abdullah, Ridwan. 2019. Pembelajaran Berbasis HOTS (Higher Order Thinking Skills). Tangerang: Tira Smart.

Yani, Ahmad. 2019. Cara Mudah Menulis Soal HOTS (Higher Order Thinking Skills): Suatu Pendekatan “Jarak Nalar” yang Dilengkapi dengan Pembelajaran Berorientasi Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi. Bandung: PT Refika Aditama.

• Tuesday, January 26th, 2021

Menegaskan dan Melidungi Orang yang Shalat 5 Waktu di Masjid
Oleh Agung Kuswantoro

Program utama Takmir Masjid Nurul Iman Sekaran, Gunungpati, Semarang tahun 2020 – 2025 yaitu menegakkan penyelenggaraan salat lima waktu. Sejak tahun 2015 – 2019, penyelenggaraan salat hanya bisa 3 salat yaitu Maghrib, Isya, dan Subuh. Itupun, kadang tidak ada imam dan muadzinnya. Seadanya orang yang datang, saat tidak ada Imam/Muadzin, maka orang yang datang itulah, menjadi Imam/Muadzin.

Saya – selaku ketua harian Takmir Masjid – membuat dan mengajak diskusi kepada penasihat masjid untuk menegakkan salat 5 waktu di Masjid. Dari sisi teknis dipersiapkan. Mulai mesin tarkhim, hingga sound system. Termasuk, membuat jadwal Imam dan Muadzinnya. Termasuk pula, orang yang salat harus disambut dan dilindungi oleh Takmir Masjid.

Misal, yang datang salat adalah anak-anak. Maka, anak-anak ini harus disambut dengan baik. Jangan sampai, diberi ejekan dengan kalimat “Datang ke Masjid kok ramai”. Kalimat yang “menjatuhkan” bagi anak ini, harus diluruskan oleh Takmir Masjid.

Jika tidak ada yang mengadzani waktu salat tiba, dan (misal) yang datang itu, anak-anak. Berilah kepercayaan kepada anak untuk mengadzani. Mengapa anak perlu diberi kepercayaan mengadzani? Karena, orang dewasa/orang tua tidak ke Masjid. Tidak ada orang. Adanya, anak-anak. Maka, anak-anaklah yang adzan. Logis, menurut saya. Itulah sederhananya. Secara aturan atau norma tentang penyelenggaraan salat 5 waktu harus diatur. Termasuk, orang yang mau salat, juga harus dilindungi oleh Takmir Masjid.

Yuk, kita berkomitmen untuk bisa menyelenggarakan dan menegakkan salat 5 waktu berjamaah di Masjid. Jika bukan Anda dan saya, lalu siapa yang akan menegakkan dan melaksanakan 5 waktu? Dan, kepada siapa anak akan meniru dalam orang yang melaksanakan salat 5 waktu, dimana Anda adalah orang tuanya?

  • Semarang, 25 Januari 2021
    Ditulis Di Rumah jam 05.30 – 05.45 WIB.
• Sunday, January 24th, 2021

Jangan Kehilangan Waktu Bersama Anak, Saat Usia Anak-Anak
Oleh Agung Kuswantoro

Anak adalah amanah. Ada anak, maka ada amanah. Amanah (kepercayaan) akan dipertanggungjawabkan kepada yang memberi kepercayaan, yaitu Allah.

Anak bukan sekadar titipan, akan tetapi lebih dari sebuah titipan. Jika titipan, lebih terkesan menjaga barang. Namun, jika dalam anak itu, ada unsur mendidik dan mengajarkan.

Mengajarkan saja, guru bisa. Tetapi, mendidik belum tentu (semua) guru itu bisa. Nah, disinilah letak peran orang tua. Dimana harus mampu menjadi pengajar dan pendidik.

Terlebih usia anak itu juga dibatasi, yaitu hingga baligh/kurang lebih 15 tahun. Artinya, masa anak itu akan berakhir pada usia 15 tahun.

Lalu, muncul pertanyaan:“Sudahkah Anda menjadi guru yang terbaik bagi anak Anda?” Guru yang saya maksudkan adalah pendidik dan pengajar bagi anak Anda.

Jika belum, mari belajar bersama. Kita cek bersama dari sisi waktu dan kebersamaan Anda dengan anak. Berapa jam, Anda berkumpul (baca:mendidik dan mengajar) dengan anak dalam sehari? Lebih sering mana anak Anda berkomunikasi dengan Anda selaku orang tua atau teman anak Anda? Apakah anak Anda nyaman dengan Anda – selaku orang tua – saat “curhat”? Dan, Apakah Anda pernah/kadang membentak anak Anda?

Yuk, kita renungkan pertanyaan-pertanyaan di atas, sebagai “pembelajaran” bagi saya dan Anda selaku orang tua. Harapanya, saya dan Anda menjadi orang tua yang patut menjadi contoh terbaik untuk anak Anda. Jika Anda tidak baik dan pintar, lalu kepada siapa anak akan belajar dan model percontohan untuk anak Anda? []

Semarang, 23 Januari 2021
Ditulis Dirumah Jam 14.30 – 14.45 WIB.

Sumber tulisan di atas yaitu:

Ayah Edy. 2020. Mendidik Anak Tanpa Teriakan dan Bentakan. Bandung: Naora Books.

Angga Setyawan. 2020. Anak Juga Manusia. Bandung: Naora Books.

• Friday, January 22nd, 2021

 

Belajar “Kesabaran” Seperti Nabi Ayyub
Oleh Agung Kuswantoro

“Dan ambillah seikat rumput, lalu pukullah dengan itu dan janganlah engkau melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baiknya hamba. Sesungguhnya dia amat taat kepada Tuhannya. (QS. Shad:44)

Pandemi Covid-19 masuk ke Indonesia sudah kurang lebih 10 bulan. Hingga detik ini pun, masih berlangsung wabah ini. Belum ada pertanda pula pandemi ini, berakhir. Grafik orang yang terpapar corona masih tinggi, hingga pemerintah secara resmi sudah menetapkan perpanjangan PSBB/Pembatasan Sosial Berskala Besar Jawa-Bali hingga 8 Februari 2021.

Dalam kondisi seperti ini, mari kita belajar akan kesabaran Nabi Ayyub. Banyak para ahli mengatakan bahwa Nabi Ayyub adalah sosok teladan dalam menghadapi ujian. Al-Qur’an mengatakan suatu waktu Nabi Allah membanggakan kesalehan Nabi Ayyub dihadapan Iblis. Iblis menyebutnya, bahwa Nabi Allah selalu melindungi Nabi Ayyub.

Singkat cerita, Allah memberikan kekuasaan pada Iblis untuk menguji Nabi Ayyub. Setelah Allah mengizinkan Iblis untuk menguji Nabi Ayyub, datanglah kabar, bahwa sebagian hewan-hewan ternak Nabi Ayyub dijarah sekelompok orang dan sebagian lainnya tersambar petir.

Tak cukup berita kehilangan hewan ternaknya saja. Nabi Ayyub juga kehilangan putra-putranya. Meninggal dunia, karena terkena angin puting beliung di rumah saudaranya.

Ternyata, ujian yang menimpa Nabi Ayyub tidak sampai disitu. Nabi Ayyub menderita penyakit kulit yang parah dari kepala hingga kaki.

Ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa Nabi Ayyub adalah orang yang pertama kali terkena penyakit cacar. Terkait lama sakit Nabi Ayyub, para ahli tafsir ada yang mengatakan 3 tahun, 4 tahun, dan 18 tahun. Saking lamanya, sakitnya, Nabi Ayyub diasingkan dari desa/pemukimannya. Orang-orang merasa “rishi” atau “jijik” dengan penyakit Nabi Ayyub.

Dimasa-masa sulit, kebanyakan orang-orang menjauhi Nabi Ayyub, namun masih ada istri yang masih setia mengurusnya. Adalah Rahma binti Efraim bin Yusuf bin Ya’kub.

Setelah menderita sakit yang cukup lama, Nabi Ayyub mengadu kepada Allah: “Sungguh aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang Penyayang (QS. al-Anbiya:83).

Suatu ketika, istri Nabi Ayyub sedang pergi, Allah mewahyukan kepada Nabi Ayyub “Wahai Ayyub, hentakkanlah/injakkanlah kakimu. Inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk air minum (QS. Shod:42). Nabi Ayyub pun mandi dan minum air tersebut. Akhirnya, Nabi Ayyub sehat seperti sedia kala.

Dari cerita di atas, ada beberapa hikmah
1. Bersabarlah seperti sabarnya Nabi Ayyub, meskipun dalam keadaan sakit.
2. Dalam menghadapi pandemi Covid-19, sabar menjadi salah satu “obat” agar hati bisa tertuju kepada Allah SWT.
3. Iblis pasti mengganggu manusia untuk berbuat kesalahan dan jauh dari Allah SWT, oleh karenanya, kita harus selalu ingat kepada kekuasaan Allah SWT.
4. Percayalah, Allah pasti akan membantu bagi orang-orang yang hatinya tertuju kepada Allah SWT.
5. Tidak ada manusia hidup di dunia, hidup tanpa suatu ujian.
6. Tidak semua orang yang terdekat itu menerima keadaan orang tersebut saat terjadi kesusahan atau tertimpa musibah (baca:penyakit).
7. Jadikanlah Allah sebagai penolong dalam setiap permasalahan.

Mari, optimis bahwa masa pandemi Covid-19 ini akan berakhir. Sabarlah dalam berikhtiar. insyaAllah, Allah akan memberikan jalan kemudahan, sebagaimana yang dicontohnya oleh Nabi Ayyub. []

Semarang, 20 Januari 2021
Ditulis di Rumah, jam 20.00 -20.50 WIB.

• Thursday, January 21st, 2021

 

Memulai dan Menata (Lagi) Arsip FE UNNES
Oleh Agung Kuswantoro

Tahun 2015, FE UNNES pernah melakukan kegiatan penataan arsip. Ujungnya/puncaknya, FE UNNES memiliki depot kearsipan di Gedung L3, Lantai 2, Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang.

OK. Langsung saja ke inti acaranya. Yaitu, secara teknis. Saya mulai dari ini. Hal sederhana.

Darimana arsip tercipta di FE UNNES? Tercipta di jurusan, gugus, dan fakultas.

Siapakah yang menciptakan arsip di FE UNNES? Individu dan kelompok. Individu berupa pimpinan, dosen, dan tenaga administrasi. Kelompok seperti dari tim gugus, tim kegiatan, dan tim penelitian/pengabdian kepada masyarakat.

Apa contoh arsip itu di FE UNNES? Bermacam-macam, arsip yang tercipta. Seperti: surat tugas, surat keputusan dekan, berkas naik pangkat, laporan penelitian, proposal dan laporan kegiatan, transkrip nilai, dan arsip lainnya.

Bagian-bagian apa saja yang menciptakan arsip di FE UNNES? Bagian akuntansi, akademik, kemahasiswaan, kepegawaian, sarana dan prasarana, ketatausahaan, keuangan, gugus, dan jurusan/prodi.

Bagaimana pengelolaan arsip selama ini di FE UNNES? Sifatnya, parsial. Masih sendiri-sendiri. Belum ada integrasi antara satu bagian dengan bagian yang lain. Sehingga, saat pimpinan membutuhkan data (baca:arsip) akan menghubungi bagian yang dibutuhkan. Pastinya, membutuhkan waktu yang lama. Karena, belum terkelola.

Bagaimana strategi agar tertata di FE UNNES? Dibuat sistem/aturan dalam pengarsipan.

Bagaimana cara menatanya di FE UNNES? Dimulai dari penataan secara manual sesuai klasifikasi arsip, penataan arsip di depot kearsipan, dan pengentrian ke sistem kearsipan (arsip digital).

Adakah aturan/SOP di FE UNNES? Ada ini.

Gambar SOP Kearsipan FE UNNES (1)—maaf tidak terlihat.

Gambar SOP Kearsipan FE UNNES (2) —maaf tidak terlihat.

Bagaimana sistemnya di FE UNNES? Ada di apps.unnes.ac.id, pilih arsip digital. Disitulah sitem kearsipan ada. Mulai dari system arsip dinamis hingga statis. Lihat gambar.

Gambar Arsip Digital —maaf tidak terlihat.

Siapakah operatornya? Nunggu instruksi Dekan dan Wakil Dekan bidang Umum dan Keuangan.

Bagaimana klasifikasi arsip di FE UNNES?

Gambar Klasifikasi Kearsipan di FE UNNES (1) —maaf tidak terlihat.

Gambar Klasifikasi Kearsipan di FE UNNES (2) —maaf tidak terlihat.

Apakah ada arsip statisnya?Ada.

Apa kegunaan sistem arsip ini? Lebih fleksibel, efektif, dan efisien dalam pencarian. Terlebih, untuk data-data zona integritas, akreditasi, dan AMI.

Apa tips agar lebih mudah mengeoperasionalkan sistem ini? Disiplin dalam mengentri dan menata arsip di depot arsip sesuai dengan klasifikasi kearsipan.

Apa harapan kearsipan ke depan di FE UNNES? Perlu evaluasi berkelanjutan agar sistem ini terpelihara dengan baik.

Demikian materi yang saya sampaikan. Semoga bermanfaat. []

Semarang, 20 Januari 2021
Ditulis di Rumah jam 14.50 – 15.10 WIB.

• Monday, January 18th, 2021

Bertanya: Mengapa di Hadist disebutkan “pukul”, sedangkan di Alquran disebutkan “berkata”?

Oleh Agung Kuswantoro

 

Saya adalah orang yang bodoh. Belum memahami suatu makna/ayat dengan dalam. Ada hal yang ingin saya tanyakan kepada (1) ahli tafsir, (2) ahli hadist, dan (3) pakar pendidikan anak.

 

Begini. Saat saya membaca Alquran, ada ayat yang menyebutkan: “Jangan berkata ah pada orang tua”. Demikian juga saat saya membaca hadist/keterangan dalam fiqih bab salat disebutkan bahwa: “pukullah anakmu, jika tidak salat pada usia 10 tahun”.

 

Menurut saya, kedua keterangan dari sumber yang berbeda itu, isinya tak setujuan/visi. Yang bersumber Alquran, saya menangkapnya bahwa Islam sangat menghormati orang tua.

 

Berkata kasar saja, itu tidak boleh. Apalagi melakukan tindakan buruk kepada orang tua. Berkata “ah” saja tidak diperkenankan bagi anak kepada orang tua.

 

Namun, sisi lain dengan objek yang berbeda yaitu anak, justru dengan tegas menyebutkan “pukullah” anak saat 10 tahun ketika tidak salat.

 

Pada hadist yang mengatakan “pukullah” itu tertuju kepada anak. Tidak tanggung-tanggung perintah yaitu pukul. Mengapa tidak menggunakan kalimat sebagaimana Alquran yaitu dimulai dengan perkataan halus, seperti “ah” pada orang tua.

 

Pendekatan yang digunakan dalam hadist tersebut bisa dikatakan kurang ramah anak. Kedua keterangan dari Alquran dan Hadist – saya sebagai muslim – meyakini sekali kebenarannya.

 

Saya penasaran sekali dengan cara pendekatan yang digunakan hadist tersebut. Jika saya melihat konsep komunikasi, maka bisa jadi itu kurang tepat. Dimana, anak langsung dipukul.

 

Namun, jika melihat fakta/fenomena yang ada, dimana usia anak 12-15 tahun itu saat sudah terbiasa meninggalkan salat, bisa jadi diingatkan oleh orang tuanya, malahan anak tersebut membentak ke orang tuanya. Orang tuanya dibentak oleh anaknya. Secara tenaga/kekuatan fisik, justru kekuatan anak lebih kuat daripada orang tuanya.

 

Lalu, semakin bertambah umur, jika anak sudah terbiasa anak meninggalkan salat, maka semakin mudah dan menjadi biasa untuk tidak melakukan salat. Itu fakta yang saya lihat disaat ini.

 

Barangkali dari para ahli ada yang bisa menjawab pertanyaan saya. Terima kasih atas perhatiannya. Mohon maaf, jika saya salah dalam menyampaikan pertanyaan ini. []

 

Semarang, 17 Januari 2021

Ditulis di Rumah jam 01.30 – 02.00 WIB.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

• Monday, January 18th, 2021

Istikamah dengan Amalan
Oleh Agung Kuswantoro

Saya memaknai istikamah dengan keajegan dari suatu perbuatan. Kuncinya, disiplin diri. Mengajak diri ke arah kebaikan.

Ada orang menyebut istikamah dengan amalan. Bicara amalan, saya jadi ingat ustad Yusuf Mansur, beliau sangat kuat dengan amalan.

Amalan adalah salah satu faktor terkabulnya suatu doa. Amalan harus kuat, jika kita memiliki suatu cita-cita. Terlebih cita-cita/tujuan tersebut tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi berdampak kepada orang lain. Amalan pun harus memiliki dampak kepada orang lain.

Bisa jadi ada amalan yang kuat untuk diri sendiri, seperti salat sunah atau puasa sunah. Ada pula amalan yang berdampak ke orang lain yaitu bersedekah untuk fakir miskin yang rajin ke Masjid. Atau, amalan mengajak orang untuk membuka dan membaca Alquran. Ada juga, amalan dari orang lain yang dilakukan secara berjamaah untuk mendoakan tujuan orang tertentu.

Hal inilah yang ingin saya lakukan – sambil belajar – yaitu amalan yang berdampak kepada orang lain. Sederhana saja, amalan itu yaitu tadarus usai salat Subuh berjamaah di Masjid.

Membaca Alquran 5 hingga 10 menit tiap hari. Hasil observasi dan masukan para sesepuh masyarakat, bahwa jamaah dan sebagian besar masyarakat yang tinggal di Masjid itu tidak terbiasa mendengarkan suara Alquran dilantunkan dan dibaca. Jika ada orang yang bisa melafalkan surat di Alquran, itu hanya hafalan surat Yasin dan surat pendek juz 30.

Atas dasar observasi dan masukan sesepuh masyarakat, saya mencoba untuk mengistikamahkan membaca Alquran usai sholat Subuh berjamaah selama 5 – 10 menit di Masjid. Alhamdulillah sudah berjalan satu bulan ini.

Praktiknya, saya masih membaca Alquran sendiri. Beberapa kali ada satu jamaah (Mbah Darman) yang mendengarkan tadarus saya. Tidak hanya bertadarus saja, saya juga membaca sholawat Nabi “ya roobi solli ‘ala Muhammad, ya robbil solli ‘alaihi wasallim. Lalu, dilanjutkan dengan bacaan nadoma kitab ‘Aqidatul ‘Awwam atau kitab Hidayatus Sibyan dan ditutup dengan Asmaul Husna.

Amalan-amalan inilah semoga memberi dampak kepada diri saya dan masyarakat setempat dalam membiasakan mendengarkan dan membaca Alquran. Semoga bisa langgeng mengamalkan amalan ini. Amin. []

Semarang, 17 Januari 2021
Ditulis di Rumah jam 02.00 – 02.50 WIB.

• Tuesday, January 12th, 2021

Jika Kematian Itu Dekat, Mengapa Tidak Disiapkan Dari Sekarang?
Oleh Agung Kuswantoro

Kata banyak orang/pepatah/orang bijak, bahwa kematian itu dekat. Lalu, jika kematian itu dekat, mengapa kita tidak menyiapkan dari sekarang?

Efek saat tidak menyebabkan kematian yang tidak persiapkan adalah kebanyakan orang akan berkata: “matinya, mendadak”. Mungkin, ada tambahan kalimat: “Padahal tadi pagi, saya bertemu dengannya. “Tadi kan sehat, sekarang malah meninggal dunia”.

Kalimat-kalimat di atas, bisa jadi dampak dari kematian yang tidak disiapkan. Saya jadi ingat dan ingin belajar Tarekh/sejarah lagi. Jika tidak salah – dalam Tarekh – disebutkan bahwa, Nabi Muhammad SAW itu sudah menyiapkan kematiannya, mulai dari orang terdekat hingga orang yang jauh.

Ucapan-ucapan/kalimat halus kepada istri sebagai isyarat “pamitan” telah dilakukannya. Puncaknya, Nabi Muhammad SAW sebelum meninggal dunia, masih memikirkan umatnya, dengan kalimat: “Ummati, ummati, dan ummati”.

Disitulah persiapan-persiapan Nabi Muhammad SAW, menjelang kematiannya. Hasilnya, “kepulangan” Nabi Muhammad SAW disambut dengan penuh doa, hingga orang yang menyolati jenazahnya berhari-hari, tidak habis.

Dalam keterangan Tarekh yang saya pahami itu, tidak ada istilah meninggal dunia dengan mendadak. Matinya, tiba-tiba.

Kalimat-kalimat inilah yang mungkin, kita luruskan. Mengapa bisa muncul kalimat-kalimat tersebut? Mungkin, kurang persiapan. Kematian harus dipersiapkan sejak dini. Agar manusia siap dengan kematian. Contohnya, Nabi Muhammad SAW. Puncaknya, Malaikat Izroil meminta izin untuk mencabut nyawanya.

Mari kita sambut kematian dengan penuh kebahagiaan. Memang kematian itu dekat. Karena kematian itu dekat, mari sambut dengan hati penuh suka cita. Sambut Malaikat Izroil dengan penuh senyum dan gembira. Itu pertanda kita sudah siap dengan kematian. []

Semarang, 12 Januari 2021
Ditulis di Ruumah jam 04.45 – 05.05 WIB
Seusai sholat Subuh berjamaah di Masjid Nurul Iman Sekaran

• Monday, January 11th, 2021

Mengajak dan Menggandeng Istri dan Anak Ke Masjid Untuk Sholat Berjamaah
Oleh Agung Kuswantoro

Masjid adalah tempat untuk sujud. Sujud kepada Allah. Bukan dikatakan Masjid, jika tidak ada pekerjaan yang bernama sujud. Sujudnya, orang Islam itu ada pada sholat. Sholat itu berjumlah lima kali dalam sehari semalam. Lima kali ini, harus dijaga betul.

Saya punya keyakinan, bahwa orang yang bisa menjaga lima sholatnya dengan baik – secara jamaah di Masjid – insyaallah akan mudah urusan dunia dan akhirat.

Sholat adalah “obat” apa pun permasalahan di dunia yang berdampak ke akhirat. Oleh karenanya, saya selaku bagian dari pengurus Masjid untuk mengajak kepada diri sendiri agar lebih rajin dalam beribadah sholat berjamaah di Masjid.

Hasil observasi dan wawancara secara langsung ke jamaah, bahwa Masjid yang biasa saya gunakan untuk beribadah itu berfungsi untuk sholat fardhu itu hanya tiga kali, yaitu sholat Maghrib, Isya, dan Subuh. Untuk pelaksanaan sholat Dhuhur dan Asar bisa dikatakan jarang terlaksana, baik secara jamaah atau munfarid/sendiri. Artinya, pelaksanaan sholat Dhuhur dan Asar di Masjid tersebut tidak terselenggara dengan baik.

Mulai tahun pertengahan tahun 2020 ini – sudah lima bulan – saya dan beberapa sahabat untuk mengajak diri agar bisa disiplin dan rajin sholat berjamaah ke Masjid. Ada beberapa strategi yang saya lakukan yaitu membuat jadwal imam dan muadzin sholat lima waktu.

Tantangan utamanya dalam membuat jadwal sholat fardu, ada pada imam sholat Dhuhur dan Asar, karena selama ini tidak ada imam pada kedua sholat fardu tersebut. Alhamdulilah, saya menemukan imamnya yaitu Mbah Darman. Saya juga membantu Mbah Darman dalam bertugas imam sholat Dhuhur dan Asar. Sedangkan, untuk muadzinnya, berasal dari kalangan remaja dan anak-anak sekitar Masjid.

Memang selama ini, anak-anak dan remajalah yang aktif menjadi Muadzin dalam sholat Dhuhur dan Asar. Hanya saja, imamnya tidak ada. Namun, dengan kehadiran mbah Darman (dan saya), diharapkan bisa istiqomah/ajeg menyelenggarakan sholat Dhuhur dan Asar. Untuk jamaahnya perempuan selama ini hanya dua orang yaitu umi Lu’lu dan Ibu Tumini.

Untuk pelaksanaan sholat Maghrib, Isya, dan Subuh—Alhamdulillah dapat terselenggara baik– dengan jamaah berasal dari warga, mahasiswa, dan penghuni kontrakan lain di sekitar masyarakat Sekaran, Gang Pete Selatan.

Secara teknis pun, untuk pelaksanaan sholat fardhu, saya siapkan. Salah satunya, dengan pengadaan alat tarkhim otomatis. Alat bisa sangat membantu bagi orang yang ingin melaksanakan sholat berjamaah di Masjid. Sebelum tarkhim dimulai, dengan mengaji al-Qur’an MP3. Hal ini bertujuan untuk mengingatkan dan menyiapkan waktu sholat akan tiba. Menurut saya, bahwa mengaji MP3 ini “olahraga” telinga. Karena, warga atau masyarakat sekitar kurang terbiasa mendengarkan ayat-ayat dan surat-surat al-Qur’an.

Berdasarkan observasi dan wawancara saya kepada penduduk/jamaah masjid, bahwa orang yang bisa membaca al Qur’an itu sekitar dua orang saja. Atau 2% dari total jamaah/warga. Artinya, perlu mendapatkan perhatian khusus dalam mengenalkan al-Qur’an ke masyarakat. Kebanyakan warga hanya hafalan dari ayat/surat yang ada di al-Qur’an. Mendengar dari ayat/surat, kemudian dihafalkan.

Misalnya, surat Yasin dan surat pendek dalam Juz 30. Karena hafalan, sehingga kaidah Tajwid menjadi hilang. Artinya, ilmu Tajwidnya tidak digunakan. Mengapa? Karena mereka hafalan, tanpa ada kehadiran guru. Bisa dikatakan yang dihafalkan itu, asal bunyi. Malah keras bunyinya. Namun, belum tentu benar secara ilmu Tajwid.

Akhir dari tulisan ini, saya ingin mengajak kepada diri untuk rajin dan disiplin menjaga sholat di awal wkatu. Syukur bisa menggandeng anak dan istri saya untuk sholat berjamaah di Masjid. Syukur pula, saya bisa mengajak masyarakat untuk sholat berjamaah di Masjid. Semoga kelak, Masjid ini menjadi kapal penyelamat kita menuju surga, saat di akhirat. Amin. []

Semarang, 10 Januari 2021

Ditulis di Rumah jam 04.45 – 05.15 WIB, usai pelaksanaan sholat Subuh berjamaah di Masjid.

• Friday, January 08th, 2021

PPPK Upaya Menyelamatkan Rekruitmen Tenaga “Kontrak” yang Tidak Jelas

Oleh Agung Kuswantoro

 

PPPK/ Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja adalah mengelola pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja untuk menghasilkan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang profesional, memiliki nilai dasar etika profesi, bebas dari intervensi politik, bebas dari praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Jabatan yang diduduki oleh PPPK adalah fungsional. Banyak perbedaan antara honorer dengan pengangkatan, sumber gaji, skema gaji, tunjangan, dan karir. Hak PPPK itu mirip dengan pegawai negeri secara umum. Hanya saja, pengangkatannya berdasarkan perjanjian kerja jangka waktu tertentu. Penekanan utama kewajiban PPPK adalah menjalankan tugas sesuai dengan perjanjian tugas. Semua guru honorer dan lulusan PPG bisa mendaftar dan mengikuti seleksi dan semua yang lulus seleksi akan menjadi guru PPPK hingga batas satu juta. Pengawasan dan evaluasi PPPK dilakukan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Komisi aparatur Sipil Negara bertugas mengawasi norma dasar,  etik dan kode sistem numerik dalam kebijakan dan manajemen ASN pada instansi pemerintah. Kementerian pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi” bertugas melaksanakan evaluasi pelaksanaan kebijakan manajemen PPPK yang hasilnya digunakan sebagai dasar penetapan kebijakan dibidang pendayagunaan PPPK.

 

Kata Kunci: PPPK dan tenaga kontrak.